Tuesday, March 5, 2013

Sepanjang Jalan Kenangan 02

Sambungan Dari Bagian 1

Tanpa kusangka, mereka berhamburan naik ke tempat tidurku. Euis di samping kiri, Nyai di samping kanan. Keduanya langsung kurangkul, masuk ke dalam pelukanku. Perlahan tanganku mengelus rambut mereka yang basah (rupanya mereka keramas tadi di dalam), turun ke telinga, leher, tangan, dan dengan sangat perlahan, tanganku yang sudah sangat berpengalaman ini mengarah ke payudara. Sentuhan perlahan dan hati-hati, perlahan menuju ke puncak, ke tonjolan yang semakin lama semakin keras. Kujepit dengan kedua jariku sambil kupelintir perlahan. Desahan mulai terdengar dari mulut kedua gadisku ini. Kulihat mata mereka terpejam, dengan bibir mungil yang terbuka sedikit, membuatku semakin terangsang. Kucium kening Euis, perlahan turun ke mata, hidung, sampai ke bibirnya. Mulutnya yang wangi pasta gigiku itu kemudian kuciumi. Dengan perlahan dan hati-hati, kutelusuri bibir dan giginya dengan lidahku, lalu kumasukkan lidahku ke dalam mulutnya.

Dia semakin mendesah dan menggelinjang. Kedua tangannya memelukku erat. Sementara itu, Nyai kutarik dan kusandarkan kepalanya ke dadaku. Kuelus rambutnya, belakang lehernya, dan belakang telinganya. Tangannya yang bebas mengelus dadaku, turun ke kedua puting dadaku, lebih turun lagi, dan dengan berani menyelusup ke bawah karet celana piyamaku. Aku sengaja tidak memakai celana dalam, supaya praktis pikirku. Berani sekali dia. Elusan tangannya yang halus di permukaan batang kemaluanku, membuatku semakin bernafsu. Kepalanya yang menghadap ke bawah perlahan turun. Diturunkannya celana piyamaku, dan perlahan diciumnya kepala batang kemaluanku. Dijilatnya perlahan, kemudian dimasukkan ke dalam mulutnya yang kecil. Gesekan naik turun membuatku terpaksa mengangkat pinggangku ke atas. Dan itu dipergunakan Nyai untuk melepaskan celanaku sama sekali. Batang kemaluanku mengacung gagah, bebas lepas. Kuhentikan ciumanku, lalu kubuka Sweater yang dikenakan Euis. Hal yang sama kulakukan juga pada Nyai, sebelum aku sendiri membuka piyama atasku. Aku sudah telanjang bulat sekarang, sedangkan mereka berdua masih bercelana dalam. Tidak salah dugaanku.

Kurebahkan Euis, kemudian dengan rakus kukulum puting payudaranya yang belum terlalu besar. Kugigit perlahan, kutarik dan kuhisap kuat, membuat Euis sedikit berteriak. Sementara Nyai masih saja sibuk mengulum kemaluanku di bawah. Nafsuku sudah tidak tertahankan. Kubuka celana dalam Euis, lalu kujilati klitorisnya. Bulu kemaluannya masih sangat jarang. Kugelitik klitorisnya dengan jari tengahku, dan perlahan kucoba untuk menusukkan jariku itu ke dalam kemaluannya. Euis menghindar, dan berkata pelahan,
"Jangan Kang."
Dia benar-benar masih perawan karena jariku tidak bisa masuk, terhalang oleh otot-otot dinding vaginanya yang terkatup tegang, mungkin karena Euis merasa tidak "nyaman". Euis mendesah tidak karuan, kemudian mengangkat pinggulnya tinggi-tinggi sebelum terhempas diam. Dia sudah sampai di puncak kenikmatannya.

Kutinggalkan Euis telentang diam, kuserang Nyai. Kutelentangkan dia, kutarik celana dalamnya kemudian kujilati kemaluannya. Kepalanya mendongak karena berada di ujung bawah tempat tidur, sedang tangannya sibuk meremas-remas kepalaku yang cepak. Kumasukkan jari tengahku, bisa masuk. Kubengkokkan dan kutelusuri bagian atas kewanitaannya. Aku mencari daerah yang menurut istriku sangat nikmat bila disentuh. Kulihat gerakan perutnya semakin cepat, tanda bahwa titik itu sudah ditemukan. Kujilati klitorisnya sambil jari tengahku menekan-nekan bagian atas kewanitaannya yang hangat, basah dan lembut. Gerakannya semakin liar, semakin liar, sambil mulutnya mendesah kuat. Kuhentikan kegiatanku, lalu kudaki tubuhnya perlahan-lahan. Nyai membuka matanya, terlihat agak kecewa. Tapi itu tidak lama, karena segera kucium bibirnya, dan kutelusuri mulutnya dengan lidahku.

Sementara itu, tanganku membimbing kemaluanku menuju liang kewanitaannya. Kugosok-gosokkan kepala kemaluanku ke klitorisnya, kemudian perlahan dan hati-hati kudorong masuk. Kuku jari Nyai yang agak panjang menancap kuat di punggungku, dan kulihat mukanya meringis seperti menahan sakit. Batang besar dan keras itu sedang berusaha menguak lubang kecil dan sempit, yang sudah sangat basah. Baru masuk tiga perempat, mata Nyai mendelik ke atas, sambil mulutnya mengeluh keras,
"Aaacchh.."
Rupanya lubang kewanitaannya tidak cukup dalam untuk menerima kemaluanku. Kalau kupaksakan, tentu akan menimbulkan kesakitan yang amat sangat.

Jadi kubiarkan sejenak agar otot-otot vaginanya terbiasa, sebelum kegerakkan naik turun. Setiap kali tertancap, Nyai mengeluh keras,
"Aaacchh.."
Aku tidak tahu pasti, apakah itu karena kesakitan atau menahan kenikmatan. Kemaluanku serasa dipijat dan dicengkeram karena sempitnya. Seluruh permukaan batang menggesek dinding gadis muda itu. Lima menit kami bertempur, membuat tubuh mungilnya basah oleh keringat. Kepalanya semakin liar menggeleng kekiri dan kekanan, sambil kukunya mencakar kasar punggungku. Aku yakin pasti menimbulkan luka. Mudah-mudahan bisa sembuh sebelum ketahuan oleh istriku nanti. Dalam keadaan seperti itu, masih sempat aku teringat akan istriku.

Nyai menggelepar kapayahan setelah melepas puncak kenikmatannya, kemudian telentang pasrah menerima terjangan dan tusukan yang semakin lama semakin cepat. Semakin cepat.. semakin cepat.. semakin cepat, dan dengan denyutan yang keras berirama, kemaluanku memuntahkan lahar putih kental yang banyak, ke atas perutnya. Pikiran jernihku masih bisa menahan untuk tidak ejakulasi di dalam. Akupun ambruk menimpa tubuh Nyai. Kukecup mulut mungilnya sambil berucap,
"Terima kasih Nyai, kamu hebat sekali."
Dia tersenyum, menarik kepalaku, menciumku lalu berujar,
"Ampun Kang, Nyai nggak kuat. Terima Kasih juga."

Aku bangkit berdiri, masuk ke kamar mandi membersihkan diri. Satu kebiasaan yang selalu kulakukan setiap kali selesai bersetubuh. Kubersihkan kemaluanku yang masih basah oleh lendir. Kepalanya yang merah keunguan, sudah mulai mengecil. Nafsu birahiku sudah lepas seiring dengan lepasnya sperma. Kepalaku serasa enteng, dan mulai bisa berpikir jernih, dan mulai lagi berandai-andai. Pikiran Negatif selalu ada, dan itulah yang mungkin membuatku selalu selamat dalam petualanganku selama ini.

Kembali ke kamar tidur, kulihat keduanya sudah masuk ke bawah selimut. Aku masuk ke antara mereka berdua, kemudian kucium bibir mereka bergantian. Akhirnya berhasil juga aku membawa kalian ke tempat tidur, senyumku dalam hati.

Ternyata ketenanganku hanya bertahan sebentar. Pikiranku langsung tergoda pada Euis yang masih perawan. Aku terbayang nikmatnya pengalaman menembus selaput dara seorang gadis. Sampai saat ini, sudah 4 gadis yang berhasil kuperawani, termasuk istriku. Aku memang keterlaluan. Batang kemaluanku kembali mengeras, besar dan berdenyut. Perlahan kugeser badanku menyamping mengadap Euis. Gadis manis yang seksi ini tengah tertidur dalam damai, sampai tidak sadar kalau tubuh telanjangnya sudah terbuka dari lindungan selimut. Kuperhatikan, payudaranya yang baru tumbuh. Pinggangnya yang ramping dan seksi, bulu kemaluannya yang baru tumbuh sedikit, dan kewanitaannya yang masih sangat rapat. Aku harus mencobanya, tekadku dalam hati.

Perlahan kuelus lembut rambutnya, kemudian kuciumi keningnya, matanya, hidungnya, lalu sampai ke bibirnya. Perlahan kusapu bibir mungilnya yang merekah merah itu dengan lidahku. Terdengar desahan dari mulutnya. Rupanya dia terbangun karena aktifitasku ini. Kulumat mulutnya, yang mendapat perlawanan setimpal darinya. Tangannya yang satu mengelus dadaku, perlahan turun ke bawah. Berani juga anak ini, mungkin belum tau apa akibat yang akan ditimbulkannya. Tangan kiriku mengelus dadanya, kemudian meremas payudaranya. Desahannya semakin kuat. Kipindahkan mulutku perlahan ke dadanya, kemudian kuhisap kuat payudaranya sambil kupelintir putingnya dengan lidahku. Kepalanya mendongak ke atas menahan nikmat.

Kutindih tubuh mungilnya, lalu perlahan kutelusuri tubuhnya ke arah bawah. Pusarnya kujilat membuat Euis menggelinjang kegelian. Kuteruskan penelusuranku semakin ke bawah, sampai ke kemaluannya yang sudah kembali basah. Kujilat klitorisnya yang menonjol keras, membuat kepalanya bergerak liar ke kiri ke kanan. Tidak mau rugi, akupun mengubah posisi hingga mulutnya bisa bermain di kemaluanku. Tapi rupanya dia belum terbiasa, hingga diam saja. Kuantar dia sampai ke puncak kenikmatannya yang pertama, yang membuat Euis memelukku dengan kuat dan berbisik,
"Nikmat sekali kang."
Merasa mendapat "angin", kubisikkan ketelinganya,
"Euis sayang, boleh dimasukkan?"
Dia menatapku lekat-lekat, membuatku ragu. Tapi dengan tidak ada reaksi lainnya, dalam hati kuyakinkan bahwa dia tidak menolak (walaupun tidak mengiyakan).

Akupun kembali bergerilya dengan mulutku, mulai kedua payudara, sampai ke kemaluannya. Kubuat ia hampir sampai puncak selanjutnya, sebelum kuhentikan. Itu adalah satu rahasia kecil untuk membuat seorang wanita ketagihan dan mau menyerahkan segalanya. Saat hampir sampai, hentikan. Seakan dia akan memelas dan mau berbuat apapun agar kita memuaskannya. Kucium bibirnya sambil salah satu tanganku membimbing batang kemaluanku menuju ke liang senggamanya. Euis menatapku lekat-lekat, tetapi tidak berkata apa-apa. Perlahan kudorong, memasukinya. Baru kepalanya, kepala Euis sudah mendongak ke atas, dan mukanya menampakkan kesakitan. Ditembus saja sudah sakit, apalagi dengan batang sebesar itu.

Aku tidak menyerah, perlahan tapi pasti kudorong batang kemaluanku memasukinya. Euis menggigit bibirnya keras, mungkin supaya tidak berteriak. Perlahan tapi pasti, selaput itupun terkuak. Kenikmatan tiada tara kurasakan saat penghalang itu tertembus. Butir air mata terlihat di kedua sudut mata gadisku ini, menandakan kesakitan yang amat sangat. Tiga perempat sudah batang besar dan keras itu masuk, hampir jebol pertahananku karena sempit dan nikmatnya kemaluan Euis. Kuhentikan beberapa saat, sebelum kupompa naik turun. Aku yakin, Euis pasti tidak bisa menikmatinya karena belum terbiasa. Dia hanya telentang pasrah menerima genjotanku.

Akupun tiba-tiba punya ide yang lebih gila, aku ingin ejakulasi di mulutnya. Ide itu membuatku cepat sampai ke puncak. Dan sebelum sempat memuntahkan lahar, kukeluarkan lalu kumasukkan ke dalam mulut mungilnya yang terbuka. Dia kaget, tetapi tidak dapat berbuat apa-apa. Tidak lama, akupun memuntahkan cairan kental dan putih itu dalam mulutnya, yang segera dimuntahkannya ke lantai. Segera kupeluk Euis yang menangis terisak-isak, sambil kuciumi dan kuusap ubun-ubun kepalanya. Seprai merah jambu yang berantakan bernoda darah yang lumayan banyak.
"Terima Kasih Euis," kataku.
Dia diam saja, tapi balas memelukku erat. Sementara Nyai tetap tertidur lelap kelelahan. Dari mukanya terlihat kepuasan yang amat sangat. Malam itu, aku menyetubuhi Euis sekali lagi, sebelum kami berdua tidur berpelukan sampai pagi. Dalam pergumulan yang kedua ini, Euis tidak lagi terlihat kesakitan, walau kurasa, dia belum bisa menikmatinya.

Esok harinya, kami baru terbangun saat matahari sudah tinggi. Kupeluk kedua gadisku sambil kutanyakan,
"Mau lagi?"
Euis menggeleng pelan, sedangkan Nyai menjawab ingin, hanya harus pulang. Ya sudah, setelah masing-masing mandi membersihkan diri, kamipun meninggalkan penginapan itu. Pada saat kedua gadisku mandi, diam-diam kusisipkan lima lembar seratus ribuan ke dalam masing-masing tas sekolahnya. Aku sudah membayangkan bagaimana komentar Room Boy-nya saat melihat tempat tidur berantakan dan bernoda darah. Setelah mengantarkan mereka ke rumah orang tua masing-masing, kupacu mobil biru kecilku menuju ke Bandung.

TAMAT

No comments:

Post a Comment