Bapak dan ibu Sis memberikan beberapa pesan penting padaku seperti beberapa nomor telpon penting yang bisa dihubungi jika ada sesuatu di luar kendali, namun intinya mereka mempercayakan semua padaku untuk sementara mewakili mereka menjaga dan memperhatikan kedua putrinya. Aku mendengarkan dengan sungguh-sungguh.
"Semoga berhasil Pak Sis dan ibu!" kataku.
"Terima kasih dan ingat semua pesan bapak dan ibu ya!" Tegas Pak Sis mengingatkanku.
Seluruh barang bawaan pun kembali diperiksa, lalu mereka berpamitan dengan Tia dan Sonya.
"Tia, Sonya, kalian harus nurut sama abang, jangan lupa belajar dan jangan nakal ya!" kata ibu Sis sambil memeluk dan mencium pipi kedua putrinya itu.
"Papa dan mama hati-hati ya!" kata Sonya.
"Iya, nanti juga kalau pulang jangan lupa oleh-olehnya yaa!" sambung Tia.
Pak Sis pun memeluk kedua putrinya dan mencium kening mereka.
"Papa dan mama berangkat dulu ya sayang, kalian baik-baik di rumah ya!" kata Pak Sis.
Selesai berpamitan, mereka lalu menaiki taksi yang akan mengantar mereka ke stasiun kereta api untuk lalu berangkat menuju Jakarta.
Taksi yang membawa bapak dan ibu Sis telah menghilang di balik tikungan jalan ketika aku melirik ke arah Sonya, pandangan kami pun bertemu dan ia melmparkan senyum manisnya kepadaku.
"Waah..pesta nih nanti malam!!" pikirku gembira.
Kriing.. kriing.. terdengar suara telpon berdering malam itu.
"Halo, dari siapa?" Terdengar suara Tia menjawab telpon.
"Kak Sonyaa.. telpon dari Dewa" teriak Tia memanggil Sonya.
Sonya segera menjawab telpon itu.
"Huuh.. banyak amat sih yang nelpon!!" gerutuku.
Sebenarnya bukan hanya malam ini saja, tapi hampir setiap malam banyak sekali telpon yang mencari Sonya dari temen-temen cowoknya di sekolah. Saat itu aku tidak terlalu peduli karena suasana rumah juga "belum-aman", tapi sekarang.. aku benar-benar merasa sangat terganggu.
Wajahku pastilah terlihat kesal ketika Sonya sudah berada di dekatku kembali dan bertanya, "Abang kenapa sich? Kok kelihatannya marah, ada apa bang?" tanya Sonya.
"Siapa sih itu yang nelpon, pacar ya?!" tanyaku dengan nada ketus, padahal aku sudah sangat berusaha untuk tenang, tapi tetap saja yang kuucapkan bernada ketus emosi.
"Iya bang, hihihi enggak kook, Dewa cuman temen biasa tadi juga cuman nanyain PR buat besok, Mmm.. abang cemburu yaa?" godanya padaku sambil melemparkan senyum nakal.
"Eh.. eng.. enggak kok, cuman sinetronnya sedang seru tuh" kataku dengan gugup berusaha mengelak.
"Kenapa sih dari tadi banyak amat mahluk yang nelpon??" tanyaku akhirnya.
Sonya tersenyum lalu berkata, "begini deh, nanti kalau ada yang nelpon lagi, abang juga angkat telpon yang di kamar mama yaa, biar bisa ikutan dengar" katanya.
"Oh boleh, abang juga pengen tau apa sih maunya orang-orang yang nelponin Sonya itu.. huh.. mengganggu saja mereka!!" jawabku kembali dengan nada ketus.
Sonya lalu duduk di sampingku di sofa panjang sambil merangkulkan tangan kiriku pada lehernya, lalu ia dengan manja merebahkan kepalanya di pundakku.
Perasaanku pun kembali tenang. Kami menonton acara TV bersama, melepaskan lelah sehabis sibuk mengerjakan tugas-tugas rumah untuk sekolah esok. Tialah yang paling berkuasa memonopoli acara TV yang kami tonton karena ia memegang remote TV, duduk di karpet sambil bermain dengan boneka-boneka Barbienya dan tidak ada seorang pun yang boleh mengganggunya saat itu karena ia sangat suka menonton sinetron kesayangannya, Bidadari. Setelah sinetron itu selesai, aku segera menyuruh Tia untuk bobo. Sonya dan aku biasanya sering menemani Tia untuk menina bobokannya, terlebih malam ini saat aku dan Sonya ingin mereguk "kenikmatan surga duniawi" yang telah lama tertunda.
"Tia, ayo bobo sayang, sudah malam nih" kataku membujuknya.
"Nanti ya Bang, soalnya Tia masih mau nonton TV" kata Tia sambil tertawa-tawa dan berusaha untuk menghindariku yang berjalan ke arahnya.
Kriing.. kriing.. kembali telpon berbunyi.
"Bang, Tia angkat telpon dulu!" kata Tia seolah mendapat angin lalu berlari menuju telepon.
"Halo.. selamat malam.. dari siapa?" tanya Tia.
"Kak Sonyaa.. telpon dari Padi" teriak Tia memanggil kakaknya.
Sonya lalu menggamit tanganku dan memintaku untuk mendengarkan pembicaraan mereka lewat telpon di kamar ortunya. Pintu kamar kubuka lebar-lebar sehingga aku bisa mendengarkan pembicaraan sambil melihat ke arah Sonya yang berdiri di sana.
"Halo" kata Sonya.
"Hai Sonya, ini Padi, sedang ngapain nich?" Padi berbasa basi.
"Nonton TV, eh kamu dari kelas berapa??" Sonya bingung.
"eh.. aku dari kelas tiga itu lho, defendernya tim inti basket sekolah kita, kamu khan cheerleadernya pasti kamu tau aku doong" jelasnya.
"Cuihh.. nge-bullshit dia!!" pikirku geram.
"Hmm.. mungkin" jawab Sonya dingin.
Suasana hening sejenak, lalu terdengar Padi berkata lagi
"mm.. begini, sebenernya aku mau mengajak Sonya nonton pertandingan basket liga profesional besok sore yang di stadion deket sekolah kita, Sonya ada waktu ngga?" tanyanya penuh harap.
"Waah, kayaknya ngga bisa deh Di, besok sore Sonya mau berenang" jawab Sonya cuek.
"Mau berenang yaa? Di mana? Aku temenin deh, aku juga suka berenang, bareng ya besok!" pinta Padi.
"Busseet dasar bajigur! Maksa amat jadi orang, wong Sonya juga nggak kenal ama dia" pikirku.
"Ah, nggak perlu deh Di, soalnya Sonya ditemenin sama Tia dan abang, tapi makasih ya" Sonya menolak dengan halus.
"Ngga pa pa deh.. tapi gimana kalo besok pulang sekolah bareng kuanter naik motorku, aku tunggu di depan kelasmu yaa" katanya lagi usaha.
"Besok Sonya dan teman-teman mau janjian kerja kelompok jadi pulangnya harus bareng-bareng naik angkot soalnya Sonya belom tau rumahnya.."
"Huaahh dasar gombal, perayu kelas teri!!" gerutuku dalam hati.
Kesal sekali rasanya, orang itu kok kayak nggak ngerti-ngerti, Sonya sudah tidak mau kok masih aja maksa.. dsb.. dsb.. begitulah kira-kira apa yang kupikirkan saat itu. Perasaanku meledak-ledak sekali, ingin rasanya aku memotong pembicaraan mereka dan menyudahinya, tapi aku berusaha untuk bersikap tenang terlebih di depan Sonya, aku harus selalu bisa memberikan contoh yang baik, aku juga berusaha untuk mengerti seandainya aku yang berada pada posisi si Padi tadi, mungkin aku juga akan begitu, yahh, namanya juga usaha..
Aku melihat bahwa begitu banyak orang yang berusaha mengambil hati Sonya, mendekatinya dan menjadikannya pacar, tetapi mereka tidak bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan. Hal ini membuatku merasa sadar bahwa betapa bahagianya aku saat ini karena bisa memilikinya, menyayanginya, mencurahkan seluruh perhatian dan perasaan kasih sayangku padanya, merupakan suatu penghargaan tertinggi yang bisa kupersembahkan kepada Sonya ataupun kepada bidadari-bidadari kecil lainnya yang pernah dan mungkin akan kutemui sepanjang perjalanan hidupku.
Aku kembali melihat ke arah Sonya yang tersenyum-senyum sambil memandangku. Sonya terlihat begitu cantik, lesung pipit di pipinya menyempurnakan kecantikan wajahnya, Ia mengenakan daster tipisnya yang seksi sehingga aku dapat melihat tonjolan bukit kembarnya yang tengah berkembang pesat, kulitnya yang putih mulus, tubuh yang seksi feminin, rambut terurai berkilau panjang sebahu, usianya yang baru menginjak 12 tahun, benar-benar seorang bidadari. Selain teman-teman yang mendekatinya, banyak juga pencari-pencari bakat dan produser-produser sinetron lainnya yang sudah kebelet ingin menjadikannya seorang model-lah, bintang sinetron-lah, tetapi untungnya semua tawaran itu ditolak mentah-mentah oleh Pak Sis, dan aku tentu saja, sangat mendukung keputusan Pak Sis tersebut.
"Mm, jadi besok Sonya sibuk sekali ya?" tanya Padi yang keliatannya udah agak ngerti.
"Huaahh dasar lamban!" pikirku emosi.
"Iyyaa.." jawab Sonya dengan manja.
Suaranya yang halus dan manja serta silhouette tubuh sexy femininnya plus dua bukit kembar di balik dasternya yang tipis membuat birahiku menggelegak bak lahar di kawah candradimuka, ingin rasanya segera menerkam dirinya dan segera memberikan sentuhan kenikmatan seperti yang biasa kuberikan padanya, terlebih suasana saat ini telah begitu mendukung. "Hhh.. hh.. hh.." perasaan cemburu dan nafsu birahiku bercampur menjadi satu membuatku tidak mampu lagi mengatur nafasku, jantungku berdegup kencang.
"Eh Padi, udah dulu ya, Sonya mau bobo nich!" kata Sonya tiba-tiba mengakhiri pembicaraannya, mungkin ia juga bisa mendengar dengusan nafasku di telepon, tapi aku sudah tidak peduli, segera kututup telponnya dan segera berjalan dengan cepat ke arah Sonya yang tidak lama kemudian juga menutup telponnya lalu dengan setengah berlari ia masuk ke kamarku.
Ketika aku masuk ke kamar, kulihat Sonya tengah berdiri bersandar di meja belajar menantiku sambil kaki kirinya naik ke atas tempat tidurku sehingga dapat kulihat pahanya yang putih mulus itu tersingkap dengan jelas di hadapanku. Dengan cepat kupegang erat kedua bahunya, kutarik lalu kudorong merapat tembok. Aku merapatkan jarak dengannya lalu kuraih kedua tangannya dan kuangkat ke atas menempel ke tembok lalu kutahan. Posisi Sonya sekarang bagaikan orang yang sedang "angkat-tangan" di hadapanku membuat kedua bukit kembarnya tercetak jelas di balik daster tipisnya. Ia memandangku dengan pandangan yang penuh kegairahan sambil sedikit menggigit bibir bawahnya. "Hhh.. hh..hh.." Aku memandang wajahnya dengan penuh nafsu sampai-sampai hembusan nafasku mengibaskan rambutnya.
Posisi dadanya yang membusung ke depan begitu menantang dikarenakan kedua tangannya yang masih juga kutahan di atas. Tanpa bisa kukontrol lagi aku segera menghisap dan menjilati payudara kuncup bidadari kecilku. Daster tipis yang membalut bukit kembarnya yang sexy itu tidak bisa menghalangi hisapan dan jilatan liarku, bahkan malah membuatku semakin bernafsu untuk menghisap, karena ternyata jika menjadi semakin basah, maka bukit kembarnya itu akan semakin tercetak dengan jelas. Hal ini membuat Sonya menggeliat-geliat kenikmatan. Tidak lama kemudian ciuman dan jilatan kuarahkan ke lehernya yang jenjang, dagunya lalu naik ke bibir tipisnya yang sexy. Pertarungan emosi antara nafsu dan rasio agar tidak melakukan hisapan dengan sangat kuat dan penuh nafsu, hingga bisa menyakiti dirinya membuat tubuhku bergetar.
Kekhawatiran itu membuat kelembutan diriku kembali muncul, lalu kuhisap lidah Sonya dengan lembut dan penuh perasaan, melepas kerinduanku yang sudah sekian lama tertunda, sementara tanganku pun mulai merayap turun untuk kemudian menjamah kedua bukit kembarnya. Sonya terlihat menikmati apa yang kulakukan terhadap dirinya lalu mulai merangkulkan lengan kirinya di leherku lalu tangan kanannya membelai kepalaku. Aku kemudian menggetarkan tanganku seperti vibrator yang kini memegang sepasang payudaranya, hal itu ternyata membuat Sonya amat sangat terangsang sehingga kali ini ia tidak bisa mengontrol dirinya dan mulai menghisap lidahku dengan kuat. Hisapannya pada lidahku begitu kuat di tambah rangkulan tangannya pada leherku sehingga membuat kepalaku serasa terjepit. Bagiku, selama masih dalam batasan yang wajar dan masih bisa kuatasi, Sonya boleh lepas kontrol terhadapku tetapi aku yang wajib untuk mengontrol diriku sendiri agar tidak menyakiti apalagi sampai merusaknya secara fisik.
No comments:
Post a Comment