Villa itu terletak di bagian tengah sebidang tanah perbukitan yang luasnya hampir 2 hektar. Dari jauh, villa itu terlihat asri karena dinding luarnya dihiasi dengan batu-batu pualam dan marmer serta beberapa ornamen kayu jati. Di bagian depan dan belakang, berbatasan dengan villa-villa di sekitarnya, tumbuh beberapa pohon pinus yang lebat. Tingginya mencapai 4 hingga 5 meter. Halaman di sekelilingnya terlihat hijau karena ditumbuhi oleh rumput yang terpangkas rapi. Beberapa batu alam berwarna abu-abu dan cokelat tua dengan berbagai bentuk dan ukuran tergeletak menghiasi halaman yang luas itu. Di pojok belakang sebelah barat terdapat sebuah rumah kecil yang dihuni oleh penjaga villa.
Bangunan villa itu tidak terlalu besar. Di lantai 1 hanya ada sebuah kamar tidur utama serta sebuah ruang keluarga dan dapur. Sedangkan di lantai 2 ada dua buah kamar tidur dan ruang kosong yang tembus hingga ke lantai 1. Tak banyak furniture yang melengkapi villa mungil dan mewah itu. Dan hampir semuanya terbuat dari kayu jati berukir. Berbagai bentuk ukiran terasa mendominasi isi villa. Termasuk bingkai cermin berukuran besar yang menempel pada dinding kamar tidur utama. Nuansa artistik terasa sangat menonjol di dalam dan luar villa.
Debby baru saja tiba di villa itu kira-kira 10 menit yang lalu. Setelah meletakkan tasnya di teras dan memberi beberapa instruksi kepada lelaki tua penjaga villa, ia segera melangkah ke kamar tidur depan di lantai 2. Ditanggalkannya celana jeans dan t-shirt yang dipakainya sejak dari Jakarta. Sambil berdiri di depan cermin, dikenakannya sebuah kimono. Sejenak, ia ragu melilitkan tali kimono itu di pinggangnya. Tapi akhirnya, sambil tersenyum, bra dan celana dalam mini yang dikenakannya pun ditanggalkan pula. Ia tersenyum ketika mengikat tali kimono itu. Senyum yang menyimpan sebuah rencana, dan sekaligus senyum untuk dirinya sendiri karena tak ada lagi yang tersembunyi di balik kimono itu.
Debby berdiri di balkon depan yang menghadap ke timur. Sejak kecil ia suka menghabiskan waktunya di balkon itu. Terutama bila sore hari, ia suka menatap embun tipis yang perlahan-lahan turun dari atas dan mulai bertebaran di halaman. Embun itu kadang-kadang sirna tertiup angin tetapi kadang-kadang angin bertiup mendorong segerombol embun yang sebagian di antaranya tersangkut di daun-daun pohon pinus. Kira-kira satu jam kemudian, ketika sore berubah menjadi senja, embun tipis berwarna putih itu mulai menyelimuti pucuk-pucuk pinus. Diam tak beranjak. Hanya beberapa gerombol di atas rumput yang terlihat masih bergerak tertiup angin. Dan ketika senja sirna, lampu-lampu taman yang bertebaran di halaman pun tak berdaya mengusir embun yang menyelimuti villa dan sekelilingnya.
Debby melirik jam tangannya. Hm, kurang lebih setengah jam lagi Theo akan tiba, katanya dalam hati. Setiap kali menyebut nama lelaki itu jantungnya terasa berdebar. Walau lelaki itu 15 tahun lebih tua dari usianya, tetapi ia merasa sangat nyaman bila berada di dekatnya. Lelaki yang selalu memanjakannya, yang berani membantah tetapi bila terus didesak akhirnya akan menuruti kemauannya. Ia tersenyum dikulum, 'Theo memang selalu memperlakukanku seolah aku adalah satu-satunya benda berharga baginya' gumam gadis remaja itu. Kemudian ia teringat beberapa peristiwa 'nakal' yang membuatnya merasa sangat dimanjakan.
Saat itu mereka sedang menikmati santap malam di sebuah restoran yang terkenal dengan sajian 'rib roast'-nya. Mereka duduk berdampingan pada sebuah meja yang posisinya di sudut dan menghadap ke bagian tengah restoran. Sesekali mereka terpaksa berbisik untuk mengalahkan suara musik dan lagu-lagu merdu Frank Sinatra. Ketika ia menggigit rib yang terakhir, setetes kecap jatuh ke lututnya. Ia memang sengaja tidak menggunakan serbet untuk menutupi pahanya. Sejak merasakan nikmatnya lidah Theo saat menjilati paha dalam dan pangkal pahanya, ia selalu menggunakan rok mini yang bagian bawahnya lebar. Ia selalu ingin memperlihatkan sepasang pahanya yang mulus. Bila duduk, rok mini itu semakin tertarik sehingga hanya kira-kira 10 cm saja yang menutupi pahanya. Ia tidak khawatir akan 'ditonton' tamu-tamu lainnya karena ada taplak meja yang menghalangi, taplak yang menjuntai hingga hampir menyentuh lantai.
"Theo, jangan dilap pakai tissue," katanya ketika melihat Theo menjumput selembar tissue.
"Jadi pakai apa, Sayang."
"Pakai lidah yang suka 'mimik' pipis Debby!", bisiknya manja.
Theo tertegun. Ditatapnya mata gadis belia itu seolah sedang mencari ketegasan atas kalimat yang baru saja didengarnya. Ia pun terkesima mendengar kata 'mimik'. Kata yang lebih mesra sebagai pengganti kata 'minum'. Selintas ia teringat ketika pertama kali mencumbui vagina gadis itu. Sangat sulit dilupakannya kehangatan yang mengalir dari bibir vagina gadis itu ketika menjepit lidahnya. Jepitan yang disertai denyutan-denyutan vagina yang hampir mencapai orgasmenya. Denyutan-denyutan yang membuat ia semakin rakus menghisap-hisap lendir di vagina itu. Dan tak lama kemudian, ia merasakan segumpal lendir orgasme mengalir membasahi kerongkongannya. Dan setelah menjilati bibir luar vagina gadis itu hingga bersih, ia mendengar gadis belia itu bertanya dengan polos, "Kok pipis Debby diminum?"
"Kok bengong, Theo. Nggak mau ya?"
"Kamu memang nakal dan kadang-kadang keterlaluan."
"Udah nggak sayang sama Debby, ya!"
"Sayangnya tetap selangit. Tapi ini di restoran. Di tempat umum!"
"Biarin!" kata gadis itu setengah merajuk.
"Entar dilihat orang lain. Malu 'kan kalau ketahuan."
"Biarin!"
"Biarin?"
"Paling juga mereka jadi iri. Yang laki-laki ingin jadi Theo, yang perempuan ingin jadi Debby!" jawab gadis itu sambil tertawa kecil. Tawa yang menggemaskan!
Sekilas, Theo memandang ke sekeliling ruangan. Tak ada tamu yang sedang memandang ke arah mereka. Pelayan-pelayan restoran pun terlihat sibuk melayani tamu-tamu. Dadanya berdebar-debar. Hatinya terpancing untuk mencoba. Lalu dengan cepat ia menunduk dan menjilat. Dan dengan cepat pula ia mengangkat kepalanya kembali. Jantungnya masih berdebar-debar ketika pandangannya menyapu sekeliling ruangan. Tak ada perubahan. Tak ada seorang pun yang memandangnya!
Debby tertawa kecil. Dicubitnya pinggang guru matematikanya itu dengan manja. Sejenak mereka saling tatap, kemudian serentak tertawa renyah. Tak lama kemudian, gadis belia itu sengaja mengerak-gerakkan kakinya. Sesekali sebelah kakinya agak diangkat hingga roknya yang mini semakin tersingkap. Ia semakin bersemangat menggerak-gerakkan kakinya ketika memergoki Theo tertegun menatap keindahan pahanya. Gerakannya baru berhenti setelah ujung roknya tersangkut di pangkal paha. Ia merasa yakin bahwa G-string yang dipakainya telah terlihat mengintip dari pangkal pahanya.
"Kelihatan nggak?"
"Sedikit!"
"Warna apa?"
"Pink!"
"Suka?"
"Suka banget!"
"Cium dong!"
"Ha?! Di sini?"
"Hmm!!"
Jantung Theo kembali berdebar-debar. Tantangan, katanya dalam hati. Tantangan dari seorang gadis belia yang cantik, seksi, masih perawan, dan sekaligus nakal! Itulah salah satu sebab yang membuat ia selalu ingin memanjakan gadis itu. Ide-idenya yang nakal kadang-kadang menciptakan sensasi. Menciptakan gairah untuk menaklukkan tantangan yang disodorkannya. Ia memang belum pernah melakukan hal itu. Dan ia pun yakin bahwa gadis itu -dalam keramaian publik- belum pernah mendapat ciuman di pangkal pahanya. Ia menarik nafas panjang dan berusaha menenteramkan debar-debar jantungnya. Sekilas, ia kembali memandang tamu-tamu di sekelilingnya. Setelah yakin tak ada yang memperhatikan, ia menunduk dan mengecup G-string dari sutera itu. Kecupan yang persis di belahan bibir vagina!
Debby menggelinjangkan pinggulnya. Ia hampir memekik. Tapi karena jari-jari tangannya segera menutupi mulutnya, pekikan itu hanya terdengar lemah. Suara pekikan itu tersangkut di lehernya.
"Suka?" tanya Theo sambil mengangkat kepalanya.
"Suka banget! Nikmat dan mendebarkan!"
"Mau lagi?"
"Entar ketahuan."
"Biarin!" jawab Theo sambil tersenyum.
"Benar?"
"Hmm!"
"Tapi mata Theo harus tertutup. Dan setelah dikecup, dijilat ya," bisik gadis itu. Theo terdiam sejenak, lalu bertanya..
"Kok harus menutup mata?"
"Tentu ada alasannya."
"Kalau hanya mengecup dan menjilat, aku pasti mau."
"Kalau matanya nggak tertutup, Debby yang nggak mau!" kata gadis itu merajuk manja. Theo terdiam kembali. Tapi tak lama kemudian ia menjawab..
"OK," katanya sambil mengangguk. Gadis itu tersenyum manis.
"Lihat ke Debby dan tutup matanya. Biar Debby yang mengawasi mereka," katanya sambil menolehkan kepalanya ke arah tamu-tamu di restoran itu.
"Nanti kalau Debby bilang 'cium' baru menunduk ya." sambungnya sambil membuka kedua lututnya lebih lebar. Lutut sebelah kirinya agak diangkat agar pangkal pahanya cukup terbuka untuk menampung sebuah kepala.
"OK." jawab Theo sambil memejamkan matanya. Tak lama kemudian, ia mendengar bisikan di telinganya..
"Sekarang cium, Theo!"
Dengan cepat Theo menunduk. Ia merasakan jari-jari tangan gadis itu menekan bagian belakang kepalanya, menuntun agar bibirnya mendarat di tempat yang tepat. Dan.., sejenak ia terkesima setelah bibirnya mendarat di pangkal paha gadis itu. Aroma yang sudah sangat dikenalnya tiba-tiba terasa langsung menyergap lubang hidungnya. Tapi karena khawatir bila harus menunduk terlalu lama di balik meja, ia segera mencium pangkal paha gadis itu. Ia sangat terkejut karena bibirnya bersentuhan langsung dengan bibir vagina yang lembut. Vagina yang hangat dan sedikit lembab.
Secara bergantian, dengan cepat, dikulumnya kedua bibir luar vagina itu. Lalu dijulurkannya lidah untuk menjilat celah sempit di antara ke dua bibir itu. Lidahnya segera tenggelam dalam kehangatan yang licin. Jilatannya tajam seperti mata pisau yang mengiris mentega. Dan.., seolah ada alarm berbunyi di telinganya ketika ia merasakan tarikan rambut di bagian belakang kepalanya. Ia segera mengangkat wajahnya sambil membuka mata. Sebelum kepalanya benar-benar tegak, ia masih sempat melihat jari telunjuk gadis itu melepaskan tarikan tepi G-stringnya agar vaginanya tertutup kembali.
Sejenak mereka saling tatap. Di bola mata mereka tersirat binar-binar birahi. Dan sambil tertawa kecil, keduanya berangkulan dengan mesra!
*****
Debby masih berdiri di balkon. Tatapannya menerawang jauh dan terbentur pada lampu-lampu villa-villa di sekitar villanya. Ia menarik nafas panjang. Udara segar yang bertiup di sekitar Puncak Pass terasa sejuk memenuhi rongga dadanya. Hembusan udara mulai terasa dingin di kulitnya. Tapi ia menyukai dinginnya udara itu, terutama ketika berhembus menerpa bagian bawah pusarnya. Pangkal pahanya terasa sejuk. Dinginnya udara meredakan letupan-letupan gairah yang sempat memanas ketika ia teringat pada ciuman dan jilatan Theo di restoran rib roast itu.
Debby kembali melihat jam tangannya. Tak lama lagi Theo akan tiba, katanya dalam hati. Semakin dekat waktu yang telah mereka sepakati, semakin gelisah ia menunggu. Ia merasa lebih gelisah daripada biasanya karena ia sudah memutuskan bahwa malam itu ia akan mengucapkan "selamat tinggal masa remaja!" Dan itu akan ia ucapkan tepat ketika ia berusia 17 tahun. Usia untuk menjadi seorang wanita! Masih terbayang dalam ingatannya raut wajah Theo yang terlihat bingung ketika menerima denah jalan menuju villa. Raut wajah itu semakin bingung ketika ia mengatakan, "Nanti malam, di villa, Debby akan memberikan sebuah hadiah yang sangat istimewa."
Ke Bagian 2
No comments:
Post a Comment