Thursday, March 28, 2013

Liah, Anak Penjual Papan

Sewaktu aku masih duduk di SMTP di Kota Kecamatanku, selain bertugas mengurus kerbau sehari-hari, aku juga seringkali membantu orangtua dalam menanggulangi keperluan hidup keluarga, seperti bertani, berkebun dan ikut dagang. Bertani dan berkebun sudah menjadi pekerjaan pokok bagi kami sekeluarga, namun berdagang merupakan pekerjaan tambahan yang aku coba geluti saat kecilku yakni ikut-ikut sama Om dan sepupuku yang kebetulan mereka berprofesi selaku pedagang papan.

*****

Singkat cerita, aku 'Anis' dengan identitas lengkap sudah berkali-kali termuat di situs sumbercerita.com bermaksud menceritakan pengalaman nyataku kepada teman-teman penggemar cerita porno, yang telah kualami sewaktu masih tergolong ABG, karena usiaku saat itu antara 12 sampai 15 tahun.

Waktu itu, aku bersama Om dan sepupuku setiap hari Sabtu Pagi berangkat menunggangi kuda menuju suatu daerah pegunungan pada salah satu daerah kecamatan yang bertetangga dengan wilayah kecamatanku. Kami rata-rata harus menempuh perjalanan sehari penuh baru tiba di daerah pegunungan tersebut untuk membeli papan lalu kami jual kembali ke kampungku dan ke kampung-kampung lain yang membutuhkannya. Karena jarak antara kampung kami dengan tempat produksi papan itu cukup jauh, maka tidak heran jika setiap kami berangkat mesti bermalam di daerah tersebut. Tapi karena sudah menjadi langganan kami sejak lama, maka kami bersama rombongan cukup akrab dengan para penjual papan, termasuk keluarganya.

Suatu hari, tepatnya Minggu pagi, seperti biasanya, kami berangkat ke hutan lewat beberapa gunung bersama penjual papan guna memilih dan memikul papan-papan yang hendak kami bawa pulang dan mengumpulkannya di pinggir jalan yang memudahkan bagi kuda mengangkutnya. Namun, tiba-tiba aku merasa malas jalan menelusuri bukit dan hutan. Apalagi di daerah itu hawanya sangat dingin sampai-sampai aku jarang mandi di daerah itu, karena hampiar seharian penuh terasa dingin. Aku cari alasan agar aku bisa diizinkan pulang ke rumah.

"Anis, kenapa kamu berhenti" tanya Omku ketika aku mendadak jongkok sambil memijit perut.
"Aduh, sakit sekali Om, aahh, perutku terasa tertusuk jarum," alasanku sambil mengurut-urut perutku.

Untung Om dan sepupuku tidak terlalu memeriksa kondisi perutku, sehingga mereka tidak terlalu curiga jika sikapku itu hanya alasan semata agar aku tidak dipaksa memikul papan.

"Kalau begitu, biar kamu diantar saja sepupumu pulang ke rumah, nanti ia menyusul. Lagi pula khan ada Liah yang menemanimu di rumah," kata penjual papan itu dan menyinggung nama anak satu-satunya perempuan yang tinggal jaga rumah sambil masak.
"Tak usah diantar pulang, biar aku sendiri ke rumah, khan masih dekat" kataku menolak diantar karena memang sakit perutku hanya alasan.

Sesampainya aku di rumah penjual papan itu, aku langsung ke tempat tidur yang memang selalu kami tempati tidur bersama rombongan. Setelah Liah keluar, nampaknya ia sedikit kaget melihatku berbaring dalam keadaan terbungkus sarung di seluruh tubuhku dari ujung kaki hingga ujung kepala karena cuacanya masih sangat dingin.

"Kok tidak ikut ke lokasi ambil papan kak?" tanya Liah padaku penuh kehati-hatian sambil mendekatiku.
"Ak.. aku sakit peruut dik.. Jadi aku disuruh pulang istirahat" jawabku dengan suara seperti layaknya orang sakit.
"Sakit sekali kak, perlu obat..?" tanya Liah seolah menghawatirkanku.
"Iyah.., apa ada minyak sumbawanya dik?" jawabku lagi.
"Ada kak, tapi bagus jika pakai minyak Etin, kebetulan Mamaku jika sakit perut, ia biasa meminum minyak Etin, lalu menggosokkan sedikit ke bagian perutnya yang sakit," kata Liah serius.

Ia nampak berlari masuk ke kamar orangtuanya yang terletak di bagian dalam rumah itu. Tak lama kemudian, LiaHPun muncul di samping tempat tidurku sambil berdiri memegang sebotol minyak Etin dengan segelas air putih, lalu menjulurkan padaku.

"Ini Kak minyak Etinnya. Silahkan diminum sedikit, lalu sapukan juga sebagian ke bagian perutmu yang sakit," katanya dengan suara lembut.
"Terima kasih dik, kamu baik sekali padaku. Untung saja kamu ada di rumah, jika tidak, tentu aku kesulitan cari obat," kataku merayunya.
"Mamamu kemana dik? Kok tidak kelihatan," tanyaku pura-pura meskipun sejak subuh tadi aku lihat Mamanya Liah berangkat ke pasar dengan jalan kaki bersama tetangganya sambil menjunjung gula merah untuk dijualnya.
"Ia ke pasar sejak tadi subuh kak. Maklum pasarnya agak jauh dari sini, sehingga ia terpaksa cepat-cepat berangkatnya untuk jualan gula merah".

Kami memang sempat terlibat dalam perbincangan setelah aku meminum dan menggosokkan ke perutku obat yang diberikannya itu. Liah adalah gadis yang kuyakini masih perawan desa karena jarang bergaul di luar rumah, bahkan belum pernah kulihat jalan sama lelaki. Tubuhnya agak langsing, warna kulitnya putih bersih dan mulus karena jarang kena sinar matahari apalagi cuacanya sangat dingin, sehingga keadaan gadisnya mungkin tak jauh beda dengan gadis-gadis Bandung yang konon umumnya cantik-cantik. Liah masih terus berdiri di samping tempat tidurku itu sambil menjawab seluruh pertanyaan basa basiku. Kadang kami bertatapan muka sambil melempar senyum. Kami sering saling memandangi tubuh masing-masing.

Sedikit demi sedikit jantungku mulai berdebar pertanda ada sesuatu yang muncul dan tidak biasa terpikir. Entah apa hal seperti itu juga dialami Liah, tapi aku mulai merasakannya dan memikirkannya. aku diam sejenak memikirkan alasan apa lagi yang harus kutunjukkan sehingga jantungku bisa tenang dan tanda tanya hatiku bisa terjawab.

"Aduh.. Aahh.. Iihh.. Kambuh lagi sakit perutku Liah, tolong aku dik.." sikapku pura-pura kesakitan agar Liah mau menyentuh tubuhku, karena aku mulai merasakan ada gejolak birahi atau cinta dari lubuk hatiku.
"Ada apa kak, apanya yang sakit," tanya Liah seolah bingung melihatku. Ia seolah jalan di tempat antara mau maju mendekatiku dengan mau lari cari bantuan orang lain atau mungkin cari obat yang lain. Entah apa..
"Toolongngng Dik Liah.. Bantu aakuu.. Ssaakiit sekalii.." teriakku sedikit teriak seolah kesakitan.
"Mau dibantu bagaimana kak? Aku harus berbuat apa kak..?" tanya Liah kebingungan dan ingin sekali menolongku tapi ia nampaknya ragu juga menyentuh tubuhku, apalagi memegangi perutku yang sedikit terbuka.
"Tolong disapukan ini ke perutku Liah. aku sakit sekali," jeritku sedikit tertahan sambil menyerahkan minyak Etin itu ke Liah.

LiaHPun meraih dengan cepatnya, lalu tanpa pikir dan ragu lagi, ia langsung menyentuh perutku yang masih terbungkus sarung, sehingga sarungku jadi basah akibat minyak Etin. Mungkin ia tidak sadar kalau perutku dilapisi kain sarung atau takut menyentuh langsung karena tidak biasa. Tangan kananku langsung memegang tangan kanannya lalu tangan kiriku menyingkap sarungku ke atas hingga ke dadaku. Terbukalah sedikit perutku, namun Liah nampak malu memandanginya, tapi aku menuntun tangannya yang sudah diolesi minyak Etin ke perutku. Terasa agak gemetar menyentuh kulit perutku, tapi ia tidak menolak merabanya, malah sedikit mulai bergerak menyapukan tangannya itu. Liah tetap saja menoleh ke arah lain, tapi lagi-lagi aku minta agar ia menumpahkan semua minyak Etin itu ke atas perutku. Akhirnya ia terpaksa melihatnya dan mulai menggosoknya.

Sungguh hangat, lembut dan nikmat sekali sentuhan telapak tangan Liah di perutku. Meskipun agak malu-malu, tapi ia tetap menolongku dengan menggosok-gosok terus perutku, lalu aku berkata pelan sekali.

"Liah, kamu tidak keberatan khan bila kamu terpaksa menyentuh kulitku?"
"Ti.. Tidak kak, sebab Kak khan sakit. Lagi pula aku hanya menolong kak"
"Jadi kamu tidak jijik dan tidak takut padaku Liah?" tanyaku singkat
"Kenapa jijik dan takut kak. Kita khan sudah seperti keluarga. Lagi pula siapa lagi yang mau menolong Kak kalau bukan saya" jawabnya seolah lebih berani dan sudah tidak malu serta tidak gemetar lagi.
"Aku betul-betul beruntung hari ini. aku ditemani oleh seorang gadis cantik yang setia menolongku di kala sakit. Mungkin inilah hikmah dari sakit perutku," ocehanku merayu Liah yang sedang memegangi terus perutku walaupun tak ada rasa sakit sedikitpun, melainkan hanya rasa rindu, nafsu birahi dan kenikmatan semata yang kurasakan.

"Ih.. Kak Anis.. Gombal ni yeah.." ucapnya sambil memutar sedikit perutku seolah ia mencubitnya.
"Sudah berhenti rasa sakitnya kak?" tanya Liah sambil menarik tangannya
"Masih sedikit sakit dik.. Jangan dihentikan dulu yach.. Nanti tambah sakit lagi. Biar lama-lama kunikmati sentuhan tanganmu yang lembut ini. Lagi pula khan Mama dan papamu masih lama pulangnya" kataku sambil meminta agar Liah tetap menempelkan tangan mulusnya di perutku.
"Yah deh, jika memang itu maumu. Tapi jangan macam-macam yach?" katanya
"Ok deh, aku akan mendengar permintaanmu" jawabku singkat, namun aku mencoba menempelkan kedua tanganku di atas tangannya yang sedang mengelus perutku. LiaHPun nampaknya ikut menikmati sedikit sentuhanku.

Karena aku semakin penasaran ingin menyentuh lebih banyak tubuh Liah akibat mulai terangsang dibuatnya, maka kucoba sedikit memiringkan tubuhku ke arah Liah yang sedang duduk di tepi tempat tidurku dengan kaki terjulur ke luar, sehingga penisku yang sejak tadi bergerak-gerak dari dalam celanaku dan mulai membesar mengacung ke atas sedikit menyentuh pinggul Liah. LiaHPun nampaknya tidak bergerak, malah sedikit termenung tunduk. Aku coba lebih rapatkan lagi selangkanganku ke pinggulnya, tapi ia tetap diam. Kali ini aku coba angkat tanganku hingga bertengger di atas kedua paha Liah yang terbungkus sarung, namun Liah mengangkatnya kebelakang, sehingga aku hanya bisa merapatkan ke punggungnya. Libidoku terasa semakin naik dan sulit kukendalikan, maka aku pura-pura lupa atas janjiku untuk tidak macam-macam. aku lingkarkan tanganku ke pinggangnya lalu kurangkul erat-erat, sehingga Liah terlihat menggigit bibirnya sambil menunduk tanpa bersuara. Mungkin ia juga terangsang dan menikmatinya.

Akhirnya aku beranikan diri meningkatkan reaksiku dengan meraih tangan kanan Liah lalu membawanya ke selengkanganku yang masih terbungkus sarung dan celana. Tangan LiaHPun terasa lemas dan menuruti saja. Tak lama tangan Liah tergeletak lemas di atas selangkanganku yang berisi tonjolan keras dan sedikit berdenyut itu, aku lalu menyingkap sedikit sarungku ke atas dan membawa tangan Liah masuk ke selangkanganku lewat bagian atas celanaku sehingga tangannya yang hangat bersentuhan langsung dengan penisku yang keras dan mulai basah ujungnya. Tangan Liah yang tadinya lemas kini mulai bertenaga juga dan bergerak menelusuri celah-celah celanaku hingga ia menggenggam penisku. Malah tanpa kutuntun dan kuajak lagi, tangannya mulai sedikit menggocok kemaluanku sehingga aku semakin panas dan ingin segera membuka seluruh penghalangnya.

"Dik Liah, maaf Dik yach jika terpaksa aku mengabaikan janjiku tadi. aku sama sekali tidak mampu lagi menahan cinta dan rasa rinduku padamu sayang. Semoga kamu juga bisa bahagia dan menikmatinya," bisikku.
"Terserah kak, asal kamu mau tanggung jawab nantinya," katanya singkat.

Tanpa kujawab lagi perkataannya itu, aku langsung menurunkan celanaku hingga terbuka semuanya, lalu kutarik tubuh Liah agar masuk ke arahku lebih rapat. Iapun nampaknya pasrah tanpa komentar, malah membaringkan mukanya ke perutku, ke bahuku dan ke wajahku. aku baringkan ia di atas kasur dengan terlentang, lalu kukecup seluruh tubuhnya mulai dari dahi, pipi, dagu, leher dan berhenti di mulut serta bibirnya. Iapun menyambut kecupanku itu dengan sedikit membuka mulutnya seolah memberi kesempatan padaku untuk memasukkan lidahku ke dalam rongga mulutnya. Cukup lama aku bermain lidah hingga tanganku bergerak menelusuri daster yang dikenakan Liah. Tangankupun menemukan dua benda kenyal, hangat, mungil, agak keras serta mulus yang terasa ujungnya mengeras.

"Buka pakaiannya yach sayang.." pintaku berbisik di telinganya.

Namun Liah tidak bergerak sedikitpun. Tapi aku tetap beranikan diri membuka sendiri pakainnya dengan mengangkatnya ke atas hingga terbuka lewat kepalanya. Terlihatlah perutnya yang rata, putuh dan mulus, meski masih terbungkus bagian bawahnya dengan sarung. Sedang bagian atasnya sisa selembar kain yang kecil melingkar di dadanya dengan warna putih sehingga kedua benda yang kupegang tadi belum kelihatan dengan jelas. Namun itu tak bertahan lama karena aku segera melepaskannya dengan mudah, lalu aku leluasa menjilatinya, mengisap-isap putingnya dan meremas-remasnya. Akibatnya LiaHPun bergerak-gerak seiring dengan gerakan tangan dan mulutku secara bergantian. Bahkan kali ini ia tak sadar sehingga mengangkat pinggulnya yang masih terbungkus sarung dan menyentuh benda yang ada di selangkanganku yang tak terlapisi kain sedikitpun. Liah menggelinjang bagaikan cacing ketika aku menyapu perut dan pusarnya dengan lidah. Kakinya terangkat sehingga dengan sendirinya sarungnya tersingkap ke atas yang memperlihatkan paha mulusnya.

"Boleh saya buka sarungnya sayang?" tanyaku berbisik, namun lagi-lagi ia tak bersuara kecuali sedikit mengangguk.

Akupun segera menurunkannya dengan ujung kakiku hingga terlepas. Tinggallah celana colornya yang berwarna hitam. Tapi itupun tak lama, sebab aku susul dengan jepitan ujung kaki lalu menurunkannya hingga terlepas semuanya. Kamipun sudah telanjang bulat. Suasana dingin di rumah itu semakin hilang seiring dengan meningkatnya permainan kami. Keringat kami mulai bercucuran. Kutingkatkan gerakanku dengan menjilati bagian bawah pusarnya hingga lidahku menyentuh daging yang terbelah dua dengan baunya yang khas, warna kulitnya agak putih, tonjolan yang menancap di antara kedua bibirnya agak kemerahan dan sedikit keras lagi indah. Kuputar-putar lidahku dan kugocok-gocokkan ke luar masuk pada benda mungil nan indah itu, sehingga Liah terengah-engah dengan nafas terputus-putus, bahkan sedikit bergelinjang keenakan.

"Kak, cepat masukin dong, aku sudah nggak tahan nih.. Aahh.. Uuhh.." pinta Liah tiba-tiba, sehingga aku semakin mempercepat permainanku.

Kali ini kurenggangkan kedua pahanya sehingga terlihat dengan jelas benda khusus dan sasaran utama bagi setiap laki-laki itu. Namun karena Liah masih mudah, sehingga wajar jika belum terlihat jelas bulu-bulu yang tumbuh di atasnya. Tapi aku senang karena terasa lembut, jelas dan mudah dijamah. aku merasakan ada cairan hangat yang mulai mengalir dari dalam perutku dan lubang yang sedikit menganga di bawah hidungku juga nampaknya sudah tidak sabaran menunggu hantaman penisku yang dari tadi bergerak mencari pasangan dan lawannya. Lubang kemaluan Liah semakin basah oleh cairan pelicin, sehingga aku segera mengarahkan ujung penisku menancap ke lubang itu. Cukup lama berkenalan di luar pintu dari kedua benda asing itu, seolah mereka bicara dengan mesra.

Tanpa kusadari dan kusengaja, ujung penisku masuh pelan-pelan akibat sambutan pantat Liah yang terangkat tinggi-tinggi sehingga sulit aku hindari pertemuannya. Namun sesampai di leher penisku, terasa agak sulit masuk seolah ada pelapis yang menghalangi. Kami saling berusaha, namun tetap sulit. Dalam hati saya mungkin karena baru kali ini ada benda seperti miliku masuk ke lubang Liah sehingga masih sempit. Setelah aku berjuang keras, membantu dengan kedua tanganku membuka kedua bibir lubang Liah, menggerak-gerakkan ke kiri dan ke kanan yang disambut pula oleh gerakan pinggul Liah yang berputar, bahkan aku letakkan bantal guling mengganjal pinggul Liah, akhirnya masuk juga sedikit demi sedikit meskipun nampaknya Liah kesakitan dan memaksa.

"Auhh.. Aaahh.. Uuuhh.. Mmmhh.. Khh.." suara Liah yang sedikit keras terdengar ketika penisku masuk senti demi senti hingga amblas ditelan oleh vagina Liah yang sempit, mulus dan basah itu.

Setelah amblas, akupun semakin mempercepat gocokannya seiring dengan gerakan pinggul Liah yang nampaknya tidak mau diam. Suara nafas kami yang saling memburuh mewarnai kesunyian di ruangan itu. Baru aku mau coba terapkan posisi yang lain, misalnya tidur telentang dengan Liah mengangkangiku atau Liah nungging lalu aku menusuk vaginanya dari belakang atau kami sama-sama duduk dan lain-lainnya, tapi tiba-tiba sekujur tubuh Liah gemetaran, menarik rambutku, memelukku dengan keras dan menggigitku sedikit, lalu seolah menjepit kemaluanku dengan keras sehingga terasa berdenyut-denyut, yang akhirnya Liah lemas lunglai dan matanya tertutup tanmpa sedikitpun bergerak.

Maka terpaksa aku urungkan niatku, apalagi hampir bersamaan itu pula aku didesak oleh cairan hangat dari dalam yang seolah memaksa mau tumpah, yang akhirnya kuturuti saja tumpah di dalam lubang Liah yang sudah lemas, sehingga kuyakini tumpahnya hanya di bagian luar saja.

Belum mataku tertidur setelah menyelesaikan tugas dan merasa terobati oleh Liah, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di depan rumah. Mak cepat-cepat kubungkus diriku dengan sarung, lalu kubangunkan Liah yang baru saja mulai tertidur. Liah pun segera bangkit mengenakan pakaiannya seperti semula setelah ia melap tubuhnya yang basah dengan kain sarung yang ada di dekatku. Bersamaan dengan keluarnya Liah dari ruangan di mana aku tadi diobati, pintu rumaHPun kedengaran terbuka dan suara maka LiaHPun sangat jelas memanggil Liah untuk membantu mengangkat barang-barang belanja serta sisa jualannya di pasar. Liah terdengar berlari dari dalam setelah kedengaran ada air yang jatuh.

Mungkin Liah baru saja membersihkan vaginanya atau badannya yang kelepotan cairan kental. Namun hingga kami kembali ke daerahku bersama rOmbongan dengan membawa papan dagangan kami, tidak seorangpun yang pernah curiga atas apa yang telah kami peraktekkan bersama Liah sewaktu aku sedang sakit pura-pura.

Saat itulah awal dari perjalanan sexku bersama manusia. Hari-hari berikutnya, kami masih beberapa kali melakukannya dengan suka sama suka baik ketika kami berdua di rumahnya maupun ketika kami jalan-jalan ke gunung dan hutan. Tapi sayangnya, sejak aku melanjutkan pendidikan ke kota Kabupaten, aku belum pernah ketemu lagi, bahkan hingga saat aku memiliki 2 orang anak saat ini, kabarnyapun tak pernah terdengar.

E N D

No comments:

Post a Comment