Coconuts crepe, itulah deskripsi yang sering saya gunakan untuk menjelaskan kue dadar gulung pada orang asing, sewaktu tinggal di Jepang. Karena adonan kulitnya seperti crepe, terus isinya kelapa campur gula merah. Beberapa orang asing cukup amazed dan menyukai jajanan ini. Terbukti, selalu laris manis kalau ada bazaar makanan Indonesia.
Selain untuk snack, kue ini juga cocok disajikan sebagai hidangan penutup (dessert) bila isinya ditambahkan irisan nangka. Jadi lebih segar dan wangi.
Di tanah air, kue ini gampang ditemukan. Kalau ga sempat bikin sendiri, bisa langsung beli. Tapi kalau tinggal di luar negeri, harus bikin atau pesan khusus untuk mendapatkannya. Bagi yang ingin membuat sendiri, tidak susah kok. Bahan-bahannya mudah didapat, cara membuatnya pun gampang. Trus mana resepnya??? Resepnya silahkan lihat di sini yaaa....:)
Tuesday, April 30, 2013
Saturday, April 27, 2013
RESEP CARA MEMBUAT SIOMAY TUSUK YANG ENAK
Kumpulan Resep Masakan Nusantara - Bahan-bahan untuk membuat siomay :
- 1/2 adonan biang pempek
- 500 gr tepung kanji
- 200 gr udang segar, cacah halus
- 1 tangkai seledri , iris halus
- 2 btr telur, kocok lepas
- 1 sdt merica bubuk
- 1 sdt minyak wijen
- 2 sdm bawang goreng
- 1 1/2 sdt garam
- 1 sdm minyak goreng
- Tusuk sate secukupnya
- Campurkan adonan biang pempek, tepung kanji, udang cincang, seledri , telur, minyak goreng, merica , garam , dan minyak wijen .
- Kemudian tambahkan bawang goreng dan tepung kanji sedikit demi sedikit. Aduk hingga adonan mudah dibentuk.
- Bentuklah adonan menjadi bulat-bulat, lalu rebus dalam air mendidih sampai matang dan mengapung. Angkat dan tiriskan.
- Tusuk siomay dengan tusukan sate, lalu bakar di atas bara sampai kering di bagian luarnya.
- Sajikan dengan bumbu kacang dan kecap manis.
Selamat mencoba....!!!
Tanpa Sadar Aku Menikmati Pemerkosaan
Karena waktunya yang 4 hari itu cukup panjang, dia menyarankan aku untuk ambil cuti dari kantorku dan dia ngajak aku ikut serta sambil menikmati suasana kota Yogyakarta dimana penataran itu akan berlangsung.
Di sela-sela waktunya nanti dia akan ajak aku untuk melihat sana-sini di seputar Yogyakarta, antara lain Keraton Yogya yang selama ini belum pernah aku melihatnya. Ah.. tumben suamiku punya idea yang brilyan, senyumku. Aku akan urus cutiku itu.
Begitulah, pada hari Minggu, 25 Nopember malam aku bersama suami telah berada di restoran Novotel Yogyakarta yang terkenal itu.
Aku perhatikan semua kursi dipenuhi pengunjung. Secara ala kadarnya aku diperkenalkan dengan teman-teman suamiku yang juga datang bersama istri mereka.
Dalam kerumunan meja besar untuk rombongan suamiku ini kami nampaknya merupakan pasangan yang paling muda dalam usia. Dan tentu saja aku menjadi perempuan yang termuda dan nampaknya juga paling cantik.
Sementara ibu-ibu yang lain rata-rata sudah nampak ber-cucu atau buyut barangkali. Dan akhirnya aku tidak bisa begitu akrab dengan para istri-istri yang rata-rata nenek-nenek itu.
Mungkin duniaku bukan lagi dunia mereka. Cara pandang dan sikap kehidupanku sudah jauh beda dari masa mereka.
Karena paling muda suamiku kebagian kamar yang paling tinggi di lantai 5, sementara teman-temannya kebanyakan berada di lantai 2 atau 3.
Bagiku tak ada masalah, bahkan dari kamarku ini aku bisa lebih leluasa melihat Yogyakarta di waktu malam yang gebyar-gebyar penuh lampu warna-warni.
Malam itu kami serasa berbulan madu yang kedua. Kami bercumbu hingga separoh malam sebelum tidur nyenyak hingga saat subuh datang.
Pagi harinya kami sempat sedikit jalan-jalan di taman hotel yang cukup luas itu untuk menghirup udara pagi sebelum kami sarapan bersama.
Jadwal penataran suamiku sangat ketat, maklum disamping setiap session selalu diisi oleh pembicara tamu atau ahli dari Jakarta, juga dihadiri oleh pejabat penting dari berbagai tingkatan dan wilayah setanah air.
Setiap pagi suamiku harus sudah berada di tempat seminar di lantai 2 pada jam 7 pagi. Apalagi sebagai anggota rombongan yang termuda dia seperti kena pelonco, segala hal yang timbul selalu larinya ke dia.
Untung suamiku bertype "positive thinking" dan selalu penuh semangat dalam melaksanakan semua tugasnya.
Sesaat setelah suamiku memasuki ruang penataran aku sempatkan jalan-jalan di seputar hotel kemudian mencari book store untuk membeli koran pagi.
Sesudah duduk sebentar di lobby aku balik ke kamar untuk mencoba telpon ke rumah sekedar 'check rechek' kegiatan pelayanku di rumah.
Kemudian duduk santai membaca koran di balkon kamarku yang berpanorama atap-atap kampung Yogyakarta sambil minum coklat instant yang tersedia di setiap kamar Novotel ini.
Bosan membaca koran aku buka channel TV sana-sini yang juga membosankan. Aku berpikir mau apa lagi, nih. Akhirnya sekitar jam 9 pagi aku berpikir sebaiknya aku turun ke lobby sambil mencuci mata melihat etalase toko di seputarnya.
Aku keluar kamar melangkah di koridor yang panjang untuk menuju lift. Bersamaan dengan itu kulihat kamar di depan kamarku pintunya terbuka dan nampak sepintas di dalamnya ada seseorang setengah umur sedang sibuk menulis.
Dia sempat menengok ke arahku sebelum aku bergerak menuju lift. Hal yang lumrah di dalam hotel yang tamunya dari segala macam orang dan asal.
Tak terbersit pikiran apapun pada apa yang barusan tampak oleh mataku.
Aku adalah type perempuan yang berpribadi dan paling teguh menjaga diri sendiri baik karena kesadaran sosial budayaku maupun kesadaran akan etika moral yang berkaitan dengan nilai-nilai kesetiaan seorang istri pada suaminya.
Kembali aku jalan-jalan di seputar lobby, di shopping arcade yang menampilkan berbagai rupa barang dagangan pernik-pernik menarik, ada parfum, ada accessories, ada boutique. Ah.. aku nggak begitu tertarik dengan semua itu.
Aku punya pandangan sendiri bagaimana membuat hidup lebih nyaman dan punya nilai. Aku memang tidak tertarik dengan pola hidup khalayak.
Aku menyenangi keindahan yang serba alami. Kalau toh ada poles di sana, itu adalah 'touch' yang lahir dari sikap budaya sebagaimana manusia yang memang memiliki rasa dan pikir.
Demikian pula yang berkaitan dengan kecantikan. Aku sangat menyadari bahwa basis tampilanku adalah perempuan yang cantik.
Dan hal itu terbukti dari banyak orang yang sering secara langsung ataupun tidak langsung memberikan komentar dan penghargaan atas kecantikanku serta sikapku pada kecantikanku itu.
Aku ingin kecantikkan yang juga memancar dari sikap budayaku. Dengan demikian aku akan selalu cantik dalam keadaan apapun.
Oleh karenanya aku sangat menyukai 'touch' yang sangat mencerminkan kemuliaan pribadi. Buatku hidup ini sangat tinggi maknanya dan perlu disikapi secara mulia, khas dan penuh kepribadian.
Sesudah 1 jam jalan dan lihat sana-sini kembali aku dilanda rasa bosan yang menuntunku untuk balik ke kamar saja. Aku memasuki kembali lift menuju kamarku di lantai 5.
Aku masih melihat kamar depanku yang tetap pintunya terbuka. Aku membuka pintuku dan masuk. Aku sedang hendak mengunci kembali kamarku ketika terdengar dari luar sapaan halus.
"Selamat pagi"
Yang spontan aku jawab selamat pagi pula sambil membuka sedikit pintuku.
Kulihat lelaki dari kamar depanku itu dan begitu cepat menyisipkan tangannya ke celah pintu dan meraih daunnya, kemudian dengan sangat sigap pula masuk menelusup ke kamar sebelum aku menyadari dan mempersilahkannya.
Hal yang sungguh sangat tidak mengenakkan aku. Aku tidak terbiasa berada dalam sebuah ruangan tertutup dengan lelaki lain yang bukan suamiku.
Tetapi peristiwa itu rasanya berlangsung demikian cepat. Bahkan kemudian lelaki itu merapatkan dan langsung mengunci pintuku hingga kini benar-benar aku bersamanya dalam kamar tertutup dan terkunci ini.
Ini adalah sebuah kekeliruan yang besar. Aku langsung marah dan berusaha menolaknya keluar dengan meraih kunci di pintu. Tetapi kembali dia lebih sigap dari aku.
"Tenang, zus, jangan takut. Aku nggak akan menyakiti zus, kok. Aku cuma sangat kagum dengan kecantikan yang zus miliki. Benar-benar macam kecantikan yang lahiriah maupun kecantikkan dari dalam batin.
Inner beauty. Khayalanku menjadi melambung jauh setiap melihat zus. Sejak semalam di meja makan saat makan malam, kebetulan aku berada di samping meja makan rombongan suami zus, aku lihat tangan-tangan lentik zus.
Aku pastikan zus sangat cantik. Dan pagi tadi saat zus jalan-jalan di taman bersama suami dan kemudian juga jalan-jalan di sekitar lobby kembali aku sangat mengagumi penampilan zus.
Aku sangat terpesona dan tak mampu menahan diriku. Aku kepingin sekali tidur bersama zus, pagi ini".
Orang itu memandangkan matanya tajam ke mataku. Omongan orang itu benar-benar biadab, tak punya malu. Apalagi rasa hormat. Dia seakan begitu yakin pasti menang atasku.
Edan! Kok ada orang edan macam ini. Omongan panjangnya kurasakan sangat merendahkan diriku, kurang ajar, mengerikan dan menakutkan. Limbung dan ketakutan yang amat sangat langsung melanda sanubariku.
Bulu kudukku merinding. Aku sepertinya jatuh dari ketinggian tanpa tahu akhirnya. Rasa sesak nafasku demikian menekan emosiku. Aku merasa begitu sangat lemah, terbatas dan tak punya pilihan.
Jangan harap kebaikan dari lelaki biadab ini. Dia jelas tidak menyadari dan paham betapa aku mengagungkan nilai-nilai hidup ini.
Dia tidak tahu betapa aku selalu takut pada pengkhianatan dan pengingkaran terhadap kesetiaanku pada suami.
Aku sama sekali tak pernah siap akan hal-hal yang sebagaimana kuhadapi saat ini. Sungguh edan!!
Kemudian dengan kalemnya dia raih tangan dan pinggangku untuk memelukku. Harga diri dan martabatku langsung bangkit marah. Aku berontak dan melawannya habis-habisan.
Tanganku meraih apapun untuk aku pukulkan pada lelaki itu. Kutendangkan kakiku ke tubuhnya sekenanya, kucakarkan kukuku pada tubuhnya sekenanya pula. Tetapi.. Ya ampuunn.. Dia sangat tangguh dan kuat bagiku.
Lelaki itu berpostur tinggi pula dan mengimbangi tinggiku, dan usianya yang aku rasa tidak jauh beda dengan usia suamiku disertai dengan otot-otot lengannya yang nampak gempal saat menahan pegangan tanganku yang terus berontak dan mencakarinya.
Dia seret dan paksa aku menuju ke ranjang. Aku setengah dibantingkannya ke atasnya. Dan aku benar-benar terbanting. Kacamataku terlempar entah ke mana.
Teriakanku sia-sia. Aku rasa kamar Novotel ini kedap suara sehingga suaraku yang sekeras apapun tidak akan terdengar dari luar.
Karena perlawananku yang tak kenal menyerah dia dengan cepat meringkus tangan-tanganku dan mengikatnya dengan dasi suamiku yang dia temukan dan sambar dari tumpukan baju dekat ranjang hotel.
Dia ikat tanganku ke backdrop ranjang itu. Aku meraung, menangis dan berteriak sejadi-jadinya hingga akhirnya dia juga sumpel mulutku, entah pakai apa, sehingga aku tak mampu lagi bergerak banyak maupun berteriak.
Sesudah itu dia tarik tungkai kakiku mengarah ke dirinya. Dia nampak berusaha menenangkan aku, dengan cara menekan mentalku, seakan meniupi telingaku. Dia berbisik dalam desahnya,
"Ayolah, zus, jangan lagi memberontak. Nanti lelah saja. Percuma khan, Waktu kita nggak banyak. Sebentar lagi suami zus istirahat makan siang.
Dan bukankah dia selalu menyempatkan untuk menjemput zus untuk makan bersama?!".
Aku berpikir cepat menyadari kata-katanya itu dan menjadi sangat khawatir. Ini orang memang betul-betul lihay. Mungkin memang tukang perkosa profesional.
Dia seakan tahu dan menghitung semuanya. Dia bisa melemparkan isue yang langsung menekan. Dia tahu bahwa aku tidak mau kehilangan suamiku.
Dan dia juga tahu, kalau toh kepergokpun, dia tak akan merugi. Hampir tak pernah dengar ada suami yang melapor istrinya diperkosa orang.
Yang ada hanyalah seorang suami yang menceraikan istrinya tanpa alasan yang jelas. Disinilah bentuk tekanan lelaki biadab ini padaku. Sementara itu tindakan brutalnya terus dilakukannya.
Dia robek blusku dengan kekerasannya untuk menelanjangi dadaku. Dia hentakkan kutangku hingga lepas dan dilemparkannya ke lantai. Kemudian dengan seringainya dia menelusurkan mukanya.
Dia benamkan wajahnya ke ketiakku. Dia menciumi, mengecup dan menjilati lembah-lembah ketiakku. Dari sebelah kanan kemudian pindah ke kiri. Yang kurasakan hanyalah perasaan risih yang tak terhingga.
Suatu perasaan yang terjadi karena tiba-tiba ada sesuatu, entah setan, binatang atau orang telah merangseki tubuhku ini.
Tangan-tangannya menjamah dan menelusup kemudian mengelusi pinggulku, punggungku, dadaku. Tangannya juga meremas-remas susuku. Dengan jari-jarinya dia memilin puting-puting susuku. Disini dia melakukannya mulai dengan sangat pelan.
Ah.. Bukan pelan, tt.. tetapi.. lembut. Dd.. dan.. dan demikian penuh perasaan. Kurang ajaarr..! D.. dd.. dia pikir bisa menundukkan aku dengan caranya yang demikian itu.
Aku terus berontak dalam geliat.. Tetapi aku bagai kijang yang telah lumpuh dalam terkaman predatornya. Aku telah rebah ke tanah dan cakar-cakar predatorku telah menghunjam di urat leherku.
Kini aku hanyalah seonggok daging konsumsi predatorku.
Aku sesenggukan melampiaskan tangisku dalam sepi. Tak ada suara dari mulutku yang tersumpal. Yang ada hanya air mataku yang meleleh deras.
Aku memandang ke-langit-langit kamar Novotel. Aku demikian sakit atas ketidak adilan yang sedang kulakoni. Kini lelaki itu melihati aku. Aku menghindarkan tatapan matanya. Dia menciumi pipiku dan menjilat air mataku,
"Duhh, sayangkuu.. kamu cantik banget, siihh.. ", orang ini benar-benar kasmaran padaku.
Dia juga menciumi tepian bibirku yang tersumpal. Kini kengerian dari kebiadaban berikutnya datang menyusul. Tangannya sigap menyibakkan gaun penutup wilayah rahasiaku.
Tangan lainnya mencapai pahaku dan mulai meraba-raba kulitku yang sangat halus karena tak pernah kulewatkan merawatnya. Lelaki ini tahu kehalusan kulitku.
Dia merabanya dengan pelan dan mengelusinya semakin lembut. Ucchh.. Betapa aku dilanda perasaan malu yang amat sangat.
Aku yang tak pernah menunjukkan auratku selama ini, tiba-tiba ada seorang lelaki asing yang demikian saja merabaiku dan menyingkap segala kerahasiaanku.
Kemudian dia kembali melanjutkan kebiadabannya, dia merenggut dan merobek gaunku. Dia tarik dari haribaan tubuhku. Dia campakkan ke lantai sebagaimana kutangku tadi.
Dan kini aku hanyalah perempuan yang hina dengan setengah telanjang dan siap dalam perangkap lumatannya. Aku merasakan sepertinya dia telah merobeki jiwaku dan mencampakannya ke lantai kehinaan perempuan.
Aku merasakan betisku, pahaku kemudian gumpalan bokongku dirambati tangan-tangannya. Berontakku sekali lagi hanyalah kesia-siaan.
Dia menindih berat dengan dadanya. Wajahnya mendekat hingga kurasakan nafasnya yang meniupkan angin ke selangkanganku. Lelaki itu mulai menenggelamkan wajahnya ke selangkanganku. Bukan main. Belum pernah ada seorangpun berbuat macam ini padaku. Juga tidak begini suamiku selama ini.
Edan. Edaann..!!
Aku tak kuasa menolak semua ini. Segala berontakku kandas. Kemudian aku merasakan lidahnya menyapu pori-pori selangkanganku. Edaann..!!
Lidah itu sangat pelan menyapu dan sangat lembut. Sesaat sepertinya aku berada di persimpangan jalan. Di depan mataku ada 2 potret. Aku membayangkan suamiku dan sekaligus lelaki ini.
Salahkah aku?
Dosakah aku?
Siapa yang salah?
Kenapa aku ditinggal sendirian di kamar ini?
Kenapa mesti ada lelaki ini?
Aku berpusing. Duniaku seakan-akan berputar dan aku tergiring pada tepian samudra yang sangat mungkin akan menelan dan menenggelamkan aku.
Aku mungkin sedang terseret dalam sebuah arus yang sangat tak mampu kulawan. Aku merasakan lidah-lidah lelaki ini seakan menjadi seribu lidah.
Seribu lidah lelaki ini menjalari semua bagian-bagian rahasiaku. Seribu lidah lelaki inilah yang menyeretku ke tepian samudra kemudian menyeret aku untuk tertelan dan tenggelam.
Ammpuunn.. Bayangan kengerian akan ingkarnya kesetiaan seorang istri menerkam aku. Keringatku meluncur deras.
Aku tak bisa pungkiri. Aku sedang jatuh dalam lembah nikmat yang sangat dalam.. Aku sedang terseret dan tenggelam dalam samudra nafsu birahiku. Aku sedang tertelan oleh gelombang nikmat syahwatku.
Salahkah akuu..??
Salahkah..??
Dan saat kombinasi lidah yang menjilati selangkanganku dan sesekali dan jari-jari tangannya yang mengelusi paha di wilayah puncak-puncaknya rahasiaku, aku semakin tak mampu menyembunyikan rasa nikmatku.
Isak tangisku terdiam, berganti dengan desahan dari balik kain yang menyumpal mulutku.
Dan saat kombinasi olahan bibir dan lidah dipadukan dengan bukan lagi sentuhan tetapi remasan pada kemaluanku, desahanku berganti dengan rintihan yang penuh derita nikmat birahi. Aku telah tenggelam.
Dan gelombang itu kini menggoyang pantatku. Aku menggelinjang. Aku histeris ingin..
Yaa.. Aku ingin!
Aku punya ingin menjemputi ribuan lidah dan jari-jari lelaki ini. Ampuunn..!!
Masih adakah aku??
Dan ah.. Pintarnya lelaki ini. Dia begitu yakin bahwa aku telah tenggelam. Dia begitu yakin bahwa aku telah tertelan dalam syahwatku. Dia renggut sumpal di mulutku.
"Ayolah, sayang.. mendesahlah.. merintihlah.. Ambil nikmatmu. Teguk haus birahimu..",
Aku mendesah dan merintih sangat histeris. Kulepaskan dengan liar derita nikmat yang melandaku. Aku kembali menangis dan mengucurkan air mata. Aku kembali berteriak histeris.
Tetapi kini aku menangis, mengucurkan air mata dan berteriak histeris beserta gelinjang syahwatku. Aku meronta menjemput nikmat. Aku menggoyang-goyangkan pinggul dan pantatku dalam irama nafsu birahi yang menerjangku.
Dan sejak saat itu aku memasuki wilayah tak terhingga, tanpa batasan norma sekaligus meninggalkan batasan-batasan yang selama ini kupertahankan dengan sangat teguhnya.
Aku memasuki suatu wilayah yang terbersit sepintas, bahwa aku sebenarnya pernah menginginkan nilai macam ini, nilai dimana tak ada kekhawatiran, ketakutan, rasa salah dan rasa mengkhianati.
Aku memasuki wilayah dimana aku eksis secara murni menjadi diriku. Mungkin semacam ini alamiahku, yang adalah mahkluk untuk dipenuhi keinginan nafsu dan birahi yang demikian bebas tanpa kendali.
Bahkan aku merasa ini adalah hak. Hak-ku. Aku merasa ber-hak untuk mendapatkannya.
Dan ke-tak terhingga-an serta ke-tak terbatas-an itu merayap menuju puncaknya ketika aku diterpa rasa dingin menggigil serta gemetar seluruh tubuhku yang disebabkan bibir lelaki itu merambah turun meluncur melewati perutku dan langsung menghunjam terperosok ke-kemaluanku.
Aku tak mampu mengendalikan diriku lagi. Aku bergoncang-goncang mengangkati pantatku untuk mendorong dan menjemputi bibirnya karena kegatalan yang amat sangat pada kemaluanku.
Dengan serta merta pula aku berusaha menjilati buah dadaku sendiri menahan gelinjang nikmat yang melanda nafsu birahiku.
Dan kurasakan betapa kecupan, gigitan dan ruyak lidah lelaki ini membuat gigil dan gemetarku melempar aku ke lupa diri.
Akhirnya karena tak mampu aku menahannya lagi aku merintih.
"Hauss, mmaass.. Aku hauss.."
Rintihan itu membuat lelaki itu mendekatkan wajahnya ke wajahku hingga bisa kuraih bibirnya.
Aku rakus menyedotinya. Kehausanku yang tak bisa kubendung membuat aku ingin melumati mulutnya. Aku berpagut dengan pemerkosaku.
Aku melumat mulutnya sebagaimana sering aku melumati mulut suamiku saat aku sudah sangat di puncak birahiku. Aku benar-benar dikejar badai birahiku.
Aku benar-benar gelisah gelombang syahwatku. Biasanya kalau sudah begini suamiku langsung tahu. Dia akan menusukkan penisnya ke vaginaku untuk menutup kegairahanku. Dia akan menjejalkan kontolnya dan memekku pasti cepat menjemputnya.
Dan kini aku benar-benar menunggu lelaki itu memasukkan kontolnya ke kemaluanku pula. Aku sebenar-benarnya berharap karena sudah tidak tahan merasakan badai birahiku yang demikian melanda seluruh organ-organ peka birahi di tubuhku.
Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang sama sekali diluar dugaanku. Aku sama sekali tak menduga, karena memang aku tak pernah punya dugaan sebelumnya. Kemaluan lelaki ini demikian gedenya.
Rasanya ingin tanganku meraihnya, namun belum lepas dari ikatan dasi di backdrop ranjang ini. Yang akhirnya kulakukan adalah sedikit mengangkat kepalaku dan berusaha melihati kemaluan itu. Ampuunn.. Sungguh mengerikan.
Rasanya ada pisang tanduk gede dan panjang yang sedang dipaksakan untuk menembusi memekku. Aku menjerit tertahan. Tak lagi aku sempat memandangnya.
Lelaki ini sudah langsung menerkam kembali bibirku. Dia kini berusaha meruyakkan lidahnya di rongga mulutku sambil menekankan kontolnya untuk menguak bibir vaginaku.
Selama ini aku pikir kontol suamiku itulah pada umumnya kemaluan lelaki itu. Kini aku dihadapkan kenyataan betapa besar kontol di gerbang kemaluanku saat ini, yang terus berusaha mendesaki dan menembusi kemaluanku tetapi tak kunjung berhasil.
Aku sendiri sudah demikian kehausan dan tanpa malu lagi mencoba merangsekkan lubang kemaluanku tetapi tak juga berhasil.
Cairan-cairan yang mestinya melicinkanpun belum bisa membantu lincirnya kontol itu memasuki kemaluanku. Tetapi lelaki ini ada cara.
Dia meludah pada tangannya untuk kemudian menambahi lumuran pelicin pada bibir kemaluanku. Dia lakukan 2 atau 3 kali. Dan sesudahnya dia kembali menyorongkan ujung kontolnya yang dengan serta merta aku menyambutnya hingga..
Blezzhh..
Ampuunn.. Kenapa sangat nikmat begini, ya, ampuunn.. Kemana nikmat macam ini selama ini..??
Kemana nikmat dari suamiku yang seharusnya kudapatkan selama ini..??
Kenapa aku belum pernah merasakan nikmat macam ini..??
Kombinasi ke-sesakkan karena cengkeraman kemaluanku pada bulatan keras batang besar kontol lelaki ini sungguh menyuguhkan sensasi terbesar dalam seluruh hidupku selama ini.
Aku rasanya terlempar melayang kelangit tujuh. Aku meliuk-liukkan tubuhku, menggeliat-liat, meracau dan mendesah dan merintih dan mengerang dan..
Aku bergoncang dan bergoyang tak karuan.. Ya, ampuunn.. Orgasmeku dengan cepat menghampiri dan menyambarku. Aku kelenger dalam kenikmatan tak bertara. Lelaki ini langsung mematerikan nilai tak terhingga pada sanubariku.
Aku masih kelenger saat dia mengangkat salah satu tungkai kakiku untuk kemudian dengan semakin dalam dan cepat menggenjoti hingga akhirnya muntah dan memuntahkan cairan panas dalam rongga kemaluanku.
Uhh.. Nikmat inii.. Uucchh..
Kami langsung roboh. Hening sesaat. Aneh, aku tak merasa menyesal, tak merasa khawatir, tak merasa takut.
Ada rasa kelapangan dan kelegaan yang sangat longgar. Aku merasakan seakan menerima pencerahan. Memahami arti nikmat yang sejati dari peristiwa ranjang.
Demikian membuat aku seakan di atas rakit yang sedang hanyut dalam sungai dalam yang sangat anteng. Aku bahkan tertidur barang 5 menit.
Aku bangun karena dering telpon. Itu pasti suamiku. Aku langsung cemas. Lelaki itu tak lagi berada di sampingku. Aku coba tengok ke kamar mandi sebelum menjawab telepon.
Tak juga kutemui. Ternyata itu telepon dari kamar di depanku, telepon dari lelaki itu.
"Zus, cepat mandi, 15 menit lagi suamimu kembali ke kamar, saatnya mereka istirahat".
Ah, bijak juga dia. Aku rapikan ranjang dan sepreinya, kemudian cepat mandi. Siang itu aku usul pada suamiku untuk makan di kamar saja, badanku agak nggak enak, kataku.
Memang badanku agak lemes sejak aku mendapatkan orgasmeku yang bukan main dahsyatnya tadi.
Dan aku merasakan ada kelegaan sedikit, tak ada nampak bekas-bekas ulah lelaki itu pada bagian-bagian peka tubuhku.
Saat ketemu di siang itu suamiku nampak menunjukkan sedikit prihatin padaku. Dia tahu aku dilanda rasa bosan menunggu.
Dia sarankan aku jalan-jalan ke Molioboro atau tempat lainnya yang tak begitu jauh dari hotel. Aku mengangguk setuju.
Ah.. Akhirnya aku dapat ide.
Menjelang jam 1 siang suamiku kembali ke ruang penataran di lantai 2, dan jam 1 lebih 5 menit lelaki itu kembali menelponku, aku nggak menjawab langsung kututup.
Aku kembali merasa ketakutan pada apa yang aku pahami selama ini. Aku tak akan melanggarnya lagi. Yang sudah, ya, sudah. Masak aku mesti sengaja mengulangi kesalahanku lagi.
Tetapi tiba-tiba ada ketukan di pintu. Aku curiga, lelaki itu datang lagi. Dan aku nggak tahu, kenapa aku ingin tahu. Aku ingin tahu siapa yang mengetuk itu, walaupun aku sudah hampir pastikan dia sang lelaki yang tak kukenal itu.
Kuintip dari lubang lensa kecil di pintu. Dan benar, dia lagi. Dari dalam aku teriak kasar, mau apa kamu, yang dia sahuti dengan halus.
"Sebentar saja zus, aku mau bicara. Sebentar saja, zus, ayo dong, bukain pintu", pintanya.
Aku jadi ingat akan gelinjang nikmat yang aku terima darinya. Aku juga ingat betapa kontolnya tak pernah kurasakan nikmat macam itu. Aku juga ingat betapa lidahnya yang menyelusuri gatal bukit dadaku.
Dan aku ingat pula betapa gigitan kecilnya pada pentilku demikian merangsang dan menggetarkan seluruh tubuhku. Kini aku lihat kembali bibir edan itu dari lubang pintu ini.
Dan tanpa bisa kuhindarkan tangan kananku menggerakkan turun handle pintu ini. Dan, clek, terbuka celah sempit di ambang pintu. Dan dengan cepat, sret, tangan lelaki itu cepat menyelip di celah ambang itu.
"Sebentar, saja zus, perbolehkan aku masuk"
Dia tidak menunggu ijinku. Kakinya langsung mengganjal pintu dan dengan kaki lainnya mendorong, dia masuk. Kembali dia memeluki aku, lantas menciumi bibirku, lantas menyingkap gaunku, lantas melepasi kutangku, lantas memerosotkan celana dalamku.
Lantas mengelusi pantatku, pahaku, meremasi kemaluanku kembali, bibirnya terus melumati bibirku.
Kacamataku diangkatnya. Itulah rangkaian serangannya padaku. Pada awalnya aku kembali berusaha berontak dan melawan, walaupun kali ini tidak segigih pada peristiwa pagi tadi.
Dan aku yang memang bersiap untuk "keok" langsung takluk bersimpuh saat tangan ototnya meremasi wilayah peka di selangkanganku.
Kali ini dia gendong aku menuju ke-ranjang dan sama-sama berguling di atasnya. Tetapi kali ini dia tidak menelanjangi aku. Dia hanya singkapkan gaunku, kemudian dia memelukku dari arah punggungku.
Dia lumati kudukku yang langsung membuat aku menjadi sedemikian merinding dan tanpa kuhindarkan tanganku jadi erat memegangi tangannya.
Suatu kali ciuman di kudukku demikian membuat aku tergelinjang hingga aku menengokkan leherku untuk menyambar bibirnya. Kami saling berpagut dengan buasnya.
Lelaki itu rupanya ingin menambah khasanah nikmat seksual baru padaku. Aku tak tahu kapan dia melepasi celananya, tahu-tahu kontolnya sudah menyodokki kemaluanku dari arah belakangku. Dengan posisi miring serta satu tungkai kakiku dia peluk ke atas, kontolnya menyerbu memekku dan..
Blezzhh.. Blezzhh.. Blezzhh..
Dia kembali memompa. Rupanya kemaluanku sudah cepat adaptasi, kontol gedenya tak lagi kesulitan menembusi memekku ini.
Posisi ini, duh.. Nikmatnya tak alang kepalang. Macam ini sungguh menjadi kelengkapan sensasi perkosaannya padaku yang kedua.
Ah, entah, ini masih bisa disebut sebagai perkosaannya padaku atau sudah menjadi penyelewenganku pada suamiku.
Rasanya sudah tak lagi penting buatku yang kini sedang demikian sepenuhnya menikmati kerja lelaki ini pada tubuhku.
Beberapa kali dia membetulkan singkapan gaunku yang menghalangi pompaan kontolnya pada kemaluanku.
Sesudah beberapa lama dalam nikmat posisi miring, diangkatnya tubuhku menindih tubuhnya. Posisi baru ini menuntut aku yang harus aktif bergerak.
Terlintas rasa maluku. Tak pernah aku berlaku begini. Biasanya aku merupakan bagian yang pasif dalam ulah sanggama dengan suamiku, tetapi kali ini.
"Ayo, sayang, naik turunkan pantatmu, sayang, ayoo.."
Lelaki itu setengah memaksa aku untuk menaik turunkan pantatku dalam menerima tembusan kontolnya dari bawah tubuhku.
Dan sesungguhnya aku yang memang sangat kegatalan menunggu sodokkan-sodokkannya kini berusaha menghilangkan rasa maluku dan mencoba memompa.
Uh.., sungguh tak terduga nikmatnya. Aku mengerang dan merintih setengah berteriak setiap kali aku menurunkan pantatku dan merasakan betapa kontol gede itu meruyak di dalam rongga kemaluanku, menggeseki saraf-saraf gatal di dalamnya.
"Sayang, coba kamu duduk tegak dengan terus memompa, kamu akan merasakan sangat nikmat.
Saya jamin pasti kamu nggak mau berhenti nantinya", begitulah dia antara menghimbau dan memerintah aku yang dengan tangannya mengangkat tubuhku tanpa melepaskan kontolnya dari kemaluanku.
Dan dengan aku berposisi duduk membelakangi dia dan tanganku yang bertumpu pada dadanya, aku kembali memompa.
Ah.., dia benar lagi. Ini kembali menjadi sensasi seksualku, karena aku sekarang melihat betapa diriku nampak di cermin kamarku dengan kerudung rambutku yang sudah awut-awutan dan demikian basah oleh keringatku.
Aku seperti main enjot-enjotan naik-turun di atas kuda-kudaan.
Sepintas ada malu pada ulahku itu. Kok, bisa-bisanya, hanya dalam waktu satu hari aku melakukan hubungan mesum perkosaan atau penyelewengan, entahlah, dengan lelaki yang tak kukenal ini.
Dan yang terjadi kemudian adalah genjotan naik turunku semakin cepat saja. Aku merasakan betapa kegatalan yang sangat menguasai rongga kemaluanku.
Serta dengan menyaksikan diriku sendiri pada cermin yang tepat di mukaku, nafsu birahiku langsung melonjak dan mendorong gelinjangku kembali mendekati orgasmeku yang kedua dalam tempo tidak lebih dari 4 jam ini.
Dan saat orgasme itu akhirnya benar-benar hadir, aku kembali berteriak histeris mengiringi naik turunnya pantatku yang demikian cepat.
Kontol yang keluar masuk pada lubang kemaluanku nampak seperti pompa hidrolik pada mesin lokomotif yang pernah aku lihat di stasiun Gambir.
Lelaki itu juga membantu cepatnya keluar masuk kontolnya. Aku kembali rubuh. Sementara dia, lelaki yang belum memuasi dirinya itu menyeretku ke tepian kasur dan meneruskan pompaannya hingga menyusul mencapai titik klimaksnya.
Dia cengkeram pahaku dan kurasakan kedutan-kedutan kontolnya menyemprotkan cairan kental panas pada kemaluanku kembali.
Saat jeda, dia menceritakan siapa dirinya. Dia adalah seorang dokter kandungan. Dia sangat tahu seluk beluk persenggamaan. Dia tahu gaya-gaya dalam meraih nikmat sanggama.
Dia tahu titik-titk peka pada tubuh perempuam. Dia tahu mana yang baik dan buruk. Dia puji aku setengah mati, betapa otot-otot kemaluanku demikian kencang mencengkeram kontolnya.
Namanya Dr. Ronald, 52 tahun, asli Malang. Dia buka praktek di beberapa kota. Minggu terakhir di setiap bulan dia berada di Yogya untuk melayani pasien di beberapa rumah sakit di Yogya.
Dia memang tidak ada giliran ke kotaku.
Aku boleh panggil Ron saja atau Ronad. Aku pikir dia adalah lelaki yang luar biasa. Dan aku lega saat dia mengenalkan dirinya. Aku lega karena dia termasuk orang terpelajar dan punya identitas.
Dia tidak liar. Dan dia bilang bertanggung jawab apabila ada hal yang nggak benar padaku karena bersanggama dengannya. Dia memberikan aku kartu nama.
Aku terima dan tak kuatir pada suamiku, karena dia dokter kandungan, yang mungkin saja aku dapatkan dari referensi teman-temanku.
Sore itu dia memberikan aku sekali lagi orgasme. Huh.. sungguh melelahkan dan sekaligus sangat memuaskan aku.
Dan yang paling mengesankan bagiku, sesiang hari ini dalam 3 kali persanggamaan aku meraih 6 kali orgasme. Aku nggak tahu lagi, bagaimana aku harus bersikap padanya.
Saat suamiku pulang, kamarku sudah kembali rapi, seakan tak ada yang terjadi. Aku sudah mandi dan dandan agar tidak menampakkan kelelahanku. Dan malam itu aku bersama suamiku kembali makan malam bersama.
Di pojok ruang makan kulihat meja dengan 4 kursi yang hanya diduduki seorang, dr. Ronad. Dia nampak tidak berusaha memandang aku. Dia menyibukkan dirinya dengan bacaan dan tulis menulis.
Sungguh suatu kamuflase yang hebat.
Pada keesokan harinya, hanya 10 menit sesudah suamiku turun ke lantai 2 untuk mengikuti penataran di hari ke dua, dr. Ronad kembali mengetuk pintu. Kembali aku menghadapi peperangan bathinku.
Masa, perkosaan bisa terjadi sekian kali berturut-turut, dan sementara itu, apabila disebut sebagai penyelewengan, bagaimana perempuan tegar dan berkepribadian seperti aku ini demikian mudah runtuh oleh nikmatnya perselingkuhan.
Tetapi bayangan dan segala macam keraguanku itu hanyalah menjadi awal dari elusan dan rabaan batin yang langsung membangkitkan naluriah nafsu birahiku.
Aku sudah mulai berselingkuh sebelum perselingkuhan itu di mulai. Aku telah benar-benar runtuh. Aku bukakan pintu untuk Ronad.
Rasa harga diriku yang masih tersisa mendramatisir keadaanku. Aku bertindak seakan menolak saat Ronad menggendong aku dari ambang pintu ke peraduanku. Tetapi segala ocehanku langsung bungkam saat bibirnya melumat bibirku.
Segala tolakan tanganku langsung luruh saat tangannya memilin pentil-pentilku. Segala hindar dan elak tubuhku langsung sirna saat pelukan tangannya yang kekar merabai pinggul dan bokongku.
Dan segala keinginan untuk "Tidak!" langsung musnah saat kombinasi lumatan di bibir, pelukan di pinggul, rabaan pada pantatku merangsek dengan sertaan nafasnya yang memburu. Aku aktip menunggu Ronad melahapku.
Dia mengulangi awal yang seperti kemarin, merangkul dan memulai dari belakang punggungku, memelukku kemudian menjilati kudukku. Aku meronta bukan untuk melawan, tetapi meronta karena menerima kenikmatan.
Aku menengokkan leherku hingga bisa meraih wajahnya. Kulumati bibirnya. Dan seperti kemarin, setelah menyingkap busana yang menutup bokongku hingga paha dan memekku terpampang, tahu-tahu kontolnya sudah telanjang menyelip dari celah celana dalamku, siap berada di gerbang kemaluanku.
Sambil kami saling melumat dia mendorongkan kontolnya, aku mendorongkan memekku menjemputnya. Saat akhirnya..
Blezzhh..
Kami langsung saling merintih dan berdesahan. Itulah simponi birahi di kamar Novotel di lantai 5 di pagi hari ini, sementara itu, mungkin suamiku sedang asyik berdebat bersama anggota teamnya di lantai 2.
"Sekarang gantian sayang, biar aku yang numpakin kamu, yaa.." suara gemetar Ronad nampak menahan birahinya.
Aku dibalikannya dengan tetap mempertahankan lengkungan tubuhku hingga jadi nungging dengan kepalaku bertumpu pada kasur.
Sesudah sedikit dia betulkan posisiku dan kembali lebih singkapkan busana rapetku, dengan setengah berdiri dia mengangkangin aku mulai dari arah pantatku. Kontolnya dia tusukkan ke memekku.
Duh, duh, duh..
Apa lagi ini. Kenapa gatalku langsung dengan cepat melanda memekku. Aku membayangkan bibir kemaluanku pasti dengan haus menunggu kepala kontol gede itu.
Dan aku merasakan saat ujungnya mendorong aku hingga akhirnya amblas menghunjam ke dalamnya. Dalam hatiku aku berfikir, kok macam anjing kawin, ya. Kemudian Ronad mulai kembali memompa. Huuhh.. Jangan lagi tanya betapa nikmatnya.
Aku seperti diombang-ambingkan gelombang Lautan Teduh. Setiap tusukkan aku sambut dengan cengkeraman memekku, dan akibatnya saraf-saraf pekaku merangsang gelinjang nikmat birahiku.
Dan saat kontolnya dia tarik keluar, dinding kemaluanku menahan sesak hingga kembali saraf-saraf pekaku melempar gelinjang nikmat birahi. Keluar, masuk, keluar, masuk, keluar, masuk.. Aku semakin nggak lagi mampu menahan kegelianku.
Tangan-tanganku meremasi tepi-tepi kasur untuk menahan deraan geli-geli nikmat itu.
Aku membiarkan air liurku meleleh saat aku terus menjerit kecil dan mendesah-desah. Mataku tak lagi nampak hitamnya. Aku lebur melayang dalam nikmatnya kontol yang keluar masuk menembusi memekku ini.
Dan saat tusukkannya makin cepat menggebu, aku tahu, dia akan meraih orgasmenya mendahului orgasmeku.
Kubiarkan. Bahkan kudorong dengan desahan dan rintihanku yang disebabkan rasa pedih dan panasnya gesekkan cepat batang kontolnya yang sesak menembusi kemaluanku ini.
Akhirnya dia menumpahkan berliter-liter spermanya ke memekku. Bunyi, plok, plok, plok bijih pelernya yang memukuli kemaluanku tidak kunjung henti. Dia tahu aku belum orgasme.
Dia tetap mempertahankan irama tusukkan karena tahu aku demikian menikmati gaya anjing ini. Limpahan cairan yang membecek pada kemaluanku tidak mengurangi nikmatnya tusukkan.
Bahkan licinnya batang keluar masuk ini merangsang gelinjangku dengan sangat hebatnya. Aku meliuk dan menaik turunkan pantatku. Aku benar-benar menjadi anjing betina yang memeknya dikocok-kocok jantannya.
Aku merintih dengan sangat hebat dan berteriak histeris saat orgasmeku datang menyongsong tusukkan-tusukkan pejantan ini. Aku mendapatkan sensasi nikmat birahinya anjing betina. Aku tak kunjung usai juga. Aku mengimpikan orgasme yang beruntun.
Ronadpun demikian pula. Sanggama kali ini bersambung tanpa jeda walaupun kami telah meraih orgasme-orgasme kami. Genjotan dan pompaan terus kencang dan semakin cepat. Kami dilanda histeris bersamaan.
Kami berguling-guling. Ronad menyeret aku ketepian ranjang. Dengan tetap berposisi nungging, Ronad menembusi memekku dengan berdiri dari lantai. Kontol itu, duh.. sangat legit rasanya. Hunjamannya langsung merangsek hingga menyentuh tepian peranakanku.
Ujung-ujungnya mentok menyentuhi dinding rahimku. Aku nggak tahan.. Ronaadd.. Edan, kami bersanggama tanpa putus selama lebih dari 40 menit. Aku kagum akan ketahanan Ronad yang 52 tahun itu.
Kontolnya tetap ngaceng dan mengkilat-kilat saat akhirnya kami istirahat sejenak. Baru kali ini secara gamblang dan jelas aku menyaksikan kontol lelaki.
Selama ini aku dan suamiku selalu bersanggama dalam gelap atau remang-remang. Dan kami merasa seakan tabu untuk melihati kemaluan-kemaluan kami.
Aku sendiri masih malu saat Ronad melihati dan ngutik-utik kelentitku. Dan kini aku heran, kenapa demikian susah untuk tak melihati kontol Ronad ini. Aku heran, kenapa barang ini bisa menghantarkan aku pada kenikmatan yang demikian dahsyatnya.
Jam 10 pagi Ronad pamit. Dia bilang mesti ke rumah sakit memenuhi janji dengan pasiennya. Aku nggak akan mencegahnya. Dia akan kembali nanti jam 3 sore. Aku nggak komentar. Suamiku telepon, dia ngajak aku makan siang di restoran, dia akan menunggu aku di bawah.
Sesudah aku mandi aku keluar kamar dan turun. Aku jaga agar penampilanku nampak tetap segar. Pergulatan seksual yang penuh hasrat dan nafsu birahi antara aku dan Ronald yang pemerkosaku telah meninggalkan berbagai rasa pedih di selangkanganku.
Setiap aku melangkah gesekan antara paha juga terasa nyeri. Aku harus bisa mengatasi ketidak nyamanan ini.
Ternyata hingga jam 6 sore Ronad tidak balik. Mungkin ada krisis di rumah sakitnya. Anehnya, aku merasa kesepian. Aku telah terjebak dalam nikmatnya perkosaan.
Aku gelisah selama jam-jam menunggu ketukan di pintu. Aku merasa sangat didera nafsu birahiku. Aku ketagihan. Aku sangat ketagihan akan legit kontolnya. Terbayang dan seakan aku merasai kembali legit itu menyesaki memekku.
Walaupun resah melandaku aku mengiyakan saat suamiku mengajak aku jalan-jalan bersama teman-temannya ke Molioboro. Acaranya kami makan lesehan di jalan yang demikian terkenal di dunia itu. Sepanjang jalan dan makan aku banyak melamun.
Suamiku nampak prihatin. Dia tetap hanya mengira aku kurang sehat dan dilanda rasa bosan. Dia merangkuliku dengan mesra. Aku berpikir dan melayang ke arah yang beda. Ah, Ronad, dimana kamu.. Malam itu suamiku mencumbuiku.
Aku harus memberikan respon yang sebaik dan senormal mungkin. Aku merasakan betapa bedanya saat kemaluan suamiku memasuki kemaluanku. Aku tidak merasakan apa-apa. Hambar. Aku iba padanya.
Tetapi sebagaimana yang biasa aku lakukan, kini aku berpura nikmat, seakan aku meraih orgasme. Dan suamiku demikian bernafsu memompakan kontol kecilnya hingga spermanya muncrat.
Malam itu dia tidur dengan penuh damai dan senyuman. Sementara aku tetap gelisah, terganggu pikiran dan bayang-bayang Ronad.
Besoknya, secepat suamiku pergi ke penataran aku sudah tak sabar menunggu pintu. Aku ingin ada perkosaan kembali. Ah, aku benar-benar khianat sekarang.
Aku benar-benar kehilangan harkatku. Aku benar-benar bukan lagi diriku sebagaimana yang orang kenal selama ini. Aku adalah istri yang selingkuh, adalah perempuan penyeleweng.
Ketika 30 menit berlalu dan pintu tak ada yang mengetuk, aku nekad. Kuputar telepon kamar Ronad. Dia nggak cepat mengangkatnya. Aku mulai kesal. Ah, akhirnya Ronad bicara.
"Maafin aku sayang, baru selesai mandi, nih. Tadi malam sampai jam 11 malam. Pasien-pasienku ngantre, ada yang datang dari Wonosobo, Semarang. Aku nggak mungkin meninggalkannya, khan?!".
"Bagaimana kalau aku yang ke kamarmu?" Gila, aku sudah sedemikian nekadnya.
"Boleh, ayo, biar aku bukain pintu. Kamu langsung masuk sebelum ada orang lain lihat, OK?".
Aku cepat merapikan pakaianku kemudian dengan cepat bergegas ke kamarnya. Benar, dia barusan mandi. Handuknya masih melilit di tubuhnya. Kuperhatikan dadanya yang bidang dan bersih.
Ah, kenapa aku nggak pernah memperhatikan benar selama 2 hari ini. Bukankah dia sangat sensual. Mungkin karena kepanikanku yang selalu mengiringiku saat jumpa dan bersama dia. Kami langsung saling berpelukan dan melumat bertukar lidah dan ludah.
Aku merasa diriku menjadi sangat agresif dan nggak pakai malu-malu lagi. Dengan cara seloroh, kukait ikatan handuknya hingga lepas ke lantai.
Selintas tampak pemandangan yang sangat erotis di cermin besar kamar Ronad. Aku yang berbusana serba tertutup lengkap dengan kaca mata dan kerudung di kepala sedang berpelukan dengan lelaki yang bukan suamiku yang dalam keadaan telanjang bulat.
Nampak jelas jembutnya yang tebal menyentuh pusarnya.
Aku mencoba tertawa dalam pesona birahi saat mengamati kontolnya yang sudah mengkilat dan tegak ngaceng itu. Ronad tertawa pula sambil menggapai tanganku dan diarahkan untuk meremasi kontol itu,
"Ayolah, sayang, pegang. Pegang saja, enak, lho. Nah, achh.. Enak banget tanganmu sayang.." dan dengan sedikit merinding aku mencoba menggenggamnya.
Aneh dan gila dan tak pernah mimpi bahwa aku akan secara agresif akan meraih kontol lelaki yang bukan suamiku ini. Dan tiba-tiba Ronad menekan bahuku. Dia menyuruh aku untuk jongkok,
"Pandangilah, sayang. Kontolku ini milikmu. Pandangilah. Indah sekali lho, ayo. Pandangilah milikmu ini", tekanannya itu sesungguhnya merupakan sebagian dari harapan dan keinginan nafsuku kini.
Aku berjongkok pada lututku hingga kontolnya tepat berada tepat di depan wajahku.
"Elusilah, dia akan semakin tegak dan membesar. Indah, kan..?".
Ah, aku sangat kesetanan menyaksikannya. Ini merupakan sensasi lagi bagiku. Dan tangan Ronad tak henti. Dia meraih kepalaku yang seutuhnya masih berkerudung dan menariknya untuk mendekatkan wajahku ke kontolnya itu.
Aku tersihir. Aku pasrah dengan tangannya yang mengendalikan kepalaku hingga kontol itu menyentuh wajahku, menyentuh hidungku. Kilatannya seakan memanas dan mengepulkan aroma.
Aku mencium sesuatu yang sangat merangsang sanubariku. Bau kontol itu menyergap hidungku. Tangan Ronad tak juga henti.
"Cium saja, ini punyamu, kok. Ciumlah. Ayoo, ciumlah". Ah, untuk kesekian kali aku ikut saja maunya. Ah, kontol itu menyentuh bibirku.
"Ayo, cium, nggak apa-apa. Ayoo, sayang. Ciumlah. Ayoo.."
Aku merem saat mulutku sedikit menganga menerima ujung mengkilat-kilat itu, sementara dorongan tangannya membuat gigiku akhirnya tersentuh ujung itu.
"Ayoo, sayang..".
Dan aku, dan mulutku, dan lidahku, dan hatiku, dan sanubariku, dan akuu.. Akhirnya menerima kontol Ronad menembusi bibirku, menyeruaki mulutku. Aku menerima terpaan getar nikmat yang membuat tubuhku merinding dan menggelinjang.
Aku didorong oleh kekuatan macam apa ini, saat aku menerima adanya norma baru, yang selama ini merupakan sangat tabu bagiku, dan sangat menjijikkan bagi penalaranku. Bahkan aku menerima dengan sepenuh hasrat dan nafsu birahiku.
Aa.. Aku.. aku.. Mulai mencium dan melumat kontol Ronad..
"Ah, sayang, kamu nampak begitu indah, sayangg.. Indah sekali, sayang.. Sangat indah, sayang.. Indah banget sayang..", Ronad meracau tidak menyembunyikan kenikmatan libido erotisnya saat melihati aku mengulum dan menjilati kontolnya.
"Terus, sayang.. Terus.. Enak sekali, sayang.. Teruss..".
Dan aku menunjukkan gerakan melumat dan menjilat secara sangat intens. Terkadang aku cabut kontol itu untuk aku lumati batangnya yang penuh belukar otot-otot. Tanganku tak bisa lagi diam.
Sementara tangan kananku menyangga kontolnya dan mengedalikan kemana mauku, tangan kiriku mengelusi bijih pelirnya dan sesekali naik meraupi jembutnya yang sangat tebal itu.
Duh.. Aku menemukan keindahan, erotisme dan pesona birahi yang tak bisa kuungkapkan dalam kata-kata.
Aku hanya bisa tangkap dengan hirupan hidungku, dengan rasa asin di lidahku, dengan keras-keras kenyal dalam genggamanku, dengan nafas memburuku. Aku benar-benar larut dalam pesona dahsyat ini.
Dan ketika aku rasakan Ronad mulai menggoyangkan pantatnya menyanggamai mulutku, dan ketika kudengar dia mulai benar-benar merintih dan mendesah yang membuat aku semakin terbakar oleh libidoku yang memang telah menyala-nyala aku menyadari bahwa macam nikmat birahi itu demikian banyaknya. Aku nggak pernah merasakan macam ini sebelumnya.
Membayangkan saja aku tabu dan jijik. Dan ketika kini aku justru begitu intens melakukannya, tiba-tiba hadir begitu saja keinginanku untuk mempersembahkan kenikmatan yang hebat bagi lelaki bukan suamiku ini. Aku akan biarkan apabila dia menghendaki memuncratkan air maninya ke mulutku.
Aku pengin merasakan, bagaimana semprotan hangatnya menyiram langit-langit mulutku.
Aku pengin merasakan rasa pejuh dan spermanya di lidahku. Aku pengin merasakan bagaimana berkedutnya kontol Ronad dalam mulutku saat spermanya terpompa keluar dari kontolnya.
Dan saat goyangan maju mundur pantatnya makin mengencang, tangannya mulai dengan benar-benar membuat kulit kepalaku pedih karena jambakan dan remasannya karena menahan nikmat tak terperikan dari kuluman dan jilatanku, aku sudah benar-benar menunggu kesempatan itu.
Aku sendiri melenguh dan merintih dalam penantian itu.
Dan dengan iringan teriakan histerisnya yang keluar terbata-bata dari mulut Ronad, akhirnya sebuah kedutan besar menggoncang rongga mulutku. Cairan kental panas luber menyiprat dan menyemprot-nyemprot langit-langit mulutku.
Tak henti-hentinya. Entah 7 atau 8 kedutan yang selalu diikuti dengan semprotan air mani hangat. Mulutku langsung penuh. Terlintas kembali rasa jijik. Aku ingin muntahkan apabila kedutan itu habis. Tetapi ternyata itu lain dengan apa yang terlintas dalam benak, nafsu dan tingkah Ronad.
Tangannya meraih dan menekan kepalaku untuk lebih menghunjamkam kontolnya hingga menyentuh tenggorokanku.
Dan pada saat yang bersamaan dengan penuhnya air mani di mulutku, tangannya dengan kuat membekap hidungku. Sungguh kasar dan sadis dokterku ini.
Seperti saat seseorang mencekoki jamu pada anaknya, aku dipaksanya menelan semua air mani yang tumpah dalam mulutku. Aku gelagapan dan hanya punya satu pilihan agar tidak tersedak.
Kutelan semua cairan kentalnya. Uhh.. uh.. uh.. Ronad.. Kamu gila benar sih.. Sesudah yakin semua air maninya telah tertelan dan mengaliri tenggorokanku dia lepaskan bekapan hidungku.
Aku langsung menarik nafas panjang. Aku pandangi dia. Aku heran dengan perilaku kasarnya itu. Dia menyadari betapa pandangan heranku,
"Maaf, zus, aku jadi kasar, aku nggak mampu menahan nafsuku.. Aku sangat ingin menyaksikan zus yang cantiknya dari ujung kepala hingga ujung kaki menelani air maniku.
Maafin saya, ya, zus. Sayang..", aku melihati matanya dan mengangguk kecil.
Sesungguhnyalah aku tak begitu kecewa. Bahkan aku merasakan, betapa air mani itu juga sangat nikmat rasanya. Rasanya mengingatkan pada kelapa muda yang sangat muda. Kukatakan padanya apa yang kurasakan.
"Yaa.. memang, air mani itu, khan, hormon, bersih dan sehat. Air mani itu protein juga", katanya.
Aku percaya akan pengetahuan dokternya. Aku bisa ketagihan, nih. Mungkinkah aku minum sperma suamiku? Ah, jangan, nanti dia malahan curiga, dari mana aku belajar macam ini?!
Bercumbu di kamar Ronad memberikan rasa lebih aman dan tenang bagiku. Aku nggak merasa diburu waktu atau khawatir sewaktu-waktu suamiku muncul di pintu. Sampai jam 11.40 kami terus menerus saling mencumbu.
Pada akhir percumbuan tadi Ronad menunjukkan padaku bagaimana tampilan kontolnya saat ejakulasi.
Menjelang muncrat sesudah gencar memompa kemaluanku dia cabut kontolnya. Dengan mengarahkan ujungnya ke mukaku dia kocok dengan tangannya kontolnya.
Aku perhatikan bagaimana kontol itu semakin membengkak dan sangat mengkilat-kilat kepalanya.
Aku menyiapkan wajahku untuk menerima terpaan semprotan air mannya. Kusaksikan bagaimana batang itu menganguk-angguk setiap semprotan itu muncrat keluar.
Dan aku rasakan sangat sensasional saat dia muntahkan air maninya menyemproti mukaku, rambutku, kaca mataku dan membasahi bagian tubuhku lainnya.
Aku kembali ke kamarku dan mandi untuk menunggu suamiku dari penatarannya. Aku panggil pelayan hotel untuk mencuci semua pakaianku yang bekas aku pakai bersama Ronad.
Siang itu suamiku kembali mengajak aku makan di restoran. Suamiku memberi tahu bahwa besok merupakan hari terakhir penataran yang akan selesai dan ditutup pada siang hari.
Suamiku bilang akan langsung pulang untuk mengejar sore harinya sudah sampai di rumah. Rencana hari ini penataran akan berhenti jam 3 sore.
Rombongan suamiku telah menyiapkan bus AC untuk bersama-sama melihat Keraton Yogya. Kemungkinan rombongan yang didalamnya ada Pak Gubernur Jawa Tengah akan disambut langsung oleh Sultan Yogya.
Aku diminta untuk bersiap-siap menyertai dan mendampingi Ibu Gubernur. Aku tanyakan tepatnya waktu, suamiku menjawab jam 3.20 tepat rombongan akan meninggalkan hotel.
Aku boleh bersiap-siap hingga menjelang jam 3 sore itu. Mungkin suamiku tidak akan naik ke kamar, jadi aku diharapkan telah berada di lobby pada jam tersebut.
Terus terang aku tidak "happy" dengan rencana itu. Bukankah berasyik masyuk dengan Ronad akan jauh lebih mengasyikkan?! Tetapi aku tidak memiliki alasan untuk menolaknya.
Begitu suamiku kembali ke ruang penataran, aku menelpon Ronad dari lobby dan kusampaikan programku sore ini. Dia menunggu aku di kamarnya.
Kami sepakat untuk memuas-muaskan diri sampai jam 2.30. Aku sudah perhitungkan dalam 15 menit aku bisa merapikan diri dengan busana santai, sekedar jeans dan blus yang praktis, dan turun ke lobby 10 menit sebelum waktunya.
Begitulah, aku merasa semakin dikejar keterbatasan. Aku merasa betapa kesempatan berasyik masyuk tinggal sesaat di siang hari ini dan besok di siang hari pula.
Aku menjadi terpana ketika berpikir betapa selama mengikuti suami kali ini aku telah memasuki petualangan yang sangat berbahaya bagi kehidupan rumah tanggaku, kehidupan duniaku maupun alam fanaku nanti.
Aku heran sendiri, kok mampu berbuat macam ini, melakukan penyelewengan langsung di belakang suamiku yang tengah berjuang untuk meningkatkan kehidupan kami bersama.
Tetapi aku memang sedang dilanda mabok. Kenikmatan birahi ini demikian memabokkan aku. Meraih orgasme dari orang yang bukan suamiku yang pada awalnya bukan mauku.
Tetapi perkosaan yang tak mampu aku lawan ini telah merubah aku menjadi istri yang nyeleweng. Dan kini justru aku yang seakan ketagihan dan berbalik mengejar sang pemerkosa itu dengan sepenuh nafsu birahiku.
Kenapa aku mesti mengalami dan melewati peristiwa macam ini.
Ah.. aku jadi linglung kalau memikirkannya. Biarlah apa yang terjadi, terjadilah.. Siang itu aku nampak terlampau merangsek Ronad untuk mengejar kepuasan nafsu birahiku.
Aku sudah tidak menghitung-hitung risiko. Aku demikian larut dalam kenikmatan kontol Ronad. Edan.
Sore harinya suamiku kembali mengajak aku makan lesehan di Malioboro. Dan malam harinya dia mecumbu aku. Aku merasa tak ada gairah sama sekali. Suamiku merasakan sikapku ini.
"Udahlah ma, besok kan sudah nyampai di rumah lagi" Kasihan suamiku yang demikian memprihatinkan aku.
Besoknya, waktu yang semakin sempit merembet tak mungkin kuhindari. Begitu suamiku pergi ke lantai 2, aku tak sabar lagi. Aku ketuk pintu Ronad.
Kami langsung berpagutan. Aku merasakan waktu semakin mendekati habis, semakin menyala-nyala nafsu seksualku.
Aku semakin merangsang untuk merangseki Ronad. Kini akulah yang mendorongnya ke ranjang. Kini akulah yang seakan memperkosanya.
Kulepasi celananya, kemejanya, celana dalamnya. Kuciumi tubuhnya, dadanya, ketiaknya, perutnya, selangkangannya. Aku jadi sangat liar dan buas. Akulah yang menyanggamai dia.
Dia serahkan tubuhnya untuk kepuasanku. Aku naik ke atas kontolnya. Dengan setengah menduduki tubuhnya, aku masukkan kemaluannya yang telah tegang dan kaku menembus memekku.
Aku pompa dengan cepat dan penuh nafsuku. Aku dapatkan orgasmeku hanya dalam 3 menit sejak aku mulai memompa. Aku menjadi demikian blingsatan dalam gelinjang birahi yang tak lagi terkendali.
Ronad nampaknya menikmati ulah keblingsatanku ini. Aku rubuh ke sampingnya.
Selanjutnya Ronad mengambil alih. Kontolnya yang belum terpuaskan dia tusukkan ke memekku kembali. Dia pompakan dengan cepatnya. Rasa pedih dan perih pada bibir-bibir kemaluanku semakin terasa menyiksaku.
Aku merintih dan mengaduh-aduh kesakitan. Ronad justru nampak sangat menikmati kesakitanku. Dia balikkan tubuhku dan angkat pantatku hingga aku nungging tinggi-tinggi.
Aku tahu dia ingin aku menjadi anjing betinanya. Tetapi.. Acchh, .. Tidak.. tidakk.. jangann..
Rupanya Ronad tidak hendak menyanggamai kemaluanku. Dia menjilati anusku. Uhh.. aku tak pernah membayangkan sebelumnya. Dia menciumi dan menusuk-nusukkan lidahnya ke lubang pembuangan taiku.
Dia nampak sangat menikmati aroma pantatku itu, sambil kedua tangannya merabai dan kemudian memerasi buah dadaku.
Oohh.. ampuunn.. Ronadd.. Kenapa kamu selalu memberikan sensasi yang serba dahsyat padaku.. Kenapa kamu selalu memberikan pembelajaran berbagai nikmat sensasional begini macam padaku.. Ronaadd.. Jangann..!!
Aku rasakan bagaimana ujung lidahnya menyapu bibir-bibir analku. Aku rasakan bagaimana bibir Ronad mengecupi lubang anusku. Aku rasakan bagaimana hidungnya berusaha menyergapi segala rupa aroma yang menyebar dari pantatku.
Aku rasakan bagaimana ludahnya membasahi hingga kuyup seluruh wilayah di seputar analku ini.
Dan puncak dari segala puncak ketakutanku akhirnya datang. Ronad bangkit. Dia setengah jongkok mengangkangi pantatku.
Aku masih berpikir bahwa dia hendak menusukkan kontolnya ke memekku. Aku masih berpikir dan membayangkan nikmat jadi anjing betinanya Ronad.
Aku masih berpikir bagaimana sesak dan legitnya kontol Ronad menusukki kemaluanku dengan cara nungging anjing ini. Aku sama sekali tidak berpikir lain..
Tiba-tiba, tanpa kompromi, kontol Ronad didesak-desakkanya ke pantatku. Dia hendak melakukan sodomi padaku. Edan kau Ronad, bajingan kauu.. Kamu bisa membunuh aku Ronad.. Nggak! Nggak akan aku rela melayani maumu ini Ronad.. Biar mati aku akan lawan kamu Ronad..
Aku nggak akan berikan pantatku untuk kepuasan nafsu biadabmu Ron..
Aku berguling. Kutendang perutnya, dia mengelak. Kucakar tangan dan dadanya, dia pegang tangan-tanganku, kugigit bahunya yang rebah ke wajahku, dia berkelit.
Aku teriak-teriak, dia membiarkan. Kupingnya sangat menimati teriakkanku. Dia terus merenggutku dengan tanpa bicara. Aku terus menggeliat-geliat untuk melawannya.
Tiba-tiba, aku nggak tahu dari mana dia mengambilnya, dia keluarkan borgol. Borgol itu borgol besi yang aku sering lihat di TV digunakan polisi saat menangkap maling atau penjahat.
Tangan kiriku direnggut paksa dan diborgolkannya ke kisi-kisi ranjang Novotel. Berhasil.
Kemudian dia renggut kembali tangan kananku, dia keluarkan borgol yang kedua untuk memborgolkan tangan kanan ini ke kisi-kisi yang lain. Aku langsung dilanda cemas ketakutan yang amat sangat.
Akankah dia melukai aku? Aku panik. Sangat panik. Aku sangat histeris ketakutan. Aku memohon dengan tangisan panikku.
"Jangan.. jangan Ronad.. ampuni akuu.. Jangan borgol aku.. Ampuni aku Ronad..", aku menghiba dalam histeris.
Kini benar-benar aku seperti hewan yang dilumpuhkan yang siap menunggu penyembelihan. Akankan aku jadi hewan korban kebiadaban Ronad?
"Sayang, jangan takut.. Aku nggak akan sakiti kamu.. Kamu akan aku berikan kenikmatan yang tak akan pernah kamu lupakan.."
Aku masih menangis minta belas kasihannya..
Kini dia mendekat ke tubuhku. Dia gulingkan setengah miring pantatku. Dia angkat kakiku hingga melipat ke arah dadaku.
Dan kembali pantatku menjadi terpampang. Kemudian dengan merapat dari arah punggungku, Ronad memeluk tubuhku. Kemudian kembali kurasakan kontolnya merapat ke arah pantatku.
Dia akan terus melakukan sodomi padaku. Apa dayaku. Aku yang kini terangket, tak lagi mampu melawan dengan cara apapun.
Saat dia tusuk-tusukkan kontolnya ke lubang pantatku aku mulai merasakan betapa pedih dan sakitnya. Aku rasakan seakan berjuta saraf-saraf peka di lubang analku sepertinya hancur oleh tempaan ujung kontolnya yang demikian keras itu. Aku menangis kesakitan dan penuh iba. Ronald tahu, karena dia adalah dokter.
Dia hentikan tusukkannya. Dia ambil ludahnya dan dioleskan ke lubang duburku. Beberapa kali dia lakukan sebelum kemaluannya kembali untuk berusaha menembusinya lagi. Saat aku kembali berteriak sakit, dia membisikkan ketelingaku.
"Kamu mesti santai, kendorkan saraf-sarafmu, jangan tegang, jangan khawatir. Kamu percaya padaku, khan?".
Duh, suara Ronald langsung membiusku. Aku percaya padanya. Dan sesungguhnyalah aku sangat berhasrat padanya. Akupun berusaha untuk lebih tenang.
Toh aku nggak bisa berbuat lain. Tangan-tanganku terborgol dan Ronald telah demikian melumpuhkan aku. Kemudian aku merasakan seperti ada pemukul soft ball yang memaksakan menembusi anusku.
Aku yakin pantatku mulai terluka, mungkin berdarah. Beberapa kali aku rasakan Ronad mengulangi melumasi lubangku dengan ludahnya.
Akhirnya setelah beberapa kali dan sedikit demi sedikit menyodok masuk, kontol Ronad berhasil tembus tertanam dalam lubang taiku.
Aku mungkin kelenger. Aku tak mampu lagi merasakan sakit atau tidak sakit lagi. Aku lunglai dalam rasa panas dan pedas yang amat sangat. Aku tak mampu lagi berontak atau melawan. Aku benar-benar jadi pesakitan. Aku adalah korban keganasan Ronald.
Dan saat Ronad mulai memompakan kontolnya, aku benar-benar pingsan. Entah berapa lama. Aku terbangun saat aku rasakan ada air yang menyiram wajah dan mulutku hingga aku gelagapan.
Pelan-pelan aku membuka mataku. Aku belum melihat apa-apa. Aku masih mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Kulihat ada bayang-bayang gelap yang hampir menutupi wajahku.
Dan.. Biadab, anjiingg.. Begundal busuk kau Ronaadd..
Dia benar-benar gila. Dia tengah menduduki aku dengan kontolnya yang mengarah dan mengencingi wajah dan mulutku. Sebagian air kencingnya masuk kemulutku dan tertelan hingga membuat aku gelagapan tersedak-sedak. Kudengar samar-samar.
"Minum, ini sundal, minum kencingku. Ayoo.. Minum.. Air segar inii.. minum perempuan sial.. Minum kencingku sundalku.."
Tangannya membekap hidungku yang langsung membuat mulutku ternganga mencari nafas. Dan pada saat yang bersaman air kencing itu deras ngucur ke mulutku. Bagaimanapun aku tak terpaksa menelannya. Aku gelagapan setengah mati dan kembali pingsan.
Entah berapa lama aku kelenger.. Hingga kudengar bunyi telepon keras berdering.. Kubiarkan telpon itu terus berdering hingga berhenti dengan sendirinya..
Badanku, celana jeans dan blusku, seprei ranjang, selimut, bantal, semuanya basah. Bau anyir dan pesing memenuhi kamar. Aku jadi ingat, itu air kencing. Aku juga jadi ingat tanganku, telah lepas dari borgolku.
Aku jadi ingat saat terakhir yang aku ingat, Ronad menduduki dadaku dan kencing ke wajah dan mulutku..
Kemana dia sekarang..??
Dimana Ronad bajingan itu..??
Tiba-tiba rasa mual langsung menyergap aku. Aku tak mampu menahan ingatan itu dan mualku makin menjadi-jadi. Aku muntah-muntah. Telpon kembali berdering keras. Dengan terseok aku bangkit dari ranjang dan kuraih telepon,
"Cepat balik ke kamarmu, penataran sudah selesai, suamimu sedang menuju ke lift untuk kembali ke kamar. Cepat..!!" itu suara Ronad.
Telepon langsung putus. Aku panik. Kusambar apa yang kuingat. Aku keluar kamar Ronad dan kembali ke kamarku. Tanganku gemetar tak keruan saat memasukkan kunci pintu.
Aku berkejaran dengan suamiku. Aku berkejaran dengan nasibku. Aku berkejaran dengan keutuhan keluargaku.
Aku berkejaran dengan martabatku.. Dengan terseok aku berlari ke kamarku dan langsung masuk kamar mandi dan mengunci pintunya. Ah.. ini semua adalah hasil kebodohanku.. Aku benar-benar keluar dari siksaan neraka jahanam..
Kudengar seseorang membuka pintu kamar.
"Ma, kok pintunya nggak dikunci..?" terdengar suara suamiku.
Ah, ademnya.. damainya.. Shower dingin di kamar mandi langsung membuat kesadaranku kembali utuh. Saat aku keluar kamar mandi suamiku menjemputku dan mencium aku dengan sepenuh cinta dan kerinduannya.
"Kita pulang, Ma. Ayo cepetan dandan, teman-teman sudah menunggu makan siang. Aku telepon ke kamar tadi. Kemana kamu, Ma? Shopping? Jalan-jalan?"
Ah.. Suamiku.. Cinta sejatiku.. Orang yang kuingkari.. Yang aku khianati..
Sejak saat itu aku tak pernah berjumpa lagi dengan Ronald. Tak aku pungkiri, hingga kini aku masih merindukan kontolnya yang gede panjang itu.
Aku masih terobsesi padanya. Aku sering membayangkan betapa kekerasan dan kekasarannya memberikan nikmat syahwatku.
Dalam keadaan sendiri aku sering mencoba ber-masturbasi. Aku merindukan orgasme beruntun yang kudapatkan dari dia.
Aku pernah mencoba menghubungi telpon yang tertera di kartu namanya. Ternyata dia telah pindah. Dia tidak lagi berdomisili di Malang.
Saat berkumpul dengan ibu-ibu kenalanku, aku suka memancing, apakah mereka pernah periksa ke dokter kandungan? Aku berharap mereka pernah berjumpa dengan Ronald. Tetapi pertanyaanku tak ada jawabannya.
Aku juga coba telpon ke Novotel, apakah ada tamu berinisial Ronald menginap di hotel ini?!
Akhirnya aku menyerah. Dia telah raib dibawa angin lalu. Aku juga berharap, kapankan angin lalu juga membawa raib obsesiku?
Sungguh lelah mencoba menempatkan hasrat birahi dalam penantian tanpa kunjung jelas. Aku akan berusaha melupakannya.
Aku mencoba memberikan perhatian lebih banyak kepada suamiku. Aku melengkapi perabotan dapurku.
Aku punya hobby memasak makanan oriental. Kemarin masakan suamiku memuji masakanku Muc Don Thit. Masakan tumis cumi yang telah aku isi dengan soun, hioko dan jamur kuping.
Aku juga membuat Tom Yang Goong yang pedasnya demikian menggigit. Kami makan malam bersama dalam penerangan lilin. Aku sempat keluar keringat karena kepedasan.
bila sudah selesai baca artikel ini jangan lupa untuk like ya ^_^ Terima kasih^_^
Di sela-sela waktunya nanti dia akan ajak aku untuk melihat sana-sini di seputar Yogyakarta, antara lain Keraton Yogya yang selama ini belum pernah aku melihatnya. Ah.. tumben suamiku punya idea yang brilyan, senyumku. Aku akan urus cutiku itu.
Begitulah, pada hari Minggu, 25 Nopember malam aku bersama suami telah berada di restoran Novotel Yogyakarta yang terkenal itu.
Aku perhatikan semua kursi dipenuhi pengunjung. Secara ala kadarnya aku diperkenalkan dengan teman-teman suamiku yang juga datang bersama istri mereka.
Dalam kerumunan meja besar untuk rombongan suamiku ini kami nampaknya merupakan pasangan yang paling muda dalam usia. Dan tentu saja aku menjadi perempuan yang termuda dan nampaknya juga paling cantik.
Sementara ibu-ibu yang lain rata-rata sudah nampak ber-cucu atau buyut barangkali. Dan akhirnya aku tidak bisa begitu akrab dengan para istri-istri yang rata-rata nenek-nenek itu.
Mungkin duniaku bukan lagi dunia mereka. Cara pandang dan sikap kehidupanku sudah jauh beda dari masa mereka.
Karena paling muda suamiku kebagian kamar yang paling tinggi di lantai 5, sementara teman-temannya kebanyakan berada di lantai 2 atau 3.
Bagiku tak ada masalah, bahkan dari kamarku ini aku bisa lebih leluasa melihat Yogyakarta di waktu malam yang gebyar-gebyar penuh lampu warna-warni.
Malam itu kami serasa berbulan madu yang kedua. Kami bercumbu hingga separoh malam sebelum tidur nyenyak hingga saat subuh datang.
Pagi harinya kami sempat sedikit jalan-jalan di taman hotel yang cukup luas itu untuk menghirup udara pagi sebelum kami sarapan bersama.
Jadwal penataran suamiku sangat ketat, maklum disamping setiap session selalu diisi oleh pembicara tamu atau ahli dari Jakarta, juga dihadiri oleh pejabat penting dari berbagai tingkatan dan wilayah setanah air.
Setiap pagi suamiku harus sudah berada di tempat seminar di lantai 2 pada jam 7 pagi. Apalagi sebagai anggota rombongan yang termuda dia seperti kena pelonco, segala hal yang timbul selalu larinya ke dia.
Untung suamiku bertype "positive thinking" dan selalu penuh semangat dalam melaksanakan semua tugasnya.
Sesaat setelah suamiku memasuki ruang penataran aku sempatkan jalan-jalan di seputar hotel kemudian mencari book store untuk membeli koran pagi.
Sesudah duduk sebentar di lobby aku balik ke kamar untuk mencoba telpon ke rumah sekedar 'check rechek' kegiatan pelayanku di rumah.
Kemudian duduk santai membaca koran di balkon kamarku yang berpanorama atap-atap kampung Yogyakarta sambil minum coklat instant yang tersedia di setiap kamar Novotel ini.
Bosan membaca koran aku buka channel TV sana-sini yang juga membosankan. Aku berpikir mau apa lagi, nih. Akhirnya sekitar jam 9 pagi aku berpikir sebaiknya aku turun ke lobby sambil mencuci mata melihat etalase toko di seputarnya.
Aku keluar kamar melangkah di koridor yang panjang untuk menuju lift. Bersamaan dengan itu kulihat kamar di depan kamarku pintunya terbuka dan nampak sepintas di dalamnya ada seseorang setengah umur sedang sibuk menulis.
Dia sempat menengok ke arahku sebelum aku bergerak menuju lift. Hal yang lumrah di dalam hotel yang tamunya dari segala macam orang dan asal.
Tak terbersit pikiran apapun pada apa yang barusan tampak oleh mataku.
Aku adalah type perempuan yang berpribadi dan paling teguh menjaga diri sendiri baik karena kesadaran sosial budayaku maupun kesadaran akan etika moral yang berkaitan dengan nilai-nilai kesetiaan seorang istri pada suaminya.
Kembali aku jalan-jalan di seputar lobby, di shopping arcade yang menampilkan berbagai rupa barang dagangan pernik-pernik menarik, ada parfum, ada accessories, ada boutique. Ah.. aku nggak begitu tertarik dengan semua itu.
Aku punya pandangan sendiri bagaimana membuat hidup lebih nyaman dan punya nilai. Aku memang tidak tertarik dengan pola hidup khalayak.
Aku menyenangi keindahan yang serba alami. Kalau toh ada poles di sana, itu adalah 'touch' yang lahir dari sikap budaya sebagaimana manusia yang memang memiliki rasa dan pikir.
Demikian pula yang berkaitan dengan kecantikan. Aku sangat menyadari bahwa basis tampilanku adalah perempuan yang cantik.
Dan hal itu terbukti dari banyak orang yang sering secara langsung ataupun tidak langsung memberikan komentar dan penghargaan atas kecantikanku serta sikapku pada kecantikanku itu.
Aku ingin kecantikkan yang juga memancar dari sikap budayaku. Dengan demikian aku akan selalu cantik dalam keadaan apapun.
Oleh karenanya aku sangat menyukai 'touch' yang sangat mencerminkan kemuliaan pribadi. Buatku hidup ini sangat tinggi maknanya dan perlu disikapi secara mulia, khas dan penuh kepribadian.
Sesudah 1 jam jalan dan lihat sana-sini kembali aku dilanda rasa bosan yang menuntunku untuk balik ke kamar saja. Aku memasuki kembali lift menuju kamarku di lantai 5.
Aku masih melihat kamar depanku yang tetap pintunya terbuka. Aku membuka pintuku dan masuk. Aku sedang hendak mengunci kembali kamarku ketika terdengar dari luar sapaan halus.
"Selamat pagi"
Yang spontan aku jawab selamat pagi pula sambil membuka sedikit pintuku.
Kulihat lelaki dari kamar depanku itu dan begitu cepat menyisipkan tangannya ke celah pintu dan meraih daunnya, kemudian dengan sangat sigap pula masuk menelusup ke kamar sebelum aku menyadari dan mempersilahkannya.
Hal yang sungguh sangat tidak mengenakkan aku. Aku tidak terbiasa berada dalam sebuah ruangan tertutup dengan lelaki lain yang bukan suamiku.
Tetapi peristiwa itu rasanya berlangsung demikian cepat. Bahkan kemudian lelaki itu merapatkan dan langsung mengunci pintuku hingga kini benar-benar aku bersamanya dalam kamar tertutup dan terkunci ini.
Ini adalah sebuah kekeliruan yang besar. Aku langsung marah dan berusaha menolaknya keluar dengan meraih kunci di pintu. Tetapi kembali dia lebih sigap dari aku.
"Tenang, zus, jangan takut. Aku nggak akan menyakiti zus, kok. Aku cuma sangat kagum dengan kecantikan yang zus miliki. Benar-benar macam kecantikan yang lahiriah maupun kecantikkan dari dalam batin.
Inner beauty. Khayalanku menjadi melambung jauh setiap melihat zus. Sejak semalam di meja makan saat makan malam, kebetulan aku berada di samping meja makan rombongan suami zus, aku lihat tangan-tangan lentik zus.
Aku pastikan zus sangat cantik. Dan pagi tadi saat zus jalan-jalan di taman bersama suami dan kemudian juga jalan-jalan di sekitar lobby kembali aku sangat mengagumi penampilan zus.
Aku sangat terpesona dan tak mampu menahan diriku. Aku kepingin sekali tidur bersama zus, pagi ini".
Orang itu memandangkan matanya tajam ke mataku. Omongan orang itu benar-benar biadab, tak punya malu. Apalagi rasa hormat. Dia seakan begitu yakin pasti menang atasku.
Edan! Kok ada orang edan macam ini. Omongan panjangnya kurasakan sangat merendahkan diriku, kurang ajar, mengerikan dan menakutkan. Limbung dan ketakutan yang amat sangat langsung melanda sanubariku.
Bulu kudukku merinding. Aku sepertinya jatuh dari ketinggian tanpa tahu akhirnya. Rasa sesak nafasku demikian menekan emosiku. Aku merasa begitu sangat lemah, terbatas dan tak punya pilihan.
Jangan harap kebaikan dari lelaki biadab ini. Dia jelas tidak menyadari dan paham betapa aku mengagungkan nilai-nilai hidup ini.
Dia tidak tahu betapa aku selalu takut pada pengkhianatan dan pengingkaran terhadap kesetiaanku pada suami.
Aku sama sekali tak pernah siap akan hal-hal yang sebagaimana kuhadapi saat ini. Sungguh edan!!
Kemudian dengan kalemnya dia raih tangan dan pinggangku untuk memelukku. Harga diri dan martabatku langsung bangkit marah. Aku berontak dan melawannya habis-habisan.
Tanganku meraih apapun untuk aku pukulkan pada lelaki itu. Kutendangkan kakiku ke tubuhnya sekenanya, kucakarkan kukuku pada tubuhnya sekenanya pula. Tetapi.. Ya ampuunn.. Dia sangat tangguh dan kuat bagiku.
Lelaki itu berpostur tinggi pula dan mengimbangi tinggiku, dan usianya yang aku rasa tidak jauh beda dengan usia suamiku disertai dengan otot-otot lengannya yang nampak gempal saat menahan pegangan tanganku yang terus berontak dan mencakarinya.
Dia seret dan paksa aku menuju ke ranjang. Aku setengah dibantingkannya ke atasnya. Dan aku benar-benar terbanting. Kacamataku terlempar entah ke mana.
Teriakanku sia-sia. Aku rasa kamar Novotel ini kedap suara sehingga suaraku yang sekeras apapun tidak akan terdengar dari luar.
Karena perlawananku yang tak kenal menyerah dia dengan cepat meringkus tangan-tanganku dan mengikatnya dengan dasi suamiku yang dia temukan dan sambar dari tumpukan baju dekat ranjang hotel.
Dia ikat tanganku ke backdrop ranjang itu. Aku meraung, menangis dan berteriak sejadi-jadinya hingga akhirnya dia juga sumpel mulutku, entah pakai apa, sehingga aku tak mampu lagi bergerak banyak maupun berteriak.
Sesudah itu dia tarik tungkai kakiku mengarah ke dirinya. Dia nampak berusaha menenangkan aku, dengan cara menekan mentalku, seakan meniupi telingaku. Dia berbisik dalam desahnya,
"Ayolah, zus, jangan lagi memberontak. Nanti lelah saja. Percuma khan, Waktu kita nggak banyak. Sebentar lagi suami zus istirahat makan siang.
Dan bukankah dia selalu menyempatkan untuk menjemput zus untuk makan bersama?!".
Aku berpikir cepat menyadari kata-katanya itu dan menjadi sangat khawatir. Ini orang memang betul-betul lihay. Mungkin memang tukang perkosa profesional.
Dia seakan tahu dan menghitung semuanya. Dia bisa melemparkan isue yang langsung menekan. Dia tahu bahwa aku tidak mau kehilangan suamiku.
Dan dia juga tahu, kalau toh kepergokpun, dia tak akan merugi. Hampir tak pernah dengar ada suami yang melapor istrinya diperkosa orang.
Yang ada hanyalah seorang suami yang menceraikan istrinya tanpa alasan yang jelas. Disinilah bentuk tekanan lelaki biadab ini padaku. Sementara itu tindakan brutalnya terus dilakukannya.
Dia robek blusku dengan kekerasannya untuk menelanjangi dadaku. Dia hentakkan kutangku hingga lepas dan dilemparkannya ke lantai. Kemudian dengan seringainya dia menelusurkan mukanya.
Dia benamkan wajahnya ke ketiakku. Dia menciumi, mengecup dan menjilati lembah-lembah ketiakku. Dari sebelah kanan kemudian pindah ke kiri. Yang kurasakan hanyalah perasaan risih yang tak terhingga.
Suatu perasaan yang terjadi karena tiba-tiba ada sesuatu, entah setan, binatang atau orang telah merangseki tubuhku ini.
Tangan-tangannya menjamah dan menelusup kemudian mengelusi pinggulku, punggungku, dadaku. Tangannya juga meremas-remas susuku. Dengan jari-jarinya dia memilin puting-puting susuku. Disini dia melakukannya mulai dengan sangat pelan.
Ah.. Bukan pelan, tt.. tetapi.. lembut. Dd.. dan.. dan demikian penuh perasaan. Kurang ajaarr..! D.. dd.. dia pikir bisa menundukkan aku dengan caranya yang demikian itu.
Aku terus berontak dalam geliat.. Tetapi aku bagai kijang yang telah lumpuh dalam terkaman predatornya. Aku telah rebah ke tanah dan cakar-cakar predatorku telah menghunjam di urat leherku.
Kini aku hanyalah seonggok daging konsumsi predatorku.
Aku sesenggukan melampiaskan tangisku dalam sepi. Tak ada suara dari mulutku yang tersumpal. Yang ada hanya air mataku yang meleleh deras.
Aku memandang ke-langit-langit kamar Novotel. Aku demikian sakit atas ketidak adilan yang sedang kulakoni. Kini lelaki itu melihati aku. Aku menghindarkan tatapan matanya. Dia menciumi pipiku dan menjilat air mataku,
"Duhh, sayangkuu.. kamu cantik banget, siihh.. ", orang ini benar-benar kasmaran padaku.
Dia juga menciumi tepian bibirku yang tersumpal. Kini kengerian dari kebiadaban berikutnya datang menyusul. Tangannya sigap menyibakkan gaun penutup wilayah rahasiaku.
Tangan lainnya mencapai pahaku dan mulai meraba-raba kulitku yang sangat halus karena tak pernah kulewatkan merawatnya. Lelaki ini tahu kehalusan kulitku.
Dia merabanya dengan pelan dan mengelusinya semakin lembut. Ucchh.. Betapa aku dilanda perasaan malu yang amat sangat.
Aku yang tak pernah menunjukkan auratku selama ini, tiba-tiba ada seorang lelaki asing yang demikian saja merabaiku dan menyingkap segala kerahasiaanku.
Kemudian dia kembali melanjutkan kebiadabannya, dia merenggut dan merobek gaunku. Dia tarik dari haribaan tubuhku. Dia campakkan ke lantai sebagaimana kutangku tadi.
Dan kini aku hanyalah perempuan yang hina dengan setengah telanjang dan siap dalam perangkap lumatannya. Aku merasakan sepertinya dia telah merobeki jiwaku dan mencampakannya ke lantai kehinaan perempuan.
Aku merasakan betisku, pahaku kemudian gumpalan bokongku dirambati tangan-tangannya. Berontakku sekali lagi hanyalah kesia-siaan.
Dia menindih berat dengan dadanya. Wajahnya mendekat hingga kurasakan nafasnya yang meniupkan angin ke selangkanganku. Lelaki itu mulai menenggelamkan wajahnya ke selangkanganku. Bukan main. Belum pernah ada seorangpun berbuat macam ini padaku. Juga tidak begini suamiku selama ini.
Edan. Edaann..!!
Aku tak kuasa menolak semua ini. Segala berontakku kandas. Kemudian aku merasakan lidahnya menyapu pori-pori selangkanganku. Edaann..!!
Lidah itu sangat pelan menyapu dan sangat lembut. Sesaat sepertinya aku berada di persimpangan jalan. Di depan mataku ada 2 potret. Aku membayangkan suamiku dan sekaligus lelaki ini.
Salahkah aku?
Dosakah aku?
Siapa yang salah?
Kenapa aku ditinggal sendirian di kamar ini?
Kenapa mesti ada lelaki ini?
Aku berpusing. Duniaku seakan-akan berputar dan aku tergiring pada tepian samudra yang sangat mungkin akan menelan dan menenggelamkan aku.
Aku mungkin sedang terseret dalam sebuah arus yang sangat tak mampu kulawan. Aku merasakan lidah-lidah lelaki ini seakan menjadi seribu lidah.
Seribu lidah lelaki ini menjalari semua bagian-bagian rahasiaku. Seribu lidah lelaki inilah yang menyeretku ke tepian samudra kemudian menyeret aku untuk tertelan dan tenggelam.
Ammpuunn.. Bayangan kengerian akan ingkarnya kesetiaan seorang istri menerkam aku. Keringatku meluncur deras.
Aku tak bisa pungkiri. Aku sedang jatuh dalam lembah nikmat yang sangat dalam.. Aku sedang terseret dan tenggelam dalam samudra nafsu birahiku. Aku sedang tertelan oleh gelombang nikmat syahwatku.
Salahkah akuu..??
Salahkah..??
Dan saat kombinasi lidah yang menjilati selangkanganku dan sesekali dan jari-jari tangannya yang mengelusi paha di wilayah puncak-puncaknya rahasiaku, aku semakin tak mampu menyembunyikan rasa nikmatku.
Isak tangisku terdiam, berganti dengan desahan dari balik kain yang menyumpal mulutku.
Dan saat kombinasi olahan bibir dan lidah dipadukan dengan bukan lagi sentuhan tetapi remasan pada kemaluanku, desahanku berganti dengan rintihan yang penuh derita nikmat birahi. Aku telah tenggelam.
Dan gelombang itu kini menggoyang pantatku. Aku menggelinjang. Aku histeris ingin..
Yaa.. Aku ingin!
Aku punya ingin menjemputi ribuan lidah dan jari-jari lelaki ini. Ampuunn..!!
Masih adakah aku??
Dan ah.. Pintarnya lelaki ini. Dia begitu yakin bahwa aku telah tenggelam. Dia begitu yakin bahwa aku telah tertelan dalam syahwatku. Dia renggut sumpal di mulutku.
"Ayolah, sayang.. mendesahlah.. merintihlah.. Ambil nikmatmu. Teguk haus birahimu..",
Aku mendesah dan merintih sangat histeris. Kulepaskan dengan liar derita nikmat yang melandaku. Aku kembali menangis dan mengucurkan air mata. Aku kembali berteriak histeris.
Tetapi kini aku menangis, mengucurkan air mata dan berteriak histeris beserta gelinjang syahwatku. Aku meronta menjemput nikmat. Aku menggoyang-goyangkan pinggul dan pantatku dalam irama nafsu birahi yang menerjangku.
Dan sejak saat itu aku memasuki wilayah tak terhingga, tanpa batasan norma sekaligus meninggalkan batasan-batasan yang selama ini kupertahankan dengan sangat teguhnya.
Aku memasuki suatu wilayah yang terbersit sepintas, bahwa aku sebenarnya pernah menginginkan nilai macam ini, nilai dimana tak ada kekhawatiran, ketakutan, rasa salah dan rasa mengkhianati.
Aku memasuki wilayah dimana aku eksis secara murni menjadi diriku. Mungkin semacam ini alamiahku, yang adalah mahkluk untuk dipenuhi keinginan nafsu dan birahi yang demikian bebas tanpa kendali.
Bahkan aku merasa ini adalah hak. Hak-ku. Aku merasa ber-hak untuk mendapatkannya.
Dan ke-tak terhingga-an serta ke-tak terbatas-an itu merayap menuju puncaknya ketika aku diterpa rasa dingin menggigil serta gemetar seluruh tubuhku yang disebabkan bibir lelaki itu merambah turun meluncur melewati perutku dan langsung menghunjam terperosok ke-kemaluanku.
Aku tak mampu mengendalikan diriku lagi. Aku bergoncang-goncang mengangkati pantatku untuk mendorong dan menjemputi bibirnya karena kegatalan yang amat sangat pada kemaluanku.
Dengan serta merta pula aku berusaha menjilati buah dadaku sendiri menahan gelinjang nikmat yang melanda nafsu birahiku.
Dan kurasakan betapa kecupan, gigitan dan ruyak lidah lelaki ini membuat gigil dan gemetarku melempar aku ke lupa diri.
Akhirnya karena tak mampu aku menahannya lagi aku merintih.
"Hauss, mmaass.. Aku hauss.."
Rintihan itu membuat lelaki itu mendekatkan wajahnya ke wajahku hingga bisa kuraih bibirnya.
Aku rakus menyedotinya. Kehausanku yang tak bisa kubendung membuat aku ingin melumati mulutnya. Aku berpagut dengan pemerkosaku.
Aku melumat mulutnya sebagaimana sering aku melumati mulut suamiku saat aku sudah sangat di puncak birahiku. Aku benar-benar dikejar badai birahiku.
Aku benar-benar gelisah gelombang syahwatku. Biasanya kalau sudah begini suamiku langsung tahu. Dia akan menusukkan penisnya ke vaginaku untuk menutup kegairahanku. Dia akan menjejalkan kontolnya dan memekku pasti cepat menjemputnya.
Dan kini aku benar-benar menunggu lelaki itu memasukkan kontolnya ke kemaluanku pula. Aku sebenar-benarnya berharap karena sudah tidak tahan merasakan badai birahiku yang demikian melanda seluruh organ-organ peka birahi di tubuhku.
Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang sama sekali diluar dugaanku. Aku sama sekali tak menduga, karena memang aku tak pernah punya dugaan sebelumnya. Kemaluan lelaki ini demikian gedenya.
Rasanya ingin tanganku meraihnya, namun belum lepas dari ikatan dasi di backdrop ranjang ini. Yang akhirnya kulakukan adalah sedikit mengangkat kepalaku dan berusaha melihati kemaluan itu. Ampuunn.. Sungguh mengerikan.
Rasanya ada pisang tanduk gede dan panjang yang sedang dipaksakan untuk menembusi memekku. Aku menjerit tertahan. Tak lagi aku sempat memandangnya.
Lelaki ini sudah langsung menerkam kembali bibirku. Dia kini berusaha meruyakkan lidahnya di rongga mulutku sambil menekankan kontolnya untuk menguak bibir vaginaku.
Selama ini aku pikir kontol suamiku itulah pada umumnya kemaluan lelaki itu. Kini aku dihadapkan kenyataan betapa besar kontol di gerbang kemaluanku saat ini, yang terus berusaha mendesaki dan menembusi kemaluanku tetapi tak kunjung berhasil.
Aku sendiri sudah demikian kehausan dan tanpa malu lagi mencoba merangsekkan lubang kemaluanku tetapi tak juga berhasil.
Cairan-cairan yang mestinya melicinkanpun belum bisa membantu lincirnya kontol itu memasuki kemaluanku. Tetapi lelaki ini ada cara.
Dia meludah pada tangannya untuk kemudian menambahi lumuran pelicin pada bibir kemaluanku. Dia lakukan 2 atau 3 kali. Dan sesudahnya dia kembali menyorongkan ujung kontolnya yang dengan serta merta aku menyambutnya hingga..
Blezzhh..
Ampuunn.. Kenapa sangat nikmat begini, ya, ampuunn.. Kemana nikmat macam ini selama ini..??
Kemana nikmat dari suamiku yang seharusnya kudapatkan selama ini..??
Kenapa aku belum pernah merasakan nikmat macam ini..??
Kombinasi ke-sesakkan karena cengkeraman kemaluanku pada bulatan keras batang besar kontol lelaki ini sungguh menyuguhkan sensasi terbesar dalam seluruh hidupku selama ini.
Aku rasanya terlempar melayang kelangit tujuh. Aku meliuk-liukkan tubuhku, menggeliat-liat, meracau dan mendesah dan merintih dan mengerang dan..
Aku bergoncang dan bergoyang tak karuan.. Ya, ampuunn.. Orgasmeku dengan cepat menghampiri dan menyambarku. Aku kelenger dalam kenikmatan tak bertara. Lelaki ini langsung mematerikan nilai tak terhingga pada sanubariku.
Aku masih kelenger saat dia mengangkat salah satu tungkai kakiku untuk kemudian dengan semakin dalam dan cepat menggenjoti hingga akhirnya muntah dan memuntahkan cairan panas dalam rongga kemaluanku.
Uhh.. Nikmat inii.. Uucchh..
Kami langsung roboh. Hening sesaat. Aneh, aku tak merasa menyesal, tak merasa khawatir, tak merasa takut.
Ada rasa kelapangan dan kelegaan yang sangat longgar. Aku merasakan seakan menerima pencerahan. Memahami arti nikmat yang sejati dari peristiwa ranjang.
Demikian membuat aku seakan di atas rakit yang sedang hanyut dalam sungai dalam yang sangat anteng. Aku bahkan tertidur barang 5 menit.
Aku bangun karena dering telpon. Itu pasti suamiku. Aku langsung cemas. Lelaki itu tak lagi berada di sampingku. Aku coba tengok ke kamar mandi sebelum menjawab telepon.
Tak juga kutemui. Ternyata itu telepon dari kamar di depanku, telepon dari lelaki itu.
"Zus, cepat mandi, 15 menit lagi suamimu kembali ke kamar, saatnya mereka istirahat".
Ah, bijak juga dia. Aku rapikan ranjang dan sepreinya, kemudian cepat mandi. Siang itu aku usul pada suamiku untuk makan di kamar saja, badanku agak nggak enak, kataku.
Memang badanku agak lemes sejak aku mendapatkan orgasmeku yang bukan main dahsyatnya tadi.
Dan aku merasakan ada kelegaan sedikit, tak ada nampak bekas-bekas ulah lelaki itu pada bagian-bagian peka tubuhku.
Saat ketemu di siang itu suamiku nampak menunjukkan sedikit prihatin padaku. Dia tahu aku dilanda rasa bosan menunggu.
Dia sarankan aku jalan-jalan ke Molioboro atau tempat lainnya yang tak begitu jauh dari hotel. Aku mengangguk setuju.
Ah.. Akhirnya aku dapat ide.
Menjelang jam 1 siang suamiku kembali ke ruang penataran di lantai 2, dan jam 1 lebih 5 menit lelaki itu kembali menelponku, aku nggak menjawab langsung kututup.
Aku kembali merasa ketakutan pada apa yang aku pahami selama ini. Aku tak akan melanggarnya lagi. Yang sudah, ya, sudah. Masak aku mesti sengaja mengulangi kesalahanku lagi.
Tetapi tiba-tiba ada ketukan di pintu. Aku curiga, lelaki itu datang lagi. Dan aku nggak tahu, kenapa aku ingin tahu. Aku ingin tahu siapa yang mengetuk itu, walaupun aku sudah hampir pastikan dia sang lelaki yang tak kukenal itu.
Kuintip dari lubang lensa kecil di pintu. Dan benar, dia lagi. Dari dalam aku teriak kasar, mau apa kamu, yang dia sahuti dengan halus.
"Sebentar saja zus, aku mau bicara. Sebentar saja, zus, ayo dong, bukain pintu", pintanya.
Aku jadi ingat akan gelinjang nikmat yang aku terima darinya. Aku juga ingat betapa kontolnya tak pernah kurasakan nikmat macam itu. Aku juga ingat betapa lidahnya yang menyelusuri gatal bukit dadaku.
Dan aku ingat pula betapa gigitan kecilnya pada pentilku demikian merangsang dan menggetarkan seluruh tubuhku. Kini aku lihat kembali bibir edan itu dari lubang pintu ini.
Dan tanpa bisa kuhindarkan tangan kananku menggerakkan turun handle pintu ini. Dan, clek, terbuka celah sempit di ambang pintu. Dan dengan cepat, sret, tangan lelaki itu cepat menyelip di celah ambang itu.
"Sebentar, saja zus, perbolehkan aku masuk"
Dia tidak menunggu ijinku. Kakinya langsung mengganjal pintu dan dengan kaki lainnya mendorong, dia masuk. Kembali dia memeluki aku, lantas menciumi bibirku, lantas menyingkap gaunku, lantas melepasi kutangku, lantas memerosotkan celana dalamku.
Lantas mengelusi pantatku, pahaku, meremasi kemaluanku kembali, bibirnya terus melumati bibirku.
Kacamataku diangkatnya. Itulah rangkaian serangannya padaku. Pada awalnya aku kembali berusaha berontak dan melawan, walaupun kali ini tidak segigih pada peristiwa pagi tadi.
Dan aku yang memang bersiap untuk "keok" langsung takluk bersimpuh saat tangan ototnya meremasi wilayah peka di selangkanganku.
Kali ini dia gendong aku menuju ke-ranjang dan sama-sama berguling di atasnya. Tetapi kali ini dia tidak menelanjangi aku. Dia hanya singkapkan gaunku, kemudian dia memelukku dari arah punggungku.
Dia lumati kudukku yang langsung membuat aku menjadi sedemikian merinding dan tanpa kuhindarkan tanganku jadi erat memegangi tangannya.
Suatu kali ciuman di kudukku demikian membuat aku tergelinjang hingga aku menengokkan leherku untuk menyambar bibirnya. Kami saling berpagut dengan buasnya.
Lelaki itu rupanya ingin menambah khasanah nikmat seksual baru padaku. Aku tak tahu kapan dia melepasi celananya, tahu-tahu kontolnya sudah menyodokki kemaluanku dari arah belakangku. Dengan posisi miring serta satu tungkai kakiku dia peluk ke atas, kontolnya menyerbu memekku dan..
Blezzhh.. Blezzhh.. Blezzhh..
Dia kembali memompa. Rupanya kemaluanku sudah cepat adaptasi, kontol gedenya tak lagi kesulitan menembusi memekku ini.
Posisi ini, duh.. Nikmatnya tak alang kepalang. Macam ini sungguh menjadi kelengkapan sensasi perkosaannya padaku yang kedua.
Ah, entah, ini masih bisa disebut sebagai perkosaannya padaku atau sudah menjadi penyelewenganku pada suamiku.
Rasanya sudah tak lagi penting buatku yang kini sedang demikian sepenuhnya menikmati kerja lelaki ini pada tubuhku.
Beberapa kali dia membetulkan singkapan gaunku yang menghalangi pompaan kontolnya pada kemaluanku.
Sesudah beberapa lama dalam nikmat posisi miring, diangkatnya tubuhku menindih tubuhnya. Posisi baru ini menuntut aku yang harus aktif bergerak.
Terlintas rasa maluku. Tak pernah aku berlaku begini. Biasanya aku merupakan bagian yang pasif dalam ulah sanggama dengan suamiku, tetapi kali ini.
"Ayo, sayang, naik turunkan pantatmu, sayang, ayoo.."
Lelaki itu setengah memaksa aku untuk menaik turunkan pantatku dalam menerima tembusan kontolnya dari bawah tubuhku.
Dan sesungguhnya aku yang memang sangat kegatalan menunggu sodokkan-sodokkannya kini berusaha menghilangkan rasa maluku dan mencoba memompa.
Uh.., sungguh tak terduga nikmatnya. Aku mengerang dan merintih setengah berteriak setiap kali aku menurunkan pantatku dan merasakan betapa kontol gede itu meruyak di dalam rongga kemaluanku, menggeseki saraf-saraf gatal di dalamnya.
"Sayang, coba kamu duduk tegak dengan terus memompa, kamu akan merasakan sangat nikmat.
Saya jamin pasti kamu nggak mau berhenti nantinya", begitulah dia antara menghimbau dan memerintah aku yang dengan tangannya mengangkat tubuhku tanpa melepaskan kontolnya dari kemaluanku.
Dan dengan aku berposisi duduk membelakangi dia dan tanganku yang bertumpu pada dadanya, aku kembali memompa.
Ah.., dia benar lagi. Ini kembali menjadi sensasi seksualku, karena aku sekarang melihat betapa diriku nampak di cermin kamarku dengan kerudung rambutku yang sudah awut-awutan dan demikian basah oleh keringatku.
Aku seperti main enjot-enjotan naik-turun di atas kuda-kudaan.
Sepintas ada malu pada ulahku itu. Kok, bisa-bisanya, hanya dalam waktu satu hari aku melakukan hubungan mesum perkosaan atau penyelewengan, entahlah, dengan lelaki yang tak kukenal ini.
Dan yang terjadi kemudian adalah genjotan naik turunku semakin cepat saja. Aku merasakan betapa kegatalan yang sangat menguasai rongga kemaluanku.
Serta dengan menyaksikan diriku sendiri pada cermin yang tepat di mukaku, nafsu birahiku langsung melonjak dan mendorong gelinjangku kembali mendekati orgasmeku yang kedua dalam tempo tidak lebih dari 4 jam ini.
Dan saat orgasme itu akhirnya benar-benar hadir, aku kembali berteriak histeris mengiringi naik turunnya pantatku yang demikian cepat.
Kontol yang keluar masuk pada lubang kemaluanku nampak seperti pompa hidrolik pada mesin lokomotif yang pernah aku lihat di stasiun Gambir.
Lelaki itu juga membantu cepatnya keluar masuk kontolnya. Aku kembali rubuh. Sementara dia, lelaki yang belum memuasi dirinya itu menyeretku ke tepian kasur dan meneruskan pompaannya hingga menyusul mencapai titik klimaksnya.
Dia cengkeram pahaku dan kurasakan kedutan-kedutan kontolnya menyemprotkan cairan kental panas pada kemaluanku kembali.
Saat jeda, dia menceritakan siapa dirinya. Dia adalah seorang dokter kandungan. Dia sangat tahu seluk beluk persenggamaan. Dia tahu gaya-gaya dalam meraih nikmat sanggama.
Dia tahu titik-titk peka pada tubuh perempuam. Dia tahu mana yang baik dan buruk. Dia puji aku setengah mati, betapa otot-otot kemaluanku demikian kencang mencengkeram kontolnya.
Namanya Dr. Ronald, 52 tahun, asli Malang. Dia buka praktek di beberapa kota. Minggu terakhir di setiap bulan dia berada di Yogya untuk melayani pasien di beberapa rumah sakit di Yogya.
Dia memang tidak ada giliran ke kotaku.
Aku boleh panggil Ron saja atau Ronad. Aku pikir dia adalah lelaki yang luar biasa. Dan aku lega saat dia mengenalkan dirinya. Aku lega karena dia termasuk orang terpelajar dan punya identitas.
Dia tidak liar. Dan dia bilang bertanggung jawab apabila ada hal yang nggak benar padaku karena bersanggama dengannya. Dia memberikan aku kartu nama.
Aku terima dan tak kuatir pada suamiku, karena dia dokter kandungan, yang mungkin saja aku dapatkan dari referensi teman-temanku.
Sore itu dia memberikan aku sekali lagi orgasme. Huh.. sungguh melelahkan dan sekaligus sangat memuaskan aku.
Dan yang paling mengesankan bagiku, sesiang hari ini dalam 3 kali persanggamaan aku meraih 6 kali orgasme. Aku nggak tahu lagi, bagaimana aku harus bersikap padanya.
Saat suamiku pulang, kamarku sudah kembali rapi, seakan tak ada yang terjadi. Aku sudah mandi dan dandan agar tidak menampakkan kelelahanku. Dan malam itu aku bersama suamiku kembali makan malam bersama.
Di pojok ruang makan kulihat meja dengan 4 kursi yang hanya diduduki seorang, dr. Ronad. Dia nampak tidak berusaha memandang aku. Dia menyibukkan dirinya dengan bacaan dan tulis menulis.
Sungguh suatu kamuflase yang hebat.
Pada keesokan harinya, hanya 10 menit sesudah suamiku turun ke lantai 2 untuk mengikuti penataran di hari ke dua, dr. Ronad kembali mengetuk pintu. Kembali aku menghadapi peperangan bathinku.
Masa, perkosaan bisa terjadi sekian kali berturut-turut, dan sementara itu, apabila disebut sebagai penyelewengan, bagaimana perempuan tegar dan berkepribadian seperti aku ini demikian mudah runtuh oleh nikmatnya perselingkuhan.
Tetapi bayangan dan segala macam keraguanku itu hanyalah menjadi awal dari elusan dan rabaan batin yang langsung membangkitkan naluriah nafsu birahiku.
Aku sudah mulai berselingkuh sebelum perselingkuhan itu di mulai. Aku telah benar-benar runtuh. Aku bukakan pintu untuk Ronad.
Rasa harga diriku yang masih tersisa mendramatisir keadaanku. Aku bertindak seakan menolak saat Ronad menggendong aku dari ambang pintu ke peraduanku. Tetapi segala ocehanku langsung bungkam saat bibirnya melumat bibirku.
Segala tolakan tanganku langsung luruh saat tangannya memilin pentil-pentilku. Segala hindar dan elak tubuhku langsung sirna saat pelukan tangannya yang kekar merabai pinggul dan bokongku.
Dan segala keinginan untuk "Tidak!" langsung musnah saat kombinasi lumatan di bibir, pelukan di pinggul, rabaan pada pantatku merangsek dengan sertaan nafasnya yang memburu. Aku aktip menunggu Ronad melahapku.
Dia mengulangi awal yang seperti kemarin, merangkul dan memulai dari belakang punggungku, memelukku kemudian menjilati kudukku. Aku meronta bukan untuk melawan, tetapi meronta karena menerima kenikmatan.
Aku menengokkan leherku hingga bisa meraih wajahnya. Kulumati bibirnya. Dan seperti kemarin, setelah menyingkap busana yang menutup bokongku hingga paha dan memekku terpampang, tahu-tahu kontolnya sudah telanjang menyelip dari celah celana dalamku, siap berada di gerbang kemaluanku.
Sambil kami saling melumat dia mendorongkan kontolnya, aku mendorongkan memekku menjemputnya. Saat akhirnya..
Blezzhh..
Kami langsung saling merintih dan berdesahan. Itulah simponi birahi di kamar Novotel di lantai 5 di pagi hari ini, sementara itu, mungkin suamiku sedang asyik berdebat bersama anggota teamnya di lantai 2.
"Sekarang gantian sayang, biar aku yang numpakin kamu, yaa.." suara gemetar Ronad nampak menahan birahinya.
Aku dibalikannya dengan tetap mempertahankan lengkungan tubuhku hingga jadi nungging dengan kepalaku bertumpu pada kasur.
Sesudah sedikit dia betulkan posisiku dan kembali lebih singkapkan busana rapetku, dengan setengah berdiri dia mengangkangin aku mulai dari arah pantatku. Kontolnya dia tusukkan ke memekku.
Duh, duh, duh..
Apa lagi ini. Kenapa gatalku langsung dengan cepat melanda memekku. Aku membayangkan bibir kemaluanku pasti dengan haus menunggu kepala kontol gede itu.
Dan aku merasakan saat ujungnya mendorong aku hingga akhirnya amblas menghunjam ke dalamnya. Dalam hatiku aku berfikir, kok macam anjing kawin, ya. Kemudian Ronad mulai kembali memompa. Huuhh.. Jangan lagi tanya betapa nikmatnya.
Aku seperti diombang-ambingkan gelombang Lautan Teduh. Setiap tusukkan aku sambut dengan cengkeraman memekku, dan akibatnya saraf-saraf pekaku merangsang gelinjang nikmat birahiku.
Dan saat kontolnya dia tarik keluar, dinding kemaluanku menahan sesak hingga kembali saraf-saraf pekaku melempar gelinjang nikmat birahi. Keluar, masuk, keluar, masuk, keluar, masuk.. Aku semakin nggak lagi mampu menahan kegelianku.
Tangan-tanganku meremasi tepi-tepi kasur untuk menahan deraan geli-geli nikmat itu.
Aku membiarkan air liurku meleleh saat aku terus menjerit kecil dan mendesah-desah. Mataku tak lagi nampak hitamnya. Aku lebur melayang dalam nikmatnya kontol yang keluar masuk menembusi memekku ini.
Dan saat tusukkannya makin cepat menggebu, aku tahu, dia akan meraih orgasmenya mendahului orgasmeku.
Kubiarkan. Bahkan kudorong dengan desahan dan rintihanku yang disebabkan rasa pedih dan panasnya gesekkan cepat batang kontolnya yang sesak menembusi kemaluanku ini.
Akhirnya dia menumpahkan berliter-liter spermanya ke memekku. Bunyi, plok, plok, plok bijih pelernya yang memukuli kemaluanku tidak kunjung henti. Dia tahu aku belum orgasme.
Dia tetap mempertahankan irama tusukkan karena tahu aku demikian menikmati gaya anjing ini. Limpahan cairan yang membecek pada kemaluanku tidak mengurangi nikmatnya tusukkan.
Bahkan licinnya batang keluar masuk ini merangsang gelinjangku dengan sangat hebatnya. Aku meliuk dan menaik turunkan pantatku. Aku benar-benar menjadi anjing betina yang memeknya dikocok-kocok jantannya.
Aku merintih dengan sangat hebat dan berteriak histeris saat orgasmeku datang menyongsong tusukkan-tusukkan pejantan ini. Aku mendapatkan sensasi nikmat birahinya anjing betina. Aku tak kunjung usai juga. Aku mengimpikan orgasme yang beruntun.
Ronadpun demikian pula. Sanggama kali ini bersambung tanpa jeda walaupun kami telah meraih orgasme-orgasme kami. Genjotan dan pompaan terus kencang dan semakin cepat. Kami dilanda histeris bersamaan.
Kami berguling-guling. Ronad menyeret aku ketepian ranjang. Dengan tetap berposisi nungging, Ronad menembusi memekku dengan berdiri dari lantai. Kontol itu, duh.. sangat legit rasanya. Hunjamannya langsung merangsek hingga menyentuh tepian peranakanku.
Ujung-ujungnya mentok menyentuhi dinding rahimku. Aku nggak tahan.. Ronaadd.. Edan, kami bersanggama tanpa putus selama lebih dari 40 menit. Aku kagum akan ketahanan Ronad yang 52 tahun itu.
Kontolnya tetap ngaceng dan mengkilat-kilat saat akhirnya kami istirahat sejenak. Baru kali ini secara gamblang dan jelas aku menyaksikan kontol lelaki.
Selama ini aku dan suamiku selalu bersanggama dalam gelap atau remang-remang. Dan kami merasa seakan tabu untuk melihati kemaluan-kemaluan kami.
Aku sendiri masih malu saat Ronad melihati dan ngutik-utik kelentitku. Dan kini aku heran, kenapa demikian susah untuk tak melihati kontol Ronad ini. Aku heran, kenapa barang ini bisa menghantarkan aku pada kenikmatan yang demikian dahsyatnya.
Jam 10 pagi Ronad pamit. Dia bilang mesti ke rumah sakit memenuhi janji dengan pasiennya. Aku nggak akan mencegahnya. Dia akan kembali nanti jam 3 sore. Aku nggak komentar. Suamiku telepon, dia ngajak aku makan siang di restoran, dia akan menunggu aku di bawah.
Sesudah aku mandi aku keluar kamar dan turun. Aku jaga agar penampilanku nampak tetap segar. Pergulatan seksual yang penuh hasrat dan nafsu birahi antara aku dan Ronald yang pemerkosaku telah meninggalkan berbagai rasa pedih di selangkanganku.
Setiap aku melangkah gesekan antara paha juga terasa nyeri. Aku harus bisa mengatasi ketidak nyamanan ini.
Ternyata hingga jam 6 sore Ronad tidak balik. Mungkin ada krisis di rumah sakitnya. Anehnya, aku merasa kesepian. Aku telah terjebak dalam nikmatnya perkosaan.
Aku gelisah selama jam-jam menunggu ketukan di pintu. Aku merasa sangat didera nafsu birahiku. Aku ketagihan. Aku sangat ketagihan akan legit kontolnya. Terbayang dan seakan aku merasai kembali legit itu menyesaki memekku.
Walaupun resah melandaku aku mengiyakan saat suamiku mengajak aku jalan-jalan bersama teman-temannya ke Molioboro. Acaranya kami makan lesehan di jalan yang demikian terkenal di dunia itu. Sepanjang jalan dan makan aku banyak melamun.
Suamiku nampak prihatin. Dia tetap hanya mengira aku kurang sehat dan dilanda rasa bosan. Dia merangkuliku dengan mesra. Aku berpikir dan melayang ke arah yang beda. Ah, Ronad, dimana kamu.. Malam itu suamiku mencumbuiku.
Aku harus memberikan respon yang sebaik dan senormal mungkin. Aku merasakan betapa bedanya saat kemaluan suamiku memasuki kemaluanku. Aku tidak merasakan apa-apa. Hambar. Aku iba padanya.
Tetapi sebagaimana yang biasa aku lakukan, kini aku berpura nikmat, seakan aku meraih orgasme. Dan suamiku demikian bernafsu memompakan kontol kecilnya hingga spermanya muncrat.
Malam itu dia tidur dengan penuh damai dan senyuman. Sementara aku tetap gelisah, terganggu pikiran dan bayang-bayang Ronad.
Besoknya, secepat suamiku pergi ke penataran aku sudah tak sabar menunggu pintu. Aku ingin ada perkosaan kembali. Ah, aku benar-benar khianat sekarang.
Aku benar-benar kehilangan harkatku. Aku benar-benar bukan lagi diriku sebagaimana yang orang kenal selama ini. Aku adalah istri yang selingkuh, adalah perempuan penyeleweng.
Ketika 30 menit berlalu dan pintu tak ada yang mengetuk, aku nekad. Kuputar telepon kamar Ronad. Dia nggak cepat mengangkatnya. Aku mulai kesal. Ah, akhirnya Ronad bicara.
"Maafin aku sayang, baru selesai mandi, nih. Tadi malam sampai jam 11 malam. Pasien-pasienku ngantre, ada yang datang dari Wonosobo, Semarang. Aku nggak mungkin meninggalkannya, khan?!".
"Bagaimana kalau aku yang ke kamarmu?" Gila, aku sudah sedemikian nekadnya.
"Boleh, ayo, biar aku bukain pintu. Kamu langsung masuk sebelum ada orang lain lihat, OK?".
Aku cepat merapikan pakaianku kemudian dengan cepat bergegas ke kamarnya. Benar, dia barusan mandi. Handuknya masih melilit di tubuhnya. Kuperhatikan dadanya yang bidang dan bersih.
Ah, kenapa aku nggak pernah memperhatikan benar selama 2 hari ini. Bukankah dia sangat sensual. Mungkin karena kepanikanku yang selalu mengiringiku saat jumpa dan bersama dia. Kami langsung saling berpelukan dan melumat bertukar lidah dan ludah.
Aku merasa diriku menjadi sangat agresif dan nggak pakai malu-malu lagi. Dengan cara seloroh, kukait ikatan handuknya hingga lepas ke lantai.
Selintas tampak pemandangan yang sangat erotis di cermin besar kamar Ronad. Aku yang berbusana serba tertutup lengkap dengan kaca mata dan kerudung di kepala sedang berpelukan dengan lelaki yang bukan suamiku yang dalam keadaan telanjang bulat.
Nampak jelas jembutnya yang tebal menyentuh pusarnya.
Aku mencoba tertawa dalam pesona birahi saat mengamati kontolnya yang sudah mengkilat dan tegak ngaceng itu. Ronad tertawa pula sambil menggapai tanganku dan diarahkan untuk meremasi kontol itu,
"Ayolah, sayang, pegang. Pegang saja, enak, lho. Nah, achh.. Enak banget tanganmu sayang.." dan dengan sedikit merinding aku mencoba menggenggamnya.
Aneh dan gila dan tak pernah mimpi bahwa aku akan secara agresif akan meraih kontol lelaki yang bukan suamiku ini. Dan tiba-tiba Ronad menekan bahuku. Dia menyuruh aku untuk jongkok,
"Pandangilah, sayang. Kontolku ini milikmu. Pandangilah. Indah sekali lho, ayo. Pandangilah milikmu ini", tekanannya itu sesungguhnya merupakan sebagian dari harapan dan keinginan nafsuku kini.
Aku berjongkok pada lututku hingga kontolnya tepat berada tepat di depan wajahku.
"Elusilah, dia akan semakin tegak dan membesar. Indah, kan..?".
Ah, aku sangat kesetanan menyaksikannya. Ini merupakan sensasi lagi bagiku. Dan tangan Ronad tak henti. Dia meraih kepalaku yang seutuhnya masih berkerudung dan menariknya untuk mendekatkan wajahku ke kontolnya itu.
Aku tersihir. Aku pasrah dengan tangannya yang mengendalikan kepalaku hingga kontol itu menyentuh wajahku, menyentuh hidungku. Kilatannya seakan memanas dan mengepulkan aroma.
Aku mencium sesuatu yang sangat merangsang sanubariku. Bau kontol itu menyergap hidungku. Tangan Ronad tak juga henti.
"Cium saja, ini punyamu, kok. Ciumlah. Ayoo, ciumlah". Ah, untuk kesekian kali aku ikut saja maunya. Ah, kontol itu menyentuh bibirku.
"Ayo, cium, nggak apa-apa. Ayoo, sayang. Ciumlah. Ayoo.."
Aku merem saat mulutku sedikit menganga menerima ujung mengkilat-kilat itu, sementara dorongan tangannya membuat gigiku akhirnya tersentuh ujung itu.
"Ayoo, sayang..".
Dan aku, dan mulutku, dan lidahku, dan hatiku, dan sanubariku, dan akuu.. Akhirnya menerima kontol Ronad menembusi bibirku, menyeruaki mulutku. Aku menerima terpaan getar nikmat yang membuat tubuhku merinding dan menggelinjang.
Aku didorong oleh kekuatan macam apa ini, saat aku menerima adanya norma baru, yang selama ini merupakan sangat tabu bagiku, dan sangat menjijikkan bagi penalaranku. Bahkan aku menerima dengan sepenuh hasrat dan nafsu birahiku.
Aa.. Aku.. aku.. Mulai mencium dan melumat kontol Ronad..
"Ah, sayang, kamu nampak begitu indah, sayangg.. Indah sekali, sayang.. Sangat indah, sayang.. Indah banget sayang..", Ronad meracau tidak menyembunyikan kenikmatan libido erotisnya saat melihati aku mengulum dan menjilati kontolnya.
"Terus, sayang.. Terus.. Enak sekali, sayang.. Teruss..".
Dan aku menunjukkan gerakan melumat dan menjilat secara sangat intens. Terkadang aku cabut kontol itu untuk aku lumati batangnya yang penuh belukar otot-otot. Tanganku tak bisa lagi diam.
Sementara tangan kananku menyangga kontolnya dan mengedalikan kemana mauku, tangan kiriku mengelusi bijih pelirnya dan sesekali naik meraupi jembutnya yang sangat tebal itu.
Duh.. Aku menemukan keindahan, erotisme dan pesona birahi yang tak bisa kuungkapkan dalam kata-kata.
Aku hanya bisa tangkap dengan hirupan hidungku, dengan rasa asin di lidahku, dengan keras-keras kenyal dalam genggamanku, dengan nafas memburuku. Aku benar-benar larut dalam pesona dahsyat ini.
Dan ketika aku rasakan Ronad mulai menggoyangkan pantatnya menyanggamai mulutku, dan ketika kudengar dia mulai benar-benar merintih dan mendesah yang membuat aku semakin terbakar oleh libidoku yang memang telah menyala-nyala aku menyadari bahwa macam nikmat birahi itu demikian banyaknya. Aku nggak pernah merasakan macam ini sebelumnya.
Membayangkan saja aku tabu dan jijik. Dan ketika kini aku justru begitu intens melakukannya, tiba-tiba hadir begitu saja keinginanku untuk mempersembahkan kenikmatan yang hebat bagi lelaki bukan suamiku ini. Aku akan biarkan apabila dia menghendaki memuncratkan air maninya ke mulutku.
Aku pengin merasakan, bagaimana semprotan hangatnya menyiram langit-langit mulutku.
Aku pengin merasakan rasa pejuh dan spermanya di lidahku. Aku pengin merasakan bagaimana berkedutnya kontol Ronad dalam mulutku saat spermanya terpompa keluar dari kontolnya.
Dan saat goyangan maju mundur pantatnya makin mengencang, tangannya mulai dengan benar-benar membuat kulit kepalaku pedih karena jambakan dan remasannya karena menahan nikmat tak terperikan dari kuluman dan jilatanku, aku sudah benar-benar menunggu kesempatan itu.
Aku sendiri melenguh dan merintih dalam penantian itu.
Dan dengan iringan teriakan histerisnya yang keluar terbata-bata dari mulut Ronad, akhirnya sebuah kedutan besar menggoncang rongga mulutku. Cairan kental panas luber menyiprat dan menyemprot-nyemprot langit-langit mulutku.
Tak henti-hentinya. Entah 7 atau 8 kedutan yang selalu diikuti dengan semprotan air mani hangat. Mulutku langsung penuh. Terlintas kembali rasa jijik. Aku ingin muntahkan apabila kedutan itu habis. Tetapi ternyata itu lain dengan apa yang terlintas dalam benak, nafsu dan tingkah Ronad.
Tangannya meraih dan menekan kepalaku untuk lebih menghunjamkam kontolnya hingga menyentuh tenggorokanku.
Dan pada saat yang bersamaan dengan penuhnya air mani di mulutku, tangannya dengan kuat membekap hidungku. Sungguh kasar dan sadis dokterku ini.
Seperti saat seseorang mencekoki jamu pada anaknya, aku dipaksanya menelan semua air mani yang tumpah dalam mulutku. Aku gelagapan dan hanya punya satu pilihan agar tidak tersedak.
Kutelan semua cairan kentalnya. Uhh.. uh.. uh.. Ronad.. Kamu gila benar sih.. Sesudah yakin semua air maninya telah tertelan dan mengaliri tenggorokanku dia lepaskan bekapan hidungku.
Aku langsung menarik nafas panjang. Aku pandangi dia. Aku heran dengan perilaku kasarnya itu. Dia menyadari betapa pandangan heranku,
"Maaf, zus, aku jadi kasar, aku nggak mampu menahan nafsuku.. Aku sangat ingin menyaksikan zus yang cantiknya dari ujung kepala hingga ujung kaki menelani air maniku.
Maafin saya, ya, zus. Sayang..", aku melihati matanya dan mengangguk kecil.
Sesungguhnyalah aku tak begitu kecewa. Bahkan aku merasakan, betapa air mani itu juga sangat nikmat rasanya. Rasanya mengingatkan pada kelapa muda yang sangat muda. Kukatakan padanya apa yang kurasakan.
"Yaa.. memang, air mani itu, khan, hormon, bersih dan sehat. Air mani itu protein juga", katanya.
Aku percaya akan pengetahuan dokternya. Aku bisa ketagihan, nih. Mungkinkah aku minum sperma suamiku? Ah, jangan, nanti dia malahan curiga, dari mana aku belajar macam ini?!
Bercumbu di kamar Ronad memberikan rasa lebih aman dan tenang bagiku. Aku nggak merasa diburu waktu atau khawatir sewaktu-waktu suamiku muncul di pintu. Sampai jam 11.40 kami terus menerus saling mencumbu.
Pada akhir percumbuan tadi Ronad menunjukkan padaku bagaimana tampilan kontolnya saat ejakulasi.
Menjelang muncrat sesudah gencar memompa kemaluanku dia cabut kontolnya. Dengan mengarahkan ujungnya ke mukaku dia kocok dengan tangannya kontolnya.
Aku perhatikan bagaimana kontol itu semakin membengkak dan sangat mengkilat-kilat kepalanya.
Aku menyiapkan wajahku untuk menerima terpaan semprotan air mannya. Kusaksikan bagaimana batang itu menganguk-angguk setiap semprotan itu muncrat keluar.
Dan aku rasakan sangat sensasional saat dia muntahkan air maninya menyemproti mukaku, rambutku, kaca mataku dan membasahi bagian tubuhku lainnya.
Aku kembali ke kamarku dan mandi untuk menunggu suamiku dari penatarannya. Aku panggil pelayan hotel untuk mencuci semua pakaianku yang bekas aku pakai bersama Ronad.
Siang itu suamiku kembali mengajak aku makan di restoran. Suamiku memberi tahu bahwa besok merupakan hari terakhir penataran yang akan selesai dan ditutup pada siang hari.
Suamiku bilang akan langsung pulang untuk mengejar sore harinya sudah sampai di rumah. Rencana hari ini penataran akan berhenti jam 3 sore.
Rombongan suamiku telah menyiapkan bus AC untuk bersama-sama melihat Keraton Yogya. Kemungkinan rombongan yang didalamnya ada Pak Gubernur Jawa Tengah akan disambut langsung oleh Sultan Yogya.
Aku diminta untuk bersiap-siap menyertai dan mendampingi Ibu Gubernur. Aku tanyakan tepatnya waktu, suamiku menjawab jam 3.20 tepat rombongan akan meninggalkan hotel.
Aku boleh bersiap-siap hingga menjelang jam 3 sore itu. Mungkin suamiku tidak akan naik ke kamar, jadi aku diharapkan telah berada di lobby pada jam tersebut.
Terus terang aku tidak "happy" dengan rencana itu. Bukankah berasyik masyuk dengan Ronad akan jauh lebih mengasyikkan?! Tetapi aku tidak memiliki alasan untuk menolaknya.
Begitu suamiku kembali ke ruang penataran, aku menelpon Ronad dari lobby dan kusampaikan programku sore ini. Dia menunggu aku di kamarnya.
Kami sepakat untuk memuas-muaskan diri sampai jam 2.30. Aku sudah perhitungkan dalam 15 menit aku bisa merapikan diri dengan busana santai, sekedar jeans dan blus yang praktis, dan turun ke lobby 10 menit sebelum waktunya.
Begitulah, aku merasa semakin dikejar keterbatasan. Aku merasa betapa kesempatan berasyik masyuk tinggal sesaat di siang hari ini dan besok di siang hari pula.
Aku menjadi terpana ketika berpikir betapa selama mengikuti suami kali ini aku telah memasuki petualangan yang sangat berbahaya bagi kehidupan rumah tanggaku, kehidupan duniaku maupun alam fanaku nanti.
Aku heran sendiri, kok mampu berbuat macam ini, melakukan penyelewengan langsung di belakang suamiku yang tengah berjuang untuk meningkatkan kehidupan kami bersama.
Tetapi aku memang sedang dilanda mabok. Kenikmatan birahi ini demikian memabokkan aku. Meraih orgasme dari orang yang bukan suamiku yang pada awalnya bukan mauku.
Tetapi perkosaan yang tak mampu aku lawan ini telah merubah aku menjadi istri yang nyeleweng. Dan kini justru aku yang seakan ketagihan dan berbalik mengejar sang pemerkosa itu dengan sepenuh nafsu birahiku.
Kenapa aku mesti mengalami dan melewati peristiwa macam ini.
Ah.. aku jadi linglung kalau memikirkannya. Biarlah apa yang terjadi, terjadilah.. Siang itu aku nampak terlampau merangsek Ronad untuk mengejar kepuasan nafsu birahiku.
Aku sudah tidak menghitung-hitung risiko. Aku demikian larut dalam kenikmatan kontol Ronad. Edan.
Sore harinya suamiku kembali mengajak aku makan lesehan di Malioboro. Dan malam harinya dia mecumbu aku. Aku merasa tak ada gairah sama sekali. Suamiku merasakan sikapku ini.
"Udahlah ma, besok kan sudah nyampai di rumah lagi" Kasihan suamiku yang demikian memprihatinkan aku.
Besoknya, waktu yang semakin sempit merembet tak mungkin kuhindari. Begitu suamiku pergi ke lantai 2, aku tak sabar lagi. Aku ketuk pintu Ronad.
Kami langsung berpagutan. Aku merasakan waktu semakin mendekati habis, semakin menyala-nyala nafsu seksualku.
Aku semakin merangsang untuk merangseki Ronad. Kini akulah yang mendorongnya ke ranjang. Kini akulah yang seakan memperkosanya.
Kulepasi celananya, kemejanya, celana dalamnya. Kuciumi tubuhnya, dadanya, ketiaknya, perutnya, selangkangannya. Aku jadi sangat liar dan buas. Akulah yang menyanggamai dia.
Dia serahkan tubuhnya untuk kepuasanku. Aku naik ke atas kontolnya. Dengan setengah menduduki tubuhnya, aku masukkan kemaluannya yang telah tegang dan kaku menembus memekku.
Aku pompa dengan cepat dan penuh nafsuku. Aku dapatkan orgasmeku hanya dalam 3 menit sejak aku mulai memompa. Aku menjadi demikian blingsatan dalam gelinjang birahi yang tak lagi terkendali.
Ronad nampaknya menikmati ulah keblingsatanku ini. Aku rubuh ke sampingnya.
Selanjutnya Ronad mengambil alih. Kontolnya yang belum terpuaskan dia tusukkan ke memekku kembali. Dia pompakan dengan cepatnya. Rasa pedih dan perih pada bibir-bibir kemaluanku semakin terasa menyiksaku.
Aku merintih dan mengaduh-aduh kesakitan. Ronad justru nampak sangat menikmati kesakitanku. Dia balikkan tubuhku dan angkat pantatku hingga aku nungging tinggi-tinggi.
Aku tahu dia ingin aku menjadi anjing betinanya. Tetapi.. Acchh, .. Tidak.. tidakk.. jangann..
Rupanya Ronad tidak hendak menyanggamai kemaluanku. Dia menjilati anusku. Uhh.. aku tak pernah membayangkan sebelumnya. Dia menciumi dan menusuk-nusukkan lidahnya ke lubang pembuangan taiku.
Dia nampak sangat menikmati aroma pantatku itu, sambil kedua tangannya merabai dan kemudian memerasi buah dadaku.
Oohh.. ampuunn.. Ronadd.. Kenapa kamu selalu memberikan sensasi yang serba dahsyat padaku.. Kenapa kamu selalu memberikan pembelajaran berbagai nikmat sensasional begini macam padaku.. Ronaadd.. Jangann..!!
Aku rasakan bagaimana ujung lidahnya menyapu bibir-bibir analku. Aku rasakan bagaimana bibir Ronad mengecupi lubang anusku. Aku rasakan bagaimana hidungnya berusaha menyergapi segala rupa aroma yang menyebar dari pantatku.
Aku rasakan bagaimana ludahnya membasahi hingga kuyup seluruh wilayah di seputar analku ini.
Dan puncak dari segala puncak ketakutanku akhirnya datang. Ronad bangkit. Dia setengah jongkok mengangkangi pantatku.
Aku masih berpikir bahwa dia hendak menusukkan kontolnya ke memekku. Aku masih berpikir dan membayangkan nikmat jadi anjing betinanya Ronad.
Aku masih berpikir bagaimana sesak dan legitnya kontol Ronad menusukki kemaluanku dengan cara nungging anjing ini. Aku sama sekali tidak berpikir lain..
Tiba-tiba, tanpa kompromi, kontol Ronad didesak-desakkanya ke pantatku. Dia hendak melakukan sodomi padaku. Edan kau Ronad, bajingan kauu.. Kamu bisa membunuh aku Ronad.. Nggak! Nggak akan aku rela melayani maumu ini Ronad.. Biar mati aku akan lawan kamu Ronad..
Aku nggak akan berikan pantatku untuk kepuasan nafsu biadabmu Ron..
Aku berguling. Kutendang perutnya, dia mengelak. Kucakar tangan dan dadanya, dia pegang tangan-tanganku, kugigit bahunya yang rebah ke wajahku, dia berkelit.
Aku teriak-teriak, dia membiarkan. Kupingnya sangat menimati teriakkanku. Dia terus merenggutku dengan tanpa bicara. Aku terus menggeliat-geliat untuk melawannya.
Tiba-tiba, aku nggak tahu dari mana dia mengambilnya, dia keluarkan borgol. Borgol itu borgol besi yang aku sering lihat di TV digunakan polisi saat menangkap maling atau penjahat.
Tangan kiriku direnggut paksa dan diborgolkannya ke kisi-kisi ranjang Novotel. Berhasil.
Kemudian dia renggut kembali tangan kananku, dia keluarkan borgol yang kedua untuk memborgolkan tangan kanan ini ke kisi-kisi yang lain. Aku langsung dilanda cemas ketakutan yang amat sangat.
Akankah dia melukai aku? Aku panik. Sangat panik. Aku sangat histeris ketakutan. Aku memohon dengan tangisan panikku.
"Jangan.. jangan Ronad.. ampuni akuu.. Jangan borgol aku.. Ampuni aku Ronad..", aku menghiba dalam histeris.
Kini benar-benar aku seperti hewan yang dilumpuhkan yang siap menunggu penyembelihan. Akankan aku jadi hewan korban kebiadaban Ronad?
"Sayang, jangan takut.. Aku nggak akan sakiti kamu.. Kamu akan aku berikan kenikmatan yang tak akan pernah kamu lupakan.."
Aku masih menangis minta belas kasihannya..
Kini dia mendekat ke tubuhku. Dia gulingkan setengah miring pantatku. Dia angkat kakiku hingga melipat ke arah dadaku.
Dan kembali pantatku menjadi terpampang. Kemudian dengan merapat dari arah punggungku, Ronad memeluk tubuhku. Kemudian kembali kurasakan kontolnya merapat ke arah pantatku.
Dia akan terus melakukan sodomi padaku. Apa dayaku. Aku yang kini terangket, tak lagi mampu melawan dengan cara apapun.
Saat dia tusuk-tusukkan kontolnya ke lubang pantatku aku mulai merasakan betapa pedih dan sakitnya. Aku rasakan seakan berjuta saraf-saraf peka di lubang analku sepertinya hancur oleh tempaan ujung kontolnya yang demikian keras itu. Aku menangis kesakitan dan penuh iba. Ronald tahu, karena dia adalah dokter.
Dia hentikan tusukkannya. Dia ambil ludahnya dan dioleskan ke lubang duburku. Beberapa kali dia lakukan sebelum kemaluannya kembali untuk berusaha menembusinya lagi. Saat aku kembali berteriak sakit, dia membisikkan ketelingaku.
"Kamu mesti santai, kendorkan saraf-sarafmu, jangan tegang, jangan khawatir. Kamu percaya padaku, khan?".
Duh, suara Ronald langsung membiusku. Aku percaya padanya. Dan sesungguhnyalah aku sangat berhasrat padanya. Akupun berusaha untuk lebih tenang.
Toh aku nggak bisa berbuat lain. Tangan-tanganku terborgol dan Ronald telah demikian melumpuhkan aku. Kemudian aku merasakan seperti ada pemukul soft ball yang memaksakan menembusi anusku.
Aku yakin pantatku mulai terluka, mungkin berdarah. Beberapa kali aku rasakan Ronad mengulangi melumasi lubangku dengan ludahnya.
Akhirnya setelah beberapa kali dan sedikit demi sedikit menyodok masuk, kontol Ronad berhasil tembus tertanam dalam lubang taiku.
Aku mungkin kelenger. Aku tak mampu lagi merasakan sakit atau tidak sakit lagi. Aku lunglai dalam rasa panas dan pedas yang amat sangat. Aku tak mampu lagi berontak atau melawan. Aku benar-benar jadi pesakitan. Aku adalah korban keganasan Ronald.
Dan saat Ronad mulai memompakan kontolnya, aku benar-benar pingsan. Entah berapa lama. Aku terbangun saat aku rasakan ada air yang menyiram wajah dan mulutku hingga aku gelagapan.
Pelan-pelan aku membuka mataku. Aku belum melihat apa-apa. Aku masih mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Kulihat ada bayang-bayang gelap yang hampir menutupi wajahku.
Dan.. Biadab, anjiingg.. Begundal busuk kau Ronaadd..
Dia benar-benar gila. Dia tengah menduduki aku dengan kontolnya yang mengarah dan mengencingi wajah dan mulutku. Sebagian air kencingnya masuk kemulutku dan tertelan hingga membuat aku gelagapan tersedak-sedak. Kudengar samar-samar.
"Minum, ini sundal, minum kencingku. Ayoo.. Minum.. Air segar inii.. minum perempuan sial.. Minum kencingku sundalku.."
Tangannya membekap hidungku yang langsung membuat mulutku ternganga mencari nafas. Dan pada saat yang bersaman air kencing itu deras ngucur ke mulutku. Bagaimanapun aku tak terpaksa menelannya. Aku gelagapan setengah mati dan kembali pingsan.
Entah berapa lama aku kelenger.. Hingga kudengar bunyi telepon keras berdering.. Kubiarkan telpon itu terus berdering hingga berhenti dengan sendirinya..
Badanku, celana jeans dan blusku, seprei ranjang, selimut, bantal, semuanya basah. Bau anyir dan pesing memenuhi kamar. Aku jadi ingat, itu air kencing. Aku juga jadi ingat tanganku, telah lepas dari borgolku.
Aku jadi ingat saat terakhir yang aku ingat, Ronad menduduki dadaku dan kencing ke wajah dan mulutku..
Kemana dia sekarang..??
Dimana Ronad bajingan itu..??
Tiba-tiba rasa mual langsung menyergap aku. Aku tak mampu menahan ingatan itu dan mualku makin menjadi-jadi. Aku muntah-muntah. Telpon kembali berdering keras. Dengan terseok aku bangkit dari ranjang dan kuraih telepon,
"Cepat balik ke kamarmu, penataran sudah selesai, suamimu sedang menuju ke lift untuk kembali ke kamar. Cepat..!!" itu suara Ronad.
Telepon langsung putus. Aku panik. Kusambar apa yang kuingat. Aku keluar kamar Ronad dan kembali ke kamarku. Tanganku gemetar tak keruan saat memasukkan kunci pintu.
Aku berkejaran dengan suamiku. Aku berkejaran dengan nasibku. Aku berkejaran dengan keutuhan keluargaku.
Aku berkejaran dengan martabatku.. Dengan terseok aku berlari ke kamarku dan langsung masuk kamar mandi dan mengunci pintunya. Ah.. ini semua adalah hasil kebodohanku.. Aku benar-benar keluar dari siksaan neraka jahanam..
Kudengar seseorang membuka pintu kamar.
"Ma, kok pintunya nggak dikunci..?" terdengar suara suamiku.
Ah, ademnya.. damainya.. Shower dingin di kamar mandi langsung membuat kesadaranku kembali utuh. Saat aku keluar kamar mandi suamiku menjemputku dan mencium aku dengan sepenuh cinta dan kerinduannya.
"Kita pulang, Ma. Ayo cepetan dandan, teman-teman sudah menunggu makan siang. Aku telepon ke kamar tadi. Kemana kamu, Ma? Shopping? Jalan-jalan?"
Ah.. Suamiku.. Cinta sejatiku.. Orang yang kuingkari.. Yang aku khianati..
Sejak saat itu aku tak pernah berjumpa lagi dengan Ronald. Tak aku pungkiri, hingga kini aku masih merindukan kontolnya yang gede panjang itu.
Aku masih terobsesi padanya. Aku sering membayangkan betapa kekerasan dan kekasarannya memberikan nikmat syahwatku.
Dalam keadaan sendiri aku sering mencoba ber-masturbasi. Aku merindukan orgasme beruntun yang kudapatkan dari dia.
Aku pernah mencoba menghubungi telpon yang tertera di kartu namanya. Ternyata dia telah pindah. Dia tidak lagi berdomisili di Malang.
Saat berkumpul dengan ibu-ibu kenalanku, aku suka memancing, apakah mereka pernah periksa ke dokter kandungan? Aku berharap mereka pernah berjumpa dengan Ronald. Tetapi pertanyaanku tak ada jawabannya.
Aku juga coba telpon ke Novotel, apakah ada tamu berinisial Ronald menginap di hotel ini?!
Akhirnya aku menyerah. Dia telah raib dibawa angin lalu. Aku juga berharap, kapankan angin lalu juga membawa raib obsesiku?
Sungguh lelah mencoba menempatkan hasrat birahi dalam penantian tanpa kunjung jelas. Aku akan berusaha melupakannya.
Aku mencoba memberikan perhatian lebih banyak kepada suamiku. Aku melengkapi perabotan dapurku.
Aku punya hobby memasak makanan oriental. Kemarin masakan suamiku memuji masakanku Muc Don Thit. Masakan tumis cumi yang telah aku isi dengan soun, hioko dan jamur kuping.
Aku juga membuat Tom Yang Goong yang pedasnya demikian menggigit. Kami makan malam bersama dalam penerangan lilin. Aku sempat keluar keringat karena kepedasan.
bila sudah selesai baca artikel ini jangan lupa untuk like ya ^_^ Terima kasih^_^
Pemerkosaan Menjadi Kenikmatan
Cerita Sex Dewasa Pemerkosaan Menjadi Kenikmatan - Hai, perkenalkan namaku Erina. Usiaku sekarang 18 tahun. Teman-temanku sering memuji wajahku yang bulat dan manis dengan rambutku yang hitam sebahu yang menurut mereka amat serasi dengan bentuk wajahku. Tubuhku yang mungil dengan tinggi 152 cm, memberi kesan imut yang sering menjadi daya tarik tersendiri bagi teman-temanku. Aku merupakan seorang mahasiswi keturunan Chinese dari Medan yang bisa tergolong sebagai pendatang baru di Jakarta. Aku merantau ke Jakarta sendirian untuk melanjutkan pendidikanku di sebuah universitas swasta di Jakarta Barat. Sehari-harinya aku bekerja sebagai guru les privat yang mengajar anak-anak sekolah yang pada umumnya adalah anak-anak SMP atau SD. Aku melakukan ini untuk membiayai uang kuliah dan segala keperluanku. Maklumlah, sebagai pendatang baru di kota besar seperti Jakarta, aku harus bisa membiayai segala keperluanku sendiri. Apalagi keluargaku yang berasal dari daerah juga bukan tergolong keluarga yang cukup mampu untuk membiayaiku, maka aku memutuskan untuk mandiri sendiri di perantauanku.
Suatu hari, aku mendapat panggilan dari sebuah keluarga yang ingin agar aku mengajar les anak tunggal mereka. Mereka menawarkan gaji yang bagiku amat tinggi dan kurasa cukup untuk membiayai kehidupanku di Jakarta. Tanpa pikir panjang lagi, segera kuterima tawaran keluarga itu, dan kami setuju bahwa aku akan mulai mengajar anak mereka besok sore harinya sepulang kuliah.
Esok harinya, aku pun datang untuk mulai mengajar murid baruku itu. Sesampainya di rumah itu, aku tertegun melihat arsitektur rumah itu yang seperti sebuah istana yang dilengkapi taman hijau dan dikelilingi pagar terali yang tinggi. Dibandingkan dengan rumahku di daerah yang hanya ¼ luas rumah itu, apalagi tempat kosku yang kecil dan sumpek, tentu saja memiliki rumah seperti ini sudah menjadi impianku sejak kecil.
DING-DONG!! Kutekan bel pintu di sebelah pagar rumah itu.
“Siapa?” terdengar suara wanita di Interkom yang terletak di samping bel pintu itu.
“Saya Erina, guru les privat anak anda yang baru!” jawabku
“Oh, Erina! Ayo, silakan masuk!”
Tiba-tiba, gerbang terali rumah itu terbuka. Aku pun segera masuk kedalam. Pintu garasi itu terbuka dan keluarlah seorang wanita paruh baya, usianya sekitar 40-an tahun. Dari penampilannya yang necis seperti seorang business-woman, sudah jelas bahwa ia adalah pemilik rumah ini. Wanita itu segera menyambut kedatanganku.
“Halo, Erina! Bagaimana kabarnya?”
“Baik-baik saja bu. Anda Bu Diana? Ibu Rendy?” tanyaku dengan sopan.
“Ya, betul! Ayo masuk, kita bicara didalam!” ujarnya mempersilahkanku masuk
Sambil menuju ke ruang tamu, kami berbincang-bincang sejenak. Dari situ aku tahu bahwa bu Diana adalah pemilik Bridal Studio ternama di Jakarta sekaligus seorang desainer gaun pengantin yang sering pergi ke luar negeri untuk melihat pameran-pameran di luar negeri. Bahkan, di rumahnya banyak terpajang piala penghargaan bagi desainer di pameran luar negeri. Sementara suaminya adalah kepala cabang sebuah bank multinasional yang saat ini tinggal di Jerman. Maka ia hanya tinggal berdua saja dengan anaknya di rumah itu. Seringkali anaknya dititipkan ke kerabatnya apabila bu Diana hendak pergi ke luar negeri.
Aku pun dipersilahkan untuk menunggu di ruang tamu sementara bu Diana mengambilkan minuman untukku. Aku hanya terpaku melihat hiasan-hiasan indah di rumah itu. Rasa-rasanya, harga salah satu hiasan patung ataupun lukisan itu cukup untuk membiayai uang kuliahku untuk satu semester.
“Hayo, kok malah melamun?” aku dikagetkan oleh suara bu Diana yang segera menyajikan segelas es sirop untukku.
“Eh… tidak… maaf, Bu!” aku tergagap salah tingkah, namun bu Diana hanya tersenyum melihatku. Bu Diana segera duduk di sofa ruang tamu didepanku.
“Nah, Erina. Kamu akan mengajar Rendy mulai hari ini. Ibu harap kamu bisa memperbaiki nilai-nilainya di sekolah.”
“Baik bu. Saya akan berusaha sebaik mungkin.”
“Saya senang melihat semangatmu. Tapi apa kamu tahan menghadapi anak-anak nakal?”
“Memangnya ada apa, bu?” tanyaku penasaran
“Rendy sekarang duduk di kelas 2 SMP, usianya tahun ini 14 tahun. Kamu tahu, itu masa yang rawan bagi anak remaja. Nilai Rendy terus menurun, ia lebih sering menghabiskan waktunya buat bermain atau menonton di kamarnya.” Bu Diana tampak menghela napas.
“Tenang saja, bu. Saya akan berusaha untuk membuatnya belajar. Saya yakin, nilai Rendy pasti akan segera membaik.”
“Bagus. Kinerjamu akan dinilai lewat nilai-nilai ujian semester mereka Juni ini.”
“Berarti, 5 bulan dari sekarang?”
“Benar. Tunggu sebentar ya, Erina? Ibu akan memanggil Rendy dulu.”
Aku mengangguk menyetujui. Bu Diana lalu beranjak pergi ke lantai atas. Tak lama kemudian, Bu Diana turun beserta seorang anak laki-laki. Wajah anak itu cukup tampan, menurutku. Tubuhnya juga tampak besar untuk anak seusianya, bahkan lebih tinggi dariku. Tapi mukanya tampak masam saat melihatku yang duduk dihadapannya.
“Ayo, beri salam ke Kak Erina! Mulai hari ini dia yang akan menjadi guru privatmu!”
“Rendy.” Anak itu tampak acuh dan menyodorkan tangannya untuk bersalaman denganku.
“Erina, salam kenal!” Aku berusaha tersenyum sambil membalas uluran tangannya.
“Baiklah, ayo antar kak Erina ke kamarmu dan mulai belajar!” perintah bu Diana, yang hanya dijawab oleh gerutuan dari Rendy. Aku tersenyum dan mengikuti Rendy ke kamarnya. Sejak hari itu, aku mulai mengajari Rendy sebagai guru privatnya.
Hari demi hari berlalu. Tidak terasa, sudah 3 bulan berlalu sejak hari itu. Tiap hari Senin hingga Jumat sore, aku terus mengajari Rendy sebagai guru privatnya secara rutin. Lama-lama aku pun semakin mengenal Rendy. Rendy sering bergaul dengan teman-temannya, namun sayangnya Rendy salah memilih pergaulan. Ia bergaul dengan anak-anak nakal di sekolahnya. Aku pernah melihat teman-temannya yang nakal itu, mereka selalu saja mengajak Rendy untuk membolos saat aku mengajar, yang seringkali dituruti olehnya, belum lagi sikap mereka yang menurutku tidak sopan maupun cara mereka bergaul yang lebih condong ke arah pergaulan bebas.
Aku selalu bersabar mengajari Rendy, tapi anak itu benar-benar bandel. Setiap kali aku mengajarinya, ia hanya mengacuhkanku ataupun bengong melamun. Semua tugas yang kuminta untuk dikerjakan tidak pernah disentuhnya sama sekali. Parahnya lagi, tidak jarang kulihat kepingan DVD porno yang disembunyikannya di bawah kasurnya. Aku tidak pernah menghiraukan hal itu, karena tugasku di sini adalah untuk mengajarinya bahan pelajaran, bukan untuk menceramahinya. Mungkin karena pengaruh DVD itu dan pergaulannya, dia juga sering menggodaku untuk menjadi pacarnya. Aku memang masih single, tapi pacaran dengan anak dibawah umur? Tak pernah sama sekali terlintas di benakku untuk melakukan hal itu, apalagi Rendy adalah muridku.
Sering aku nyaris kehilangan kesabaran karena ulah Rendy, namun aku selalu teringat akan janjiku pada bu Diana untuk memperbaiki nilai Rendy dan mengingat biaya yang dikeluarkan bu Diana untuk membayarku, sudah cukup untuk membuatku selalu tegar menghadapi kebandelan Rendy.
Namun seberapapun aku berusaha menahan kesabaranku, rupanya kesabaran bu Diana mulai habis. Suatu hari, ia memanggilku saat aku mengajar Rendy.
“Erina, saya pikir kamu sudah tahu kalau nilai Rendy selama ini sama sekali tidak membaik.” Ujarnya agak keras
“Maaf, bu. Saya sudah berusaha, tapi Rendy…”
“Saya tidak mau mendengar alasan, Erina. Kamu tahu berapa gajimu setiap bulan bukan? Saya berharap pengeluaran itu setimpal dengan hasil yang kamu berikan. Tapi kalau begini hasilnya, saya benar-benar kecewa…” ujarnya dengan nada agak ketus
“Tapi…”
“Begini saja. Saya akan tetap berpegang pada janji saya untuk menilaimu lewat hasil Rendy pada semester ini. Kalau nilainya masih juga belum membaik, saya terpaksa mencari pembimbing yang lebih mampu.”
“Tapi bu…” aku berusaha memberi argumen dengan Bu Diana.
“Sudahlah Erina, saya harus pergi ke studio sekarang! Saya harap, kamu bisa memperbaiki nilai Rendy secepat mungkin!” tegas bu Diana sambil berlalu pergi keluar dari rumahnya.
Kata-kata bu Diana benar-benar membuatku mulai patah arang. Bagaimana cara menggerakkan anak sebandel itu untuk belajar? Yang kutahu ia hanya tertarik dengan game PlayStation dan koleksi film miliknya, baginya memegang buku pelajaran pasti lebih susah daripada berenang melintasi samudra! Rasa putus asa menyelimutiku saat aku membayangkan bagaimana membiayai kuliahku apabila bu Diana meberhentikanku.
Dengan lesu, aku kembali ke kamar Rendy untuk mengajar. Namun, sesampainya di kamar, aku melihatnya tertawa terbahak-bahak saat aku memasuki kamarnya.
“Apa yang lucu?!” ketusku dengan muka masam.
“Mau dipecat ya, Kak? Kasihaan deeeh!” ejeknya sambil tertawa.
Mendengar ejekan Rendy sudah lebih dari cukup untuk membuat amarahku yang sudah lama terpendam, meledak seketika.
“Kamu maunya apa sih?! Kakak sudah memberimu penjelasan dan latihan-latihan, tapi sama sekali tak digubris!! Bagaimana nilaimu bisa bagus kalau kamu tidak pernah belajar!! Setiap hari yang kamu tahu cuma main game atau bengong saja!!” bentakku pada Rendy. Aku benar-benar merasa marah dan dipermainkan oleh anak itu. Tapi Rendy hanya tersenyum mendengar bentakanku itu.
“Oke deh, kalau Kakak maunya begitu. Rendy akan minta Mami untuk mencari guru baru. Kakak cari saja murid yang mau menurut!!” Ujarnya dengan sombong.
Seketika itu juga aku ambruk ke lantai, air mataku menetes karena putus asa. Aku sudah harus membayar biaya kuliahku bulan depan yang rencananya akan kubayar dengan gajiku bulan ini. Apabila aku diberhentikan sekarang, bagaimana caraku untuk membayar uang itu? Tidak mungkin meminta kiriman uang dari keluargaku, aku tidak memiliki kerabat di Jakarta dan lagipula mana mungkin teman-temanku mau meminjamkan uang untuk mahasiswi miskin sepertiku ini? Sebenarnya banyak mahasiswa yang tertarik padaku dan mau menjadi pacarku. Bisa saja aku meminjam uang dari mereka, namun aku tak mau kalau harus berhutang budi pada mereka, bisa saja itu menjadi alasan mereka untuk memaksaku menjadi pacar mereka.
Pikiran bahwa aku harus berhenti kuliah membuatku galau dan putus asa. Aku pun menangis terisak di hadapan Rendy.
“Waah, malah nangis… Dasar cengeng!” ejek Rendy saat melihatku menangis, namun itu tidak menghentikan isak tangisku.
“Oke, oke. Aku mau belajar, tapi kakak harus menuruti permintaanku, Oke?!” Rendy mulai membujukku.
“A…apa yang kamu mau?!” jawabku sambil terisak.
“Pertama, kakak berdiri dulu ya?” Rendy memegang tanganku dan membantuku berdiri. Aku pun segera beranjak bangun. Kulihat mata Rendy tampak menggerayangi lekuk tubuhku. Ia lalu berjalan berputar-putar mengelilingiku. Aku pun mulai risau melihat gelagat anak itu.
“Sudah! Jangan putar-putar melulu! Kepala kakak pusing tahu!! Kamu maunya apa sih?!” bentakku tidak sabaran.
“Kak, Rendy penasaran deh…” ungkap Rendy.
“Apanya?!”
“Kakak itu cewek kan?”
“Lalu kenapa? Bukannya sudah jelas kan?!” jawabku kesal.
“Kalau begitu, kakak punya memek juga doong…” balas Rendy dengan nada mengejek.
“Rendy penasaran nih… Memek kakak mirip nggak ya, dengan memek cewek-cewek yang sering kulihat di film-film porno?” sambungnya dengan santai.
Oh, astaga! Bagai tersambar petir, aku benar-benar marah mendengar ucapan Rendy itu. Moral anak ini benar-benar sudah hancur sama sekali!! Bagaimana bisa dia menanyakan hal seperti itu didepan seorang gadis dengan santainya? Anak ini benar-benar sudah kelewat batas!
PLAAK… Tanpa sadar kutampar pipi kiri Rendy hingga anak itu terjatuh ke lantai. Rendy pun merintih kesakitan.
“Aduh, sakiit…” rintihnya pelan.
Ya ampun! Apa yang telah kulakukan? Sesaat aku sontak tersadar, namun sudah terlambat. Tamparanku sudah keburu mendarat di pipi Rendy. Melihat Rendy yang terjatuh, aku pun merasa semakin panik. Segera kuhampiri Rendy yang masih merintih di lantai.
“Rendy, Rendy! Kamu nggak apa-apa kan?! Maaf ya, kakak tak sengaja. Maaf…” tanyaku cemas.
Aku berusaha menggenggam tangan Rendy, namun ia segera menepis tanganku.
“Pergi sana! Rendy akan laporkan kakak ke Mami!! Biar nanti kakak dituntut ke polisi!!” teriaknya.
“Rendy… Kakak minta maaf ya? Kakak benar-benar tak sengaja…” aku benar-benar panik mendengar ancaman Rendy, yang sangat mungkin menjadi kenyataan mengingat keluarganya yang cukup terpandang.
“Nggak mau! Pergi sana!! Tunggu saja sampai Mami pulang, Kakak pasti kulaporkan!” ancam Rendy sekali lagi. Rendy segera beranjak, hendak keluar dari kamarnya.
Aku benar-benar putus asa dan kebingungan. Masalah yang datang menghampiriku silih berganti. Bagaimana ini? Sebelumnya, ancaman pemecatanku sudah diambang mata dan sekarang malah aku terancam dituntut oleh keluarga kaya ini. Pikiranku pun mulai buntu dan tanpa pikir panjang lagi, kutarik tangan Rendy untuk mencegahnya keluar kamar.
“Tunggu Rendy!! Kakak akan menuruti permintaan Rendy! Apapun! Tapi tolong jangan laporkan kakak ke bu Diana!” bujukku pada Rendy.
Langkah kaki Rendy terhenti sebentar. Rendy lalu melirik melihatku.
“Benar nih? Kakak nggak bohong kan?” tanyanya tidak percaya.
“Iya, iya! Kakak janji! Tapi cuma sekali ini saja ya!” jawabku putus asa.
“Oke deh kalau begitu. Rendy mau lihat memek kakak sekarang.” Perintahnya padaku.
“Tapi cuma lihat saja ya! Jangan macam-macam!”
“Iya, deeh…” jawab Rendy puas.
Aku lalu berdiri didepan Rendy, perlahan-lahan kunaikkan rok putihku yang selutut dihadapan anak itu. hingga akhirnya rokku mencapai pinggul, menampakkan pahaku dan celana dalam pink berendaku dengan jelas. Rendy tampak takjub saat melihat celana dalamku yang masih menutupi selangkanganku.
“Tunggu Kak! Jangan bergerak dulu!” perintah Rendy mendadak. Aku pun tak punya pilihan lain selain memamerkan celana dalamku dihadapan Rendy.
Perasaanku campur aduk saat melihat mata Rendy yang tampak berbinar-binar takjub melihat celana dalamku. Aku pun bisa mendengarnya menelan ludah. Pasti ini pengalaman pertamanya melihat celana dalam seorang gadis yang asli. Kurasa selama ini dia hanya melihat celana dalam wanita lewat film pornonya saja.
Ia tampak gugup sekaligus senang melihat celana dalamku. Sementara jantungku berdegup kencang sekali saat mengingat seorang anak kecil sedang mengamati celana dalamku dengan seksama. Wajahku sekarang pasti sudah lebih merah dari buah tomat yang matang karena malu.
Rendy menoleh sejenak ke belakang sambil menghela nafas. Kurasa ia juga amat gugup karena dari tadi mengamati celana dalamku tepat didepan wajahnya. Tapi, ia segera kembali menoleh melihat celana dalamku dan kali ini kulihat sorot matanya yang secara khusus mengamati bayangan vaginaku dibalik celana dalamku. Sorot matanya yang mengamati dengan seksama memberiku sensasi yang aneh. Belum pernah kulihat sorot matanya seserius itu.
Semakin lama, kepalanya semakin maju hingga memasuki rokku dan tampaknya ia benar-benar menikmati saat mengamati celana dalamku. Aku dapat merasakan dengan sangat jelas detak jantungku yang berdegup semakin kencang. Aku merasa bingung mengapa jantungku bisa berdetak sekencang itu hanya karena Rendy sedang mengamati celana dalamku? Aduuh… andai saja aku tidak menamparnya tadi, sesalku dalam hati.
“Rendy, sudah ya… Kakak sudah capek nih…” bujukku pada Rendy.
“Belum kak. Kakak masih belum menepati janji kakak!” protesnya padaku.
“Apa lagi, sih, Rendy?!”
“Aku mau melihat memek kakak! Bukannya tadi kakak berjanji untuk menuruti keinginanku? Ayo, buka celana dalamnya dong kak!” pintanya padaku.
“Tapi… tapi…” aku berusaha mencari alasan untuk menolak permintaan Rendy, namun pikiranku buntu sama sekali. Memang benar tadi Rendy sempat berkata bahwa ia ingin melihat kewanitaanku. Tapi bagaimanapun, aku merasa amat keberatan kalau seorang anak kecil melihat vaginaku yang selalu kujaga baik-baik untuk suamiku di masa depan.
“Ayo, kak! Kalau tidak aku akan melaporkan kakak ke Mami lho!!” ancamnya sekali lagi. Aku sadar, aku tidak mungkin meloloskan diri dari permintaan Rendy.
“Iya deh! Tapi cuma sebentar saja ya!” gerutuku. Saat mendengar kata ‘melapor ke Mami’, aku sudah kalah telak tanpa bisa membantah atau menolak permintaan anak ini.
“Oke deh!!” serunya dengan riang setelah mendapat izin dariku. Tanpa menunggu lama, ia segera melorotkan kedua sisi celana dalamku dan menurunkan celana dalamku hingga celana dalamku tergulung di pahaku. Sekarang, tanpa pelindung apapun, kewanitaanku terpampang jelas dihadapan Rendy yang kini mengalihkan perhatiannya ke vaginaku.
Pikiran dalam hatiku berkecamuk. Apa yang sebenarnya kulakukan? Bukankah bu Diana membayarku untuk mengajar les privat anaknya? Namun kenyataannya sekarang, celana dalamku sudah ditarik turun oleh muridku sendiri yang kini sedang sibuk mengamati kewanitaanku. Kalau bu Diana mengetahui hal ini, aku tidak tahu apa yang akan dilakukannya padaku. Paling tidak aku agak beruntung karena bu Diana tidak berada di rumah saat ini, jadi aku tidak perlu khawatir akan kepergok olehnya.
“Waah, beda sekali dengan memek cewek-cewek di film porno. Memek kakak bersih ya! Nggak ada rambut-rambutnya!” puji Rendy padaku.
Tentu saja! Aku paling menjaga dan merawat daerah kewanitaanku sebaik mungkin. Aku selalu teratur membersihkan vaginaku dan mencukur rambut kemaluanku. Mana mungkin vaginaku disamakan dengan vagina para perempuan di video porno yang pasti tidak dirawat dengan teratur! Pikirku kesal.
“Hei, Rendy. Sudah cukup ya?” pintaku pada Rendy.
“Sebentar lagi, ya. Kak!”
Ampuun! Aku benar-benar terjebak! Memamerkan kewanitaanku didepan anak SMP sudah lebih dari cukup untuk membuatku malu seumur hidup! Aku tak berani membayangkan kalau ada orang yang melihat hal ini. Badanku terasa panas dan keringatku mulai mengucur deras hanya karena kewanitaanku diamati oleh Rendy. Apalagi mengingat kalau aku seharusnya mengajarinya dalam pelajaran, bukan malah memberinya tontonan yang tidak pantas seperti ini.
“Waah… kok memek kakak makin lama makin basah sih?!” tanya Rendy tiba-tiba.
“Ah… Eh?!” mendadak aku tersadar dari lamunanku, saat itulah aku baru menyadari kalau jari telunjuk Rendy sudah menyentuh bibir vaginaku. Ujung jari Rendy sudah mulai masuk sedikit kedalam liang vaginaku dan mulai menggosok-gosok bibir vaginaku yang sudah basah karena luapan cairan cintaku tanpa sadar.
“AAH!!! Hei!! Hentikan, Rendy!!!” aku benar-benar panik melihat jari Rendy di vaginaku itu. Aku takut kalau keperawananku malah terenggut oleh jari-jari Rendy. Namun Rendy tidak berhenti.
“Rendy! Sudah cukup, hei!! Bukannya kamu berjanji hanya melihat saja?!” protesku pada Rendy.
“Aargh! Berisik! Diam saja! Kalau tidak, kutusukkan jariku kedalam memek kakak dalam-dalam, mengerti?!” bentak Rendy padaku.
Aku benar-benar takut. Rendy memang memegang kendali saat ini, apalagi dengan jarinya yang masih sibuk memainkan bibir vaginaku, mudah saja baginya untuk memperawaniku dengan jarinya. Aku berpikir daripada aku diperawani jari-jari Rendy, mungkin lebih baik kalau aku menuruti kemauannya. Aku kembali menangis terisak, namun Rendy tidak menghiraukan tangisanku, ia malah menggosok-gosokkan jarinya di sela vaginaku dengan pelan. Saat itulah aku tersentak sesaat merasakan kenikmatan gosokan jari Rendy di vaginaku. Jujur saja, ini merupakan pengalaman pertama bagiku merasakan kenikmatan seperti itu karena aku tidak pernah beronani sebelumnya. Aku pun merasa tenagaku untuk berontak lenyap seketika.
“Ah… ohh… aakh…” tanpa sadar, aku mendesah nikmat karena gosokan jari Rendy.
“Ada apa, Kak?!” tanya Rendy padaku.
“Aahh… hentikan… Rendy… jangan… auuch…” Suaraku sudah mulai bercampur dengan lenguhanku.
“Lho, kok kakak mau berhenti? Bukannya rasanya enak Kak?” balasnya setengah mengejek.
“Eegh… itu… itu…” tanpa sadar, aku pun melepaskan rokku yang dari tadi kupegang, tapi Rendy segera menyibakkan rokku kembali. Rendy terus mengamati wajahku untuk melihat reaksiku, aku berusaha tidak menatap wajahnya, walaupun sesekali dapat kulihat ia tersenyum dengan reaksiku.
Badanku terasa limbung ke belakang, tempat meja belajar Rendy berada. Aku pun menyandarkan diri di meja belajar itu dan kedua tanganku memegang bibir meja itu agar aku tidak jatuh. Rendy sekarang memegangi rokku dan menekannya di perutku, sehingga rokku tersibak dan vaginaku terpampang semakin jelas.
“Nah, kita mulai sekarang ya, Kak?” ujarnya padaku dan ia mulai mempercepat gosokannya di bibir dan celah-celah vaginaku. Aku pun tidak lagi menolak. Lagipula, aku tidak ingin Rendy menghentikan aktivitasnya saat ini, aku sudah terlanjur dikuasai kenikmatan yang melanda tubuhku
“Ouchhh… aahh… aahhh…” desahku menahan kenikmatan di vaginaku, akal sehatku sudah lenyap dan aku sepenuhnya dikuasai oleh kenikmatan di kewanitaanku. Entah mengapa, fakta bahwa yang mengocok vaginaku adalah muridku sendiri yang masih SMP malah membuatku semakin bernafsu.
“Aduuh… aw… aw… aww…” rintihan-rintihan kenikmatan keluar dari mulutku setelah 3 menit berlalu sejak bibir kewanitaanku dilayani oleh jari-jari Rendy. Aku pun sudah tidak tahan lagi, aku merasa akan segera mencapai orgasmeku untuk pertama kalinya. Namun, tiba-tiba terdengar suara decitan mobil di halaman rumah. Bu Diana telah pulang! Aku dan Rendy segera menghentikan aktifitas kami, dan aku segera merapikan celana dalam dan rokku kembali. Kami lalu bergegas kembali ke meja belajar untuk melanjutkan les. Walaupun aku merasa agak kecewa karena nyaris saja mencapai orgasme, namun aku tetap melanjutkan mengajari Rendy walaupun suasana hatiku amat galau saat itu.
Akhirnya aku pun selesai mengajar Rendy hari itu. tapi harus kuakui, Rendy tampak lebih bersemangat menyimak penjelasanku sehabis kejadian itu. Hanya saja aku tampak kacau karena banyak hal yang terjadi hari itu. Tapi bagaimanapun aku juga masih bersyukur karena selaput daraku tidak sampai robek akibat ulah Rendy tadi. Sebelum pulang, Rendy sempat meminjam Handphoneku. Alasannya, ia mau mengirimkan lagu-lagu baru untukku, aku pun hanya mengiyakan saja permintaan Rendy itu. Setelah Rendy mengembalikan Handphoneku, aku pun segera pamit kepada bu Diana dan kemudian pulang ke tempat kosku. Aku berharap semua kejadian hari ini hanyalah mimpi buruk semata.
Esok harinya, aku pun terbangun dalam keadaan galau. Semalaman aku mencoba tidur, namun di kepalaku selalu terbayang kejadian kemarin sore di rumah bu Diana. Akibatnya, bisa ditebak, aku benar-benar merasa amat letih dan lesu.
Aku pun mencoba menyetel lagu yang kemarin diberikan Rendy padaku untuk mempercerah suasana. Aku lalu membuka handphoneku untuk mendengarkan lagu. Tapi aku tidak menemukan satupun file musik baru di handphoneku, malahan, lagu-lagu koleksiku banyak yang terhapus. Penasaran, aku pun memeriksa isi handphoneku. Sekarang, di bagian video, malah ada sebuah video yang berukuran ekstra besar. Penasaran dengan video di handphoneku, aku pun mulai memutar video itu.
Astaga! Aku benar-benar terkejut setengah mati saat melihat diriku yang sedang memamerkan celana dalam di hadapan Rendy terekam di video itu dan bagaimana Rendy memainkan jari-jarinya di vaginaku juga terlihat dengan amat jelas dari arah samping. Saat itulah aku baru ingat bahwa saat aku memamerkan selangkanganku, sebuah handycam milik Rendy tergeletak di ranjangnya yang ada disamping meja belajarnya. Berarti, Rendy secara diam-diam berhasil merekam adegan mesumku!
Tidak terbayang bagaimana perasaanku saat itu. Rasa letih dan lesu yang menyerangku dari pagi kini ditambah dengan perasaan cemas dan takut kalau video itu disebarluaskan, apalagi wajahku tampak jelas di video itu. Aku bingung, apa yang harus kulakukan? Bagaimana apabila video itu sudah disebarluaskan? Aku pasti diberhentikan dari universitas. Parahnya lagi, aku pasti akan dianggap sebagai perempuan rendahan oleh masyarakat. Bagaimana caraku menjelaskan pada keluargaku tentang video itu?
Bayangan-bayangan itu terus berkecamuk didalam pikiranku selama seharian penuh. Walaupun begitu, sore harinya aku kembali berangkat menuju rumah bu Diana untuk mengajari Rendy.
Saat aku datang, bu Diana masih belum pulang karena harus menyelesaikan proyek di studionya. Aku pun segera menemui Rendy untuk menyelesaikan masalah ini. Kebetulan, Rendy yang membukakan pintu untukku. Seolah ia sudah lama menunggu kedatanganku.
“Halo, Kak Erina. Bagaimana, video klip lagunya bagus tidak?” tanyanya dengan nada mengejek.
“Rendy, kenapa kamu sejahat itu dengan kakak?! Buat apa kamu merekam video beginian sih?! Belum cukup kamu mempermainkan kakak kemarin?!!” jawabku dengan perasaan kesal bercampur cemas.
“Waah, kenapa Rendy dibilang mempermainkan kakak? Bukannya kemarin kakak terlihat nyaman saat aku layani?” Mata Rendy tampak semakin merendahkanku.
“Sudahlah! Mana videonya? Cepat berikan ke kakak!!” perintahku.
“Tenang saja kak, videonya Rendy simpan dengan baik kok. Jadi kakak tenang saja!”
Aku mengepalkan tanganku, menahan berbagai macam emosi yang bergejolak didalam hatiku. Nyaris aku kembali menangis karena rasa cemas yang semakin kuat mencengkeram diriku, namun aku berusaha mengendalikan diri. Aku sadar aku tidak bisa mengambil jalan kekerasan untuk menghadapi Rendy, karena malah akan membuat masalahku tambah runyam.
“Oh iya, Rendy juga belum memperlihatkan videonya ke orang lain. Waah, sayang sekali ya kak? Padahal videonya bagus kan?” lanjutnya.
Mendengar pernyataan Rendy itu, aku merasa melihat secercah cahaya dan harapanku sedikit pulih. Namun masih saja aku merasa tegang dan cemas. Aku pun berusaha membujuk Rendy untuk menyerahkan video itu padaku.
“Rendy, kakak mohon… berikan video itu ke kakak, ya? Tolong jangan sakiti kakak lagi…” aku memohon meminta belas kasihan pada Rendy.
“Hmm… kalau begitu, kakak harus mau menuruti perintahku lagi, aku berjanji akan memberikan videonya ke kakak.”
“Kakak mohon, Rendy… Jangan lagi…” air mataku kembali mengucur saat mendengar syarat yang diajukan Rendy. Berarti aku harus kembali merendahkan diriku dihadapannya.
“Kakak mau atau tidak?! Kalau tidak, ya sudah! Kakak bisa melihat videonya di internet besok pagi.” Ketusnya tanpa menghiraukan perasaanku.
Aku pun tidak punya pilihan lain, selain menuruti kemauan Rendy. Tampaknya percuma saja aku berusaha meminta belas kasihan anak ini. Yang ada di pikirannya saat ini pasti hanyalah keinginan untuk mempermainkan diriku sekali lagi. Terpaksa aku harus melayani permintaannya lagi agar video itu kudapatkan.
“Baiklah, kakak mengerti… Kakak akan menuruti perintahmu, tapi kamu harus berjanji akan memberikan video itu ke kakak!” jawabku memberi persetujuan.
“Beres, Kak!” Kali ini Rendy tampak girang sekali saat mendengar kalimat persetujuanku itu.
“Nah, sekarang apa yang kamu mau?!” Tanyaku tidak sabaran
“Tunggu sebentar dong Kak… Jangan buru-buru! Kalau sekarang pasti cuma sebentar karena Mami sebentar lagi pulang.”
“Lalu, kamu maunya kapan?”
“Nah, kebetulan 2 hari lagi Mami akan berangkat ke luar negeri, soalnya Mami akan memperagakan busana pengantin buatannya di pameran.”
“Lalu kenapa?”
“Kebetulan minggu depan ada ulangan yang penting, jadi aku boleh tinggal di rumah ini sampai mami pulang. Selama itu, aku mau kakak untuk tinggal bersamaku di rumah, sambil mengajariku! Bagaimana? Kita bisa bersenang-senang sampai puas kan, Kak?”
“Memangnya sampai kapan bu Diana ada di luar negeri?” tanyaku kembali.
“Yaah, karena Mami juga mau ketemu Papi di Jerman, makanya Mami tinggal di sana selama 2 minggu.”
“Tapi apa bu Diana akan mengizinkan kakak untuk tinggal disini?”
“Tenang saja, kak! Biar nanti Rendy yang bicara dengan Mami.” Ujarnya meyakinkanku.
Aku menghela nafas sejenak sambil berpikir menimbang-nimbang permintaan Rendy. Sebenarnya aku tidak begitu rugi apabila aku menginap di rumah bu Diana. Aku bisa menghemat uang kosku selama setengah bulan kalau aku menginap di rumah bu Diana. Lagipula aku akan lebih bisa mengawasi Rendy untuk belajar menghadapi ujian semesternya yang kian mendekat, dengan begitu, aku bisa mendapat kesempatan untuk mengamankan pekerjaanku. Sebenarnya yang perlu kulakukan hanyalah memastikan kalau Rendy tidak “mengerjaiku” lebih parah dari kemarin.
“Baiklah, kakak setuju. Tapi kamu juga harus berjanji, kamu harus belajar yang rajin selama kakak tinggal di rumahmu.” Anggukku sambil memberinya penawaran.
“Berees, kak! Asal kakak mau menurutiku selama itu, aku pasti belajar!” jawabnya dengan bersemangat.
“Iya, iya…” balasku dengan perasaan agak lega.
Kami lalu segera beranjak ke kamar Rendy dan aku pun mulai mengajarinya. Tapi hari ini ada yang berbeda dari Rendy. Ia tampak lebih serius dan bersemangat dalam menyimak penjelasanku. Kurasa dia sudah cukup senang saat mendengar aku akan menginap di rumahnya 2 hari lagi. Tak lama kemudian, kudengar suara bu Diana di lantai bawah.
“Nah, Mami sudah pulang! Kakak tunggu sebentar ya! Aku mau bicara dulu dengan Mami!” Rendy segera beranjak dari kursinya dan keluar dari kamarnya tanpa menghiraukanku. Sayup-sayup kudengar suara percakapan Rendy dengan bu Diana, namun aku tidak dapat mendengar dengan jelas apa yang mereka katakan. Sambil menunggu Rendy, aku mempersiapkan soal-soal latihan yang akan kuberikan untuknya nanti.
Sekitar 5 menit kemudian, Rendy kembali ke kamarnya bersama bu Diana.
“Halo, Erina. Rendy meminta saya untuk mengizinkanmu tinggal di rumah ini selama saya tidak dirumah.”
“Eh? I… iya, bu Diana! Rendy memberitahu saya kalau ia ingin mendapat les tambahan dari saya selama bu Diana tidak dirumah… Katanya… untuk persiapan ujian semester…” ujarku dengan agak gugup.
“Wah, kebetulan sekali kalau begitu! Soalnya tante Rendy juga akan ikut ke Jerman. Makanya tadi saya sempat mengajak Rendy untuk ikut. Tapi karena ada ulangannya yang penting, Saya jadi ragu-ragu.”
“Jadi?” tanyaku
“Kalau kamu mau, Saya memperbolehkan kamu tinggal disini selama saya tidak dirumah. Tapi saya juga meminta kamu untuk mengurus Rendy selama itu. Sebagai gantinya, saya akan berikan tambahan bonus untukmu di akhir bulan ini. Bagaimana?” Jawab bu Diana memberikan tawaran.
“Baik, bu Diana. Saya setuju!” anggukku sambil tersenyum. Sekarang aku mendapat tambahan keuntungan dengan menerima tawaran Rendy. Dengan bonus yang disediakan bu Diana dan penghematan uang kosku selama setengah bulan, aku bisa menambah uang tabunganku sekaligus membiayai sebagian keperluanku bulan depan.
“Baguslah! Kalau begitu, Erina, tolong kamu siapkan barang-barangmu yang akan kamu bawa untuk tinggal disini. Lusa nanti saya akan menjemputmu sebelum kamu mengajar Rendy.” Ujar bu Diana.
“Iya, bu Diana!” aku mengiyakan permintaan bu Diana.
Setelah menyelesaikan tugasku hari itu, aku segera bergegas pulang untuk mulai mengemas barang-barangku. Untunglah aku tidak memiliki banyak barang selain pakaian dan perlengkapan-perlengkapan kecil milikku. Aku juga memberitahu pemilik rumah kosku bahwa aku akan pindah selama setengah bulan. Syukurlah mereka mau mengerti dan bersedia menyimpankan kamar bagiku apabila aku kembali.
2 hari kemudian, bu Diana dan Rendy pun datang menjemputku sebelum aku mengajar Rendy. Aku lalu diantar ke rumah mereka. Aku diizinkan untuk tidur di kamar tamu di lantai bawah. Malam harinya, aku diberitahu bu Diana tugas-tugasku di rumah itu selama bu Diana di luar negeri. Aku diminta untuk mengerjakan beberapa pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci dan membersihkan rumah. Aku sudah terbiasa memasak dan mencuci sendiri sejak kecil, maka tugas ini tidak lagi sesulit yang kubayangkan. Lagipula untuk keperluan sehari-hari, bu Diana sudah menyuruh anak buahnya untuk mengantar bahan makanan dan supir studio untuk mengantar-jemput kami. Apabila ada hal lainnya yang diperlukan, aku hanya perlu menelepon studio untuk meminta bantuan mereka.
Esok harinya, bu Diana sudah berangkat saat aku pulang dari kuliah. Sehingga hanya ada aku dan Rendy sendiri di rumah. Aku segera menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhku. Seusai mandi, aku benar-benar terkejut saat melihat semua pakaian milikku menghilang. Hanya ada satu pelaku yang dapat melakukan hal ini! Aku lalu menutupi tubuhku dengan selembar handuk yang untungnya, tidak sempat diambil oleh “pencuri” itu. Aku segera naik ke lantai atas untuk mengambil kembali pakaian milikku.
“Rendy! Reendyy!! Buka pintunya!” Seruku sambil menggedor kamar Rendy. Pintu kamar itu sedikit dibuka dan wajah Rendy muncul dari sela-sela pintu kamar itu.
“Ya, ada apa kak?!” tanyanya padaku. Namun matanya segera melirik tubuhku yang hanya berbalutkan sebuah handuk dan ia tersenyum cengengesan melihat keadaanku.
“Wah, waah… Kakak sudah tidak sabaran ya?” tanyanya sambil tertawa kecil.
“Huuh! Dasar usiil!! Ayo, kembalikan baju kakak!!” gerutuku.
“Lhooo… memangnya baju kakak kuambil? Apa ada buktinya?”
“Kalau bukan kamu siapa lagii? Sudah, ayo cepat kembalikan baju kakak!”
“Kak, kalau menuduh orang tanpa bukti itu tidak baik lho! Hukumannya, aku tidak mau memberitahu dimana kusembunyikan baju kakak, Hehehe…” Rendy tersenyum mengejekku dan menutup dan mengunci pintu kamarnya dihadapanku.
“Aah! Hei, Rendy! Tunggu duluu…” protesku, tapi Rendy sudah keburu menutup pintu kamarnya sambil mengejekku dibalik pintu.
Aku pun terpaksa menggigil kedinginan, suhu di rumah itu dingin sekali karena dipasangi AC, ditambah lagi aku baru saja mandi dan sekarang tubuhku hanya ditutupi oleh selembar handuk saja. Selama beberapa menit aku terus menggedor pintu kamar Rendy dan berusaha membujuknya, namun ia sama sekali tidak menggubrisku.
“HATSYII…!!!” Karena tidak biasa, aku pun bersin akibat pilek karena suhu dingin itu.
“Kak! Kakak pilek, ya?” tiba-tiba terdengar suara Rendy dari balik pintu.
“I… iya… Rendy, tolong…. kembalikan pakaian kakak… disini dingin sekali… kakak tidak tahan…”
“Oke deh, tapi kakak harus mau memakai pakaian yang kuberikan ya!”
“Iya… iya… cepat doong…. Kakak kedinginan disini…” pintaku pada Rendy
Rendy kembali keluar dari kamarnya. Ia melihat sekujur tubuhku yang menggigil kedinginan. Anehnya, raut wajahnya tampak berubah, ia tidak lagi tampak senang ataupun puas mengerjaiku. Kini ia tampak agak gelisah.
“Haa… HATSYII!!!” kembali aku bersin dihadapannya. Kulihat raut wajahnya semakin cemas saja melihat keadaanku.
“Ayo Kak, ikut denganku!” pinta Rendy padaku yang segera kuturuti saja.
Rendy menuntunku ke ruang disebelah kamarnya. Pintu ruang itu dikunci, namun Rendy segera membuka pintu itu dengan sebuah kunci di tangannya. Begitu aku masuk, aku takjub melihat puluhan helai gaun pengantin putih dalam berbagai ukuran dan model yang tergantung rapi di kamar itu. Berbagai aksesoris pengantin wanita juga tertata rapi bersama gaun-gaun itu. Rupanya kamar itu adalah kamar desain bu Diana sekaligus tempatnya menyimpan hasil rancangannya yang belum dikirim ke studio.
“Kak, aku minta kakak memakai baju itu.” ujar Rendy seraya menunjuk ke arah sehelai gaun pengantin putih yang dipasang di sebuah mannequin.
“Apaa?! Kenapa kakak harus memakai baju seperti itu? Memangnya kakak mau menikah, apa?!” jawabku setengah tak percaya, setengah kebingungan.
“Ya, sudah! Kalau kakak tidak mau, kakak boleh memakai handuk itu saja kok!” balas Rendy.
“Iyaa! Dasar!! Kamu mintanya yang aneh-aneh saja!!” ujarku agak kesal. Terpaksa kuturuti permintaan Rendy, daripada pilekku semakin parah.
“Oh iya Kak!”
“Apa lagii?”
“Pakaiannya yang lengkap ya, Kak! Soalnya baju itu sudah 1 set dengan aksesorisnya!” pinta Rendy.
“Jangan lupa juga untuk merias diri dengan kosmetik Mami ya Kak! Sudah kusiapkan lhoo…” imbuhnya.
Aku menghela nafas dan menutup pintu kamar itu. Memang kulihat gaun itu dilengkapi dengan mahkota, sarung tangan, bahkan stocking dan sepatu yang semuanya berwarna putih susu. Luar biasa! Sejenak aku kagum dengan kepandaian bu Diana dalam merancang gaun itu, komposisi yang disusunnya benar-benar serasi. Aku lalu menuruti perintah Rendy untuk memakai semua pakaian itu dengan lengkap. Berat bagiku memang, karena aku belum pernah memakai gaun pengantin sebelumnya. Setelahnya, aku pun merias diriku dengan kosmetik milik bu Diana. Kulihat semua kosmetik itu buatan luar negeri. Aku sendiri agak canggung untuk memakai kosmetik-kosmetik itu, mengingat harganya yang selangit bagi mahasiswi sepertiku. Tapi setidaknya, aku mendapat sebuah kesempatan untuk mencoba kosmetik-kosmetik itu, maka aku berusaha untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.
Setelah beberapa lama, aku akhirnya selesai mempengantinkan diriku. Kubuka pintu kamar itu dan seperti yang sudah kuduga, Rendy sedari tadi sudah menungguku didepan pintu. Ia tampak amat terpana melihatku yang berbusana pengantin itu.
Busana pengantinku berupa sebuah gaun pengantin putih yang indah sekali. Atasan gaun memiliki sepasang puff bahu yang terikat dengan sepasang sarung tangan satin dengan panjang selengan di kedua tanganku yang kini menutupi jari-jariku yang lentik. Di bagian perut dan dada gaunku bertaburan kristal-kristal imitasi yang samar-samar membentuk sebuah pola hati. Bagian pinggang gaun itu memiliki hiasan kembang-kembang sutra yang melingkari bagian pinggang gaun itu seperti sebuah ikat pinggang yang seolah menghubungkan atasan gaunku dengan rok gaun polos yang dihiasi manik-manik membentuk hiasan bunga-bunga yang bertebaran disekeliling rok gaunku. Pinggulku dipasangi pita putih besar. Aku juga memakaikan rok petticoat di pinggangku agar rok gaunku tampak mengembang. Rendy sendiri tampak kagum melihat cantiknya wajahku yang sudah kurias sendiri; kelopak mataku kurias dengan eye-shadow berwarna pink dan alsiku yang kurapikan dengan eye-pencil. Sementara lipstick yang berwarna pink lembut kupilih untuk melapisi bibirku yang tampak serasi dengan riasan bedak make-upku.
Riasan mahkota bunga putih tampak serasi dengan rambut hitam-sebahuku yang kubiarkan tergerai bebas. Aku telah memasang stocking sutra berwarna putih yang lembut di kakiku yang dilengkapi dengan sepasang sepatu hak tinggi berwarna putih yang tampak serasi seperti gaun pengantinku. Tubuhku juga kuberi parfum melati milik bu Diana sehingga sekujur tubuhku memancarkan aroma melati yang amat wangi.
“Nah, bagaimana?” ujarku pada Rendy yang masih melongo melihat penampilanku.
“Hei! Kok malah bengong sih?!” seruku, yang segera menyadarkan Rendy dari lamunannya.
“E… eh… ccantik sekali Kak!” jawab Rendy tergagap-gagap, aku tertawa kecil melihat tingkahnya yang kebingungan.
“Kak, ini… buat kakak…” Rendy mengulurkan setangkai mawar merah kepadaku. Mawar merah yang indah itu tampak segar berkilauan.
“Waah, terima kasih ya!!” otomatis aku mencium bunga itu untuk menghirup aromanya. Sejenak aroma yang menyengat memasuki hidungku aku pun langsung merasa pandanganku tiba-tiba kabur dan tubuhku terasa lemas. Aku pun ambruk tidak sadarkan diri. Sayup-sayup kulihat senyuman Rendy, aku berusaha untuk tetap sadarkan diri, namun mataku terasa berat sekali dan akhirnya aku menutup kelopak mataku.
Entah apa yang terjadi pada tubuhku, namun saat aku sadar, aku melihat diriku sudah terbaring mengangkang di sebuah ranjang canopy dalam keadaan berbusana pengantin lengkap. Kedua tanganku terikat di belakang punggungku sementara kakiku terikat erat di sisi kanan-kiri tiang ranjang itu sehingga posisi tubuhku mengangkang lebar. Aku merasa amat geli di daerah kewanitaanku, seperti ada sebuah daging lunak hangat yang menyapu-nyapu daerah kewanitaanku, terkadang daging itu menusuk-nusuk seolah hendak membuka bibir kewanitaanku melewati celah vaginaku. Aku juga merasa daerah disekitar vaginaku amat becek akibat gerakan daging itu.
“Aahh… oohhh…” Aku pun mendesah pelan menikmati sensasi di kewanitaanku itu. Rasanya vaginaku seolah diceboki, namun gerakan daging itu yang seolah berputar-putar mempermainkan vaginaku menimbulkan sensasi nikmat disekujur tubuhku. Aku merasa tubuhku diairi listrik tegangan rendah saat daging itu membelah bibir kewanitaanku dan menyentuh lubang pipisku.
“Eh! Kakak sudah bangun rupanya!!” tiba-tiba kudengar suara Rendy dibalik gaunku. Aku berusaha mendongak dan kulihat wajah Rendy sedang berada tepat didepan selangkanganku yang terbuka lebar. Sadarlah aku kalau “daging” tadi tak lain adalah lidah Rendy yang sedang menjilati vaginaku. Aku berusaha berontak, namun untuk menutup kedua pahaku yang sedang terbuka lebar saja amat sulit. Tubuhku terasa amat lemas tanpa tenaga. Saat aku melihat sekitarku, aku baru sadar kalau aku kini berada didalam kamar bu Diana.
“Badan kakak masih belum bisa digerakkan, soalnya pengaruh obat tidur Mami masih tersisa.” Jelas Rendy sambil berjalan ke sampingku. Sekejap aku merasa amat panik dan berusaha mengerahkan seluruh tenagaku untuk kabur, tapi sia-sia saja. Tubuhku tidak mau bergerak sedikitpun. Astaga! Bagaimana aku bisa sebodoh itu mencium aroma bunga yang ditaburi obat bius?! Niatku untuk menjaga jarak dari Rendy kini sia-sia saja. Sekarang malah kesucianku terpampang jelas dihadapannya, aku dalam keadaan terjepit dan tidak bisa kabur lagi.
“Kakak tenang saja, dijamin enak kok! Hehehe…” tawa Rendy terkekeh-kekeh.
“Jangan, Rendy… Jangan… kakak mohon!!” pintaku berderai air mata saat melihat Rendy berbalik berjalan menuju arah selangkanganku. Namun sia-sia saja, Rendy sama sekali tidak mau mendengar permohonanku. Aku pun semakin panik dan cemas. Air mataku kembali meleleh membasahi mataku, namun apa dayaku? Tubuhku kini amat sulit digerakkan karena ikatan itu ditambah rasa lemas disekujur tubuhku karena pengaruh obat bius yang tersisa. Kini aku hanya bisa pasrah membiarkan Rendy menyantap kewanitaanku. Jantungku berdegup semakin kencang dan wajahku merah merona saat Rendy semakin mendekati selangkanganku. Rendy lalu memegang kedua pahaku yang mulus. Ia mulai mengendusi paha kananku sementara paha kiriku dibelai-belai dengan tangannya.
“Essh…” aku mendesis sesaat setelah bibir Rendy mencium bibir kemaluanku. Hembusan nafas Rendy di pahaku membuat tubuhku sedikit mengigil kegelian. Saat bibir kemaluanku bertemu dengan bibir Rendy, Rendy mulai menjulurkan lidahnya. Seperti lidah ular yang menari-nari, bibir kemaluanku dijilati olehnya. Kembali bibir kewanitaanku dibelah oleh lidah Rendy, yang kembali menarikan lidahnya menceboki liang vaginaku perlahan-lahan. Aku berusaha sekuat mungkin untuk menahan gejolak birahi yang kini mulai melanda diriku, namun tetap saja suara desahan-desahanku yang tertahan sesekali terdengar keluar dari bibirku karena rasa nikmat yang menjuluri tubuhku apalagi belaian lembut Rendy di pahaku semakin terasa geli akibat stocking sutra yang kupakai.
“Haaa?! Aakh…!!” Sontak aku menjerit terkejut saat merasakan sensasi rasa geli dan nikmat yang tiba-tiba melanda tubuhku. Rupanya Rendy menjilati klitorisku. Sesekali ia menyentil klitorisku dengan lembut sehingga sekujur tubuhku seperti dialiri listrik dan bulu kudukku berdiri. Rendy menyadari bahwa aku mulai dikuasai oleh gejolak birahiku. Ia terus melancarkan serangannya ke klitorisku. Berulang kali permohonanku yang disertai dengan desahan kusampaikan ke Rendy, namun ia malah tampak kian bersemangat mengerjaiku. Kesadaranku pun semakin menghilang tergantikan dengan rasa nikmat dan hasrat seksual yang semakin merasuki tubuhku.
“Bagaimana kak? Enak tidak?” tanya Rendy padaku.
“Rendyy… stoop… auhhh… jangaan…”
“Ah masaa? Bukannya kakak mendesah keenakan tuh? Yakin nih, nggak mau lagi?” ejeknya sambil menjauhkan wajahnya dari kemaluanku. Namun secara refleks, aku malah mengangkat pinggangku kehadapan wajah Rendy, seolah menawarkannya untuk kembali mencicipi liang vaginaku.
“Tuh, kan?! Malu-malu mau, nih cewek!” kembali Rendy menghinaku. Dipeganginya kedua bongkahan pantatku dengan telapak tangannya dan dtegadahkannya tangannya, sehingga kini pinggangku ikut terangkat tepat dihadapan wajah Rendy.
“Aww… aww… aaahh…” kembali aku merintih saat Rendy mengecup dan mengisap-isap daging klitorisku. Sesekali aku merasa sentuhan giginya pada klitorisku dan hisapannya membuatku kini hanya berusaha untuk mengejar kenikmatan seksualku semata.
SLURP… SLURP… Sesekali terdengar suara Rendy yang menyeruput cairan cintaku yang sudah banyak keluar dari vaginaku, seolah hendak melepas dahaganya dengan cairan cintaku.
“AAHH… AAHHH… AAA…” Desahanku semakin keras. Aku merasa ada sebuah tekanan luar biasa di vaginaku yang sebentar lagi hendak meledak dari dalam tubuhku. Otot-otot tubuhku secara otomatis mulai menegang sendirinya.
“HYAA… AAAKH!!!” jeritku bersamaan dengan meledaknya tekanan dalam tubuhku. Tanpa bisa kutahan, pinggangku menggelepar liar, bahkan Rendy terlontar mundur akibat dorongan tubuhku. Aku bisa merasakan vaginaku memuncratkan cairan cintaku dalam jumlah yang banyak. Seluruh simpul sarafku terasa tegang dan kaku saat sensasi geli dan nikmat yang luar biasa itu menjalari tubuhku, dan akhirnya muncul perasaan lega yang nyaman setelahnya. Aku pun terkapar kelelahan, nafasku tersengal-sengal. Tenaga di tubuhku seolah lenyap seketika. Aku sadar, baru saja aku mengalami orgasme yang luar biasa!
“Wah, waah… Rupanya galak juga nih, kalau orgasme!” ejek Rendy yang kini terduduk dihadapan selagkanganku. Ia mendekati vaginaku dan kembali ia menyeruput cairan cintaku yang masih tersaji di vaginaku setelah ledakan orgasmeku barusan. Aku pun hanya mendesah kecil tanpa memberontak. Kepalaku serasa kosong dan aku membiarkan Rendy menikmati cairan cintaku sesuka hatinya.
Setelah puas meminum cairan cintaku, Rendy berdiri di hadapanku dan melepas pakaiannya sehingga ia telanjang bulat dihadapanku. Bisa kulihat penisnya yang panjangnya sekitar 14 cm sudah menegang keras melihat keadaanku yang mengangkang lebar, memamerkan kewanitaanku didepannya.
Rendy berjalan melewati tubuhku hingga akhirnya ia tiba didepan kepalaku. Rendy lalu berlutut dihadapan wajahku sambil mengocok penisnya.
“Kak, tadi rasa memek kakak enak sekali loh! Nah sekarang giliran kakak ya, ngerasain punya Rendy?” seloroh Rendy. Aku yang menyadari kalau Rendy akan mengoral penisnya dengan mulutku, mulai menjerit meminta pertolongan.
“TOL… uumph!!” jeritanku terhenti karena Rendy langsung menyumpalkan penisnya didalam mulutku. Walaupun ukuran penisnya tidak begitu besar, namun batang penisnya sudah cukup memenuhi rongga mulutku yang mungil.
“Hhmmphh… hmph…” suaraku teredam oleh penis Rendy. Aku berusaha memuntahkan penis itu, namun Rendy memajukan pantatnya sehingga penisnya tetap masuk didalam mulutku hingga menyentuh kerongkonganku.
Rendy menjambak poni rambutku dan mulai menggerakkan kepalaku maju mundur. Rasa sakit di ubun-ubunku karena poni rambutku dijambak sudah cukup untuk membuatku tidak berontak lebih jauh, aku mengikuti gerakan tangan Rendy yang sedang memaksaku mengulum dan mempermainkan penisnya dalam mulutku.
“Aahh… Enaak…” desah Rendy saat penisnya keluar masuk dari mulutku.
“Hmmp… mpp… phh…” aku berusaha mengambil nafas untuk menyesuaikan gerakan penis Rendy dalam mulutku. Kocokan mulutku masih belum berhenti, namun aku merasa agak mual karena rasa dalam mulutku saat ini. Sementara leherku juga pegal karena dipaksa naik-turun oleh Rendy.
Beberapa saat kemudian, Rendy berhenti manjambak poniku, aku pun segera merebahkan kepalaku yang pegal-pegal keatas bantal yang lembut untuk melepas penat. Namun rupanya penderitaanku belum juga berakhir. Rendy belum mau melepaskan kenikmatannya dioral olehku. Belum sempat penisnya keluar dari mulutku, sekarang ia malah menekan selangkangannya ke wajahku dan menggoyang-goyangkan pantatnya sehingga penisnya kembali masuk kedalam rongga mulutku. Aku bisa merasakan buah zakarnya yang tergantung menampar-nampar daguku berulang kali bersamaan dengan gerakan pantatnya yang maju mundur dihadapan wajahku yang kini tertekan oleh bantal, aku pun berulang kali tersedak karena penis Rendy dalam mulutku bergerak dengan amat cepat.
“Oke, kak! Sekarang giliran kakak yang main! Ayo kulum dan mainin pakai lidah kakak!” perintah Rendy sambil menghentikan gerakannya. Aku sendiri sudah mati kutu, kepalaku terjepit diantara selangkangan Rendy dan bantalku, sehingga aku tidak bisa bergerak bebas.
“Ayo, Kak! Atau mau kugerakkan sendiri dimulut kakak seperti barusan?” ancamnya padaku. Aku pun tidak punya pilihan lain selain menuruti perintah Rendy, setidaknya aku akan lebih leluasa bernafas apabila aku yang bergerak sendiri. Aku pun menggerakkan lidahku membelai-belai batang penisnya yang masuk hingga rongga mulutku. Sesekali lidahku juga bersentuhan dengan kepala penisnya. Sebenarnya aku agak jijik juga karena tercium bau agak pesing dari ujung penis Rendy, namun apa dayaku? Lebih baik kuturuti perintah anak ini supaya siksaanku cepat selesai. Aku pun berusaha untuk tidak begitu mempedulikan bau itu. Penis Rendy kuanggap saja seperti permen yang luar biasa tidak enak. Aku pun terus mengemut penis Rendy itu.
“Ayo, kak! Terus! Jago juga nih, nyepongnya! Enak bangeet!”
“Mmphh…” erangku.
“Isapin juga kak! Seperti ngisap permen!” kembali Rendy memberi perintah padaku, yang langsung saja kuturuti. Kuhisap penisnya dengan pelan dan lembut dengan harapan anak ini bisa segera menghentikan aksinya dan aku bisa terbebas dari siksaan ini. Herannya, selama beberapa menit kuoral, Rendy masih saja tidak puas. Aku pun mulai kelelahan mempermainkan penisnya dalam mulutku, walaupun aku mulai terbiasa dengan situasiku sekarang.
Entah setan apa yang merasukiku, namun saat aku mengingat bahwa aku sedang mengoral penis anak kecil yang tak lain adalah muridku, aku merasa hasrat seksualku kembali meninggi dalam tubuhku. Aku ingin sekali mencapai orgasme sekali lagi dan aku ingin mencoba sesuatu yang lebih hebat lagi bersama Rendy. Pikiran itupun membuatku memainkan penis Rendy sebaik mungkin dalam mulutku agar Rendy mencapai kepuasannya.
“Ookh…” Aku mendengar suara erangan panjang keluar dari mulut Rendy dan saat itulah, aku merasa mulutku disembur oleh cairan kental berbau amis. Aku menyadari bahwa Rendy baru saja berejakulasi dalam mulutku, dan kini mulutku dipenuhi spermanya. Rendy kembali menekankan selangkangannya ke wajahku.
“Telan kak! Jangan sampai bersisa!”
Aku pun menuruti perintah Rendy, kutelan semua sperma dalam mulutku, sekaligus kuhisap-hisap penis Rendy agar spermanya tidak bersisa. Rendy hanya mengerang keenakan saat penisnya kubersihkan dengan mulutku.
“Woow… enaak… lebih enak dari onanii….” seloroh Rendy. Namun aku tidak peduli, aku terus menghisap-hisap penisnya itu hingga aku yakin tidak ada lagi sperma yang tersisa. Setelah selesai, Rendy mengeluarkan penisnya dari dalam mulutku.
“Waah… Kakak jago banget lho! Enak sekali kak!”
“Rendy, kamu jahaat…” protesku.
“Lho kenapa? Bukannya kakak sekarang sudah jadi pengantinku?” balasnya.
“You may kiss your briide!!” sorak Rendy tiba-tiba. Tanpa basa-basi, Rendy segera mencium bibirku. Bibirku diemut-emut dengan lembut dan sesekali bibirku juga dijilati oleh lidahnya. Aku hanya membiarkannya mempermainkan bibirku sesuka hatinya. Pelan-pelan lidah Rendy membelah bibirku dan lidahnya menyusup kedalam rongga mulutku. Aku pun merespon dengan menghisap lidah Rendy dengan lembut. Sesekali juga kujulurkan lidahku, sehingga giliran Rendy yang menghisap air ludahku yang menyelimuti lidahku. Gairah seksualku sekarang benar-benar menguasai tubuhku, semakin kuingat bahwa Rendy yang saat ini sedang bercinta denganku, semakin aku tenggelam dalam hasratku. Selama beberapa menit kami terlibat dalam French kiss itu, sebelum akhirnya Rendy menghentikan ciumannya di bibirku. Aku pun tampak kecewa saat Rendy menjauhkan wajahnya.
“Kenapa kak? Enak kan rasanya? Masih mau lagi?” tanyanya.
Pertanyaan Rendy itu seketika memancing gairah seksualku yang meningkat. Aku merasa ini adalah sebuah kesempatan bagiku, namun sebelum aku sempat menjawab, tiba-tiba Rendy mengambil sehelai celana dalam putih berenda yang tadi kupakai dan menjejalkannya ke mulutku hingga celana dalamku memenuhi seluruh rongga mulutku. Belum puas, Rendy juga melakban mulutku sehingga celana dalamku itu tersumpal sempurna didalam mulutku.
“Mmfff….” Protesku pada Rendy. Namun suaraku terhalang oleh celana dalam yang menyumbat mulutku.
“Jangan dijawab dulu, Kak. Nanti ya, Rendy mau istirahat dulu!”
“Oh, Kakak juga boleh istirahat kok! Nah, daripada bosan, bagaimana kalau kakak nonton saja dulu?” lanjut Rendy. Aku bisa mendengar suara televisi yang dinyalakan dan suara pemutar DVD yang dibuka oleh Rendy. Setelah selesai, Rendy lalu mendatangiku yang masih terbaring mengangkang di ranjang.
“Jangan berontak ya, Kak! Kalau macam-macam, video kakak kusebarkan!” ancamnya. Rendy lalu melepaskan ikatan kakiku di kedua tiang ranjang itu. Aku disandarkan ke kepala ranjang dan Rendy menyandarkan sebuah bantal di punggungku dan juga sebuah bantal kecil di pantatku untuk kududuki agar aku merasa nyaman. Tali yang tadi dipakai untuk mengikat kakiku kini digunakan untuk mengikat sikut tanganku yang masih terikat di punggungku pada kedua tiang bagian atas ranjang canopy itu agar aku tidak kabur.
“Oke deh! Rasanya sudah cukup!! Nah, kakak santai saja ya? Nikmati saja filmnya!” Rendy lalu memutar DVD itu.
“Mmff!!” Aku berteriak terkejut saat melihat adegan percintaan seorang wanita berambut pirang di layar televisi itu, rupanya Rendy menyetelkan DVD porno untuk kutonton..
“Kakak pelajari gayanya dulu, ya! Supaya nanti siap main dengan Rendy! OK?!” Rendy tersenyum dan beranjak pergi, meninggalkanku sendiri terikat di ranjang sambil berusaha menahan gejolak birahiku yang semakin mendera karena suguhan adegan panas dihadapanku.
Aku pun terpaksa menonton film porno itu sekitar 2 jam. Yah, aku memang pernah melihat sekilas film porno di handphone teman-teman SMUku, namun mungkin karena ini pengalaman pertamaku melihat film porno selama itu, muncul keinginanku agar vaginaku dimasuki oleh penis seperti wanita bule yang ada di film porno itu.
Pikiranku bergejolak, aku sadar bahwa aku akan kehilangan keperawananku apabila vaginaku dimasuki penis Rendy, namun di sisi lain, aku penasaran akan rasa nikmat yang tampaknya melanda wanita di film itu saat vaginanya dimasuki oleh penis. Aku juga ingin merasakan kenikmatan itu. Apakah aku juga akan merasa senikmat itu apabila vaginaku dimasuki oleh penis? Aku masih bisa mengingat dengan jelas rasa nikmat saat vaginaku dijilati dan dipermainkan oleh Rendy sebelumnya. Tentunya aku akan merasa lebih nikmat lagi apabila vaginaku dipermainkan oleh penis Rendy. Lagipula, setidaknya aku tidak perlu khawatir akan hamil sebab masa suburku baru saja terlewati minggu lalu.
Akhirnya rasa penasaran dan gairah seksualku mengalahkan perasaanku. Sudah kuputuskan, aku akan melayani Rendy sepenuh hatiku. Aku sudah tidak peduli lagi akan statusku sebagai gurunya ataupun perbedaan usia kami, yang kini kuinginkan hanyalah mengejar kenikmatan seksualku semata. Bahkan status dan perbedaan usia kami malah menjadi sumber gejolak gairah seksualku.
Detik dan menit berlalu, namun bagiku yang kini dikuasai gairah seksualku, serasa menunggu selama berhari-hari. Cairan cintaku sudah semakin banyak keluar dari vaginaku sehingga aku bisa merasakan bantal yang kududuki semakin basah. Akhirnya, pintu kamar itu terbuka juga dan masuklah Rendy kedalam kamar itu.
“Bagaimana kak? Sudah puas nontonnya?”
“Sudah tahu kan bagaimana gaya-gayanya?” lanjutnya. Aku hanya mengangguk pelan dengan wajah memelas.
“Bagus, bagus!! Kakak emang pintar!” ujarnya sambil membelai kepalaku dengan pelan, seolah memuji anak kecil.
“Hff…” jawabku.
“Nah, kalau begitu kakak mau tidak kalau aku setubuhi seperti di film?” muncullah pertanyaan yang sedari tadi kutunggu. Tanpa pikir panjang, aku langsung mengangguk sambil melihat wajah Rendy. Namun Rendy malah pura-pura tidak melihat sambil mematikan DVD playernya.
“Apaa? Rendy nggak bisa dengar nih!”
“Mmff!!” Aku berusaha untuk meminta Rendy melepaskan sumbatan mulutku agar aku bisa berbicara, namun Rendy malah melepas ikatan di kedua sikutku sehingga aku terbebas dari ranjang canopy itu. namun tanganku masih terikat kencang di punggungku. Aku lalu dituntun turun dari ranjang. Rendy tidak lagi mengawasiku dengan ketat. Ia tahu bahwa aku sekarang sudah tidak ingin kabur lagi.
“Waah, udah gede masih ngompol yah, Kak?” ejek Rendy saat melihat bekas cairan cintaku di bantal yang tadi kududuki. Aku hanya menggeleng pelan, namun kurasa Rendy juga tahu bahwa itu adalah cairan cintaku yang meluber karena aku terangsang sedari tadi. Rendy lalu menarikku kehadapan sebuah papan tulis putih di kamar itu yang ditempeli berbagai rancangan bu Diana. Rendy melepas semua rancangan itu agar papan tulis itu bersih. Rendy juga memposisikan tubuhku agar terjepit diantara sebuah meja dihadapanku dan papan tulis itu dibelakangku. Aku terkejut saat Rendy dengan sigap menundukkan tubuhku di meja itu sehingga posisiku kini menungging kearah papan tulis itu. Rendy juga menaikkan rok gaun dan petticoatku bagian belakang dan mengaitkannya di pita putih gaunku yang ada di pinggangku, sehingga kini pantatku terpampang jelas menungging didepan papan tulis itu.
“Nah, gimana kalau kakak tulis saja apa yang kakak mau? Soalnya kakak nggak bisa ngomong sekarang” ujarnya dari belakang. Aku pun semakin heran, bagaimana caraku menulis dengan tangan terikat dan posisi tubuh menungging seperti ini? Aku hendak berdiri, namun punggungku ditekan ke meja itu oleh Rendy.
“Tahan sebentar ya, Kak” ujar Rendy sambil membuka celah pantatku. Rendy lalu menuangkan lotion ke jari telunjuknya dan mengusapkan lotion itu ke lubang pantatku. Sesaat aku merasakan jari Rendy yang menempel dilubang pantatku bergerak pelan mengoleskan lotion itu dan aku bisa merasakan rasa dingin dan licin akibat lotion itu di pantatku.
Setelah lubang pantatku selesai dilumuri lotion, aku merasa ada sesuatu di lubang pantatku, aku tahu benda itu bukanlah jari Rendy karena benda itu terasa lebih besar dan keras dari jari Rendy.
“HMMFF!!” jeritku saat tiba-tiba aku merasakan rasa sakit yang luar biasa di lubang pantatku. Suatu benda yang panjang dan keras menekan memasuki lubang pantatku. Aku menoleh kebelakang dan melihat Rendy memaksakan untuk memasukkan benda itu kedalam anusku. Benda itu diputarnya perlahan masuk kedalam pantatku seperti sekrup. Air mataku meleleh saat merasakan rasa perih yang amat sangat saat
Suatu hari, aku mendapat panggilan dari sebuah keluarga yang ingin agar aku mengajar les anak tunggal mereka. Mereka menawarkan gaji yang bagiku amat tinggi dan kurasa cukup untuk membiayai kehidupanku di Jakarta. Tanpa pikir panjang lagi, segera kuterima tawaran keluarga itu, dan kami setuju bahwa aku akan mulai mengajar anak mereka besok sore harinya sepulang kuliah.
Esok harinya, aku pun datang untuk mulai mengajar murid baruku itu. Sesampainya di rumah itu, aku tertegun melihat arsitektur rumah itu yang seperti sebuah istana yang dilengkapi taman hijau dan dikelilingi pagar terali yang tinggi. Dibandingkan dengan rumahku di daerah yang hanya ¼ luas rumah itu, apalagi tempat kosku yang kecil dan sumpek, tentu saja memiliki rumah seperti ini sudah menjadi impianku sejak kecil.
DING-DONG!! Kutekan bel pintu di sebelah pagar rumah itu.
“Siapa?” terdengar suara wanita di Interkom yang terletak di samping bel pintu itu.
“Saya Erina, guru les privat anak anda yang baru!” jawabku
“Oh, Erina! Ayo, silakan masuk!”
Tiba-tiba, gerbang terali rumah itu terbuka. Aku pun segera masuk kedalam. Pintu garasi itu terbuka dan keluarlah seorang wanita paruh baya, usianya sekitar 40-an tahun. Dari penampilannya yang necis seperti seorang business-woman, sudah jelas bahwa ia adalah pemilik rumah ini. Wanita itu segera menyambut kedatanganku.
“Halo, Erina! Bagaimana kabarnya?”
“Baik-baik saja bu. Anda Bu Diana? Ibu Rendy?” tanyaku dengan sopan.
“Ya, betul! Ayo masuk, kita bicara didalam!” ujarnya mempersilahkanku masuk
Sambil menuju ke ruang tamu, kami berbincang-bincang sejenak. Dari situ aku tahu bahwa bu Diana adalah pemilik Bridal Studio ternama di Jakarta sekaligus seorang desainer gaun pengantin yang sering pergi ke luar negeri untuk melihat pameran-pameran di luar negeri. Bahkan, di rumahnya banyak terpajang piala penghargaan bagi desainer di pameran luar negeri. Sementara suaminya adalah kepala cabang sebuah bank multinasional yang saat ini tinggal di Jerman. Maka ia hanya tinggal berdua saja dengan anaknya di rumah itu. Seringkali anaknya dititipkan ke kerabatnya apabila bu Diana hendak pergi ke luar negeri.
Aku pun dipersilahkan untuk menunggu di ruang tamu sementara bu Diana mengambilkan minuman untukku. Aku hanya terpaku melihat hiasan-hiasan indah di rumah itu. Rasa-rasanya, harga salah satu hiasan patung ataupun lukisan itu cukup untuk membiayai uang kuliahku untuk satu semester.
“Hayo, kok malah melamun?” aku dikagetkan oleh suara bu Diana yang segera menyajikan segelas es sirop untukku.
“Eh… tidak… maaf, Bu!” aku tergagap salah tingkah, namun bu Diana hanya tersenyum melihatku. Bu Diana segera duduk di sofa ruang tamu didepanku.
“Nah, Erina. Kamu akan mengajar Rendy mulai hari ini. Ibu harap kamu bisa memperbaiki nilai-nilainya di sekolah.”
“Baik bu. Saya akan berusaha sebaik mungkin.”
“Saya senang melihat semangatmu. Tapi apa kamu tahan menghadapi anak-anak nakal?”
“Memangnya ada apa, bu?” tanyaku penasaran
“Rendy sekarang duduk di kelas 2 SMP, usianya tahun ini 14 tahun. Kamu tahu, itu masa yang rawan bagi anak remaja. Nilai Rendy terus menurun, ia lebih sering menghabiskan waktunya buat bermain atau menonton di kamarnya.” Bu Diana tampak menghela napas.
“Tenang saja, bu. Saya akan berusaha untuk membuatnya belajar. Saya yakin, nilai Rendy pasti akan segera membaik.”
“Bagus. Kinerjamu akan dinilai lewat nilai-nilai ujian semester mereka Juni ini.”
“Berarti, 5 bulan dari sekarang?”
“Benar. Tunggu sebentar ya, Erina? Ibu akan memanggil Rendy dulu.”
Aku mengangguk menyetujui. Bu Diana lalu beranjak pergi ke lantai atas. Tak lama kemudian, Bu Diana turun beserta seorang anak laki-laki. Wajah anak itu cukup tampan, menurutku. Tubuhnya juga tampak besar untuk anak seusianya, bahkan lebih tinggi dariku. Tapi mukanya tampak masam saat melihatku yang duduk dihadapannya.
“Ayo, beri salam ke Kak Erina! Mulai hari ini dia yang akan menjadi guru privatmu!”
“Rendy.” Anak itu tampak acuh dan menyodorkan tangannya untuk bersalaman denganku.
“Erina, salam kenal!” Aku berusaha tersenyum sambil membalas uluran tangannya.
“Baiklah, ayo antar kak Erina ke kamarmu dan mulai belajar!” perintah bu Diana, yang hanya dijawab oleh gerutuan dari Rendy. Aku tersenyum dan mengikuti Rendy ke kamarnya. Sejak hari itu, aku mulai mengajari Rendy sebagai guru privatnya.
Hari demi hari berlalu. Tidak terasa, sudah 3 bulan berlalu sejak hari itu. Tiap hari Senin hingga Jumat sore, aku terus mengajari Rendy sebagai guru privatnya secara rutin. Lama-lama aku pun semakin mengenal Rendy. Rendy sering bergaul dengan teman-temannya, namun sayangnya Rendy salah memilih pergaulan. Ia bergaul dengan anak-anak nakal di sekolahnya. Aku pernah melihat teman-temannya yang nakal itu, mereka selalu saja mengajak Rendy untuk membolos saat aku mengajar, yang seringkali dituruti olehnya, belum lagi sikap mereka yang menurutku tidak sopan maupun cara mereka bergaul yang lebih condong ke arah pergaulan bebas.
Aku selalu bersabar mengajari Rendy, tapi anak itu benar-benar bandel. Setiap kali aku mengajarinya, ia hanya mengacuhkanku ataupun bengong melamun. Semua tugas yang kuminta untuk dikerjakan tidak pernah disentuhnya sama sekali. Parahnya lagi, tidak jarang kulihat kepingan DVD porno yang disembunyikannya di bawah kasurnya. Aku tidak pernah menghiraukan hal itu, karena tugasku di sini adalah untuk mengajarinya bahan pelajaran, bukan untuk menceramahinya. Mungkin karena pengaruh DVD itu dan pergaulannya, dia juga sering menggodaku untuk menjadi pacarnya. Aku memang masih single, tapi pacaran dengan anak dibawah umur? Tak pernah sama sekali terlintas di benakku untuk melakukan hal itu, apalagi Rendy adalah muridku.
Sering aku nyaris kehilangan kesabaran karena ulah Rendy, namun aku selalu teringat akan janjiku pada bu Diana untuk memperbaiki nilai Rendy dan mengingat biaya yang dikeluarkan bu Diana untuk membayarku, sudah cukup untuk membuatku selalu tegar menghadapi kebandelan Rendy.
Namun seberapapun aku berusaha menahan kesabaranku, rupanya kesabaran bu Diana mulai habis. Suatu hari, ia memanggilku saat aku mengajar Rendy.
“Erina, saya pikir kamu sudah tahu kalau nilai Rendy selama ini sama sekali tidak membaik.” Ujarnya agak keras
“Maaf, bu. Saya sudah berusaha, tapi Rendy…”
“Saya tidak mau mendengar alasan, Erina. Kamu tahu berapa gajimu setiap bulan bukan? Saya berharap pengeluaran itu setimpal dengan hasil yang kamu berikan. Tapi kalau begini hasilnya, saya benar-benar kecewa…” ujarnya dengan nada agak ketus
“Tapi…”
“Begini saja. Saya akan tetap berpegang pada janji saya untuk menilaimu lewat hasil Rendy pada semester ini. Kalau nilainya masih juga belum membaik, saya terpaksa mencari pembimbing yang lebih mampu.”
“Tapi bu…” aku berusaha memberi argumen dengan Bu Diana.
“Sudahlah Erina, saya harus pergi ke studio sekarang! Saya harap, kamu bisa memperbaiki nilai Rendy secepat mungkin!” tegas bu Diana sambil berlalu pergi keluar dari rumahnya.
Kata-kata bu Diana benar-benar membuatku mulai patah arang. Bagaimana cara menggerakkan anak sebandel itu untuk belajar? Yang kutahu ia hanya tertarik dengan game PlayStation dan koleksi film miliknya, baginya memegang buku pelajaran pasti lebih susah daripada berenang melintasi samudra! Rasa putus asa menyelimutiku saat aku membayangkan bagaimana membiayai kuliahku apabila bu Diana meberhentikanku.
Dengan lesu, aku kembali ke kamar Rendy untuk mengajar. Namun, sesampainya di kamar, aku melihatnya tertawa terbahak-bahak saat aku memasuki kamarnya.
“Apa yang lucu?!” ketusku dengan muka masam.
“Mau dipecat ya, Kak? Kasihaan deeeh!” ejeknya sambil tertawa.
Mendengar ejekan Rendy sudah lebih dari cukup untuk membuat amarahku yang sudah lama terpendam, meledak seketika.
“Kamu maunya apa sih?! Kakak sudah memberimu penjelasan dan latihan-latihan, tapi sama sekali tak digubris!! Bagaimana nilaimu bisa bagus kalau kamu tidak pernah belajar!! Setiap hari yang kamu tahu cuma main game atau bengong saja!!” bentakku pada Rendy. Aku benar-benar merasa marah dan dipermainkan oleh anak itu. Tapi Rendy hanya tersenyum mendengar bentakanku itu.
“Oke deh, kalau Kakak maunya begitu. Rendy akan minta Mami untuk mencari guru baru. Kakak cari saja murid yang mau menurut!!” Ujarnya dengan sombong.
Seketika itu juga aku ambruk ke lantai, air mataku menetes karena putus asa. Aku sudah harus membayar biaya kuliahku bulan depan yang rencananya akan kubayar dengan gajiku bulan ini. Apabila aku diberhentikan sekarang, bagaimana caraku untuk membayar uang itu? Tidak mungkin meminta kiriman uang dari keluargaku, aku tidak memiliki kerabat di Jakarta dan lagipula mana mungkin teman-temanku mau meminjamkan uang untuk mahasiswi miskin sepertiku ini? Sebenarnya banyak mahasiswa yang tertarik padaku dan mau menjadi pacarku. Bisa saja aku meminjam uang dari mereka, namun aku tak mau kalau harus berhutang budi pada mereka, bisa saja itu menjadi alasan mereka untuk memaksaku menjadi pacar mereka.
Pikiran bahwa aku harus berhenti kuliah membuatku galau dan putus asa. Aku pun menangis terisak di hadapan Rendy.
“Waah, malah nangis… Dasar cengeng!” ejek Rendy saat melihatku menangis, namun itu tidak menghentikan isak tangisku.
“Oke, oke. Aku mau belajar, tapi kakak harus menuruti permintaanku, Oke?!” Rendy mulai membujukku.
“A…apa yang kamu mau?!” jawabku sambil terisak.
“Pertama, kakak berdiri dulu ya?” Rendy memegang tanganku dan membantuku berdiri. Aku pun segera beranjak bangun. Kulihat mata Rendy tampak menggerayangi lekuk tubuhku. Ia lalu berjalan berputar-putar mengelilingiku. Aku pun mulai risau melihat gelagat anak itu.
“Sudah! Jangan putar-putar melulu! Kepala kakak pusing tahu!! Kamu maunya apa sih?!” bentakku tidak sabaran.
“Kak, Rendy penasaran deh…” ungkap Rendy.
“Apanya?!”
“Kakak itu cewek kan?”
“Lalu kenapa? Bukannya sudah jelas kan?!” jawabku kesal.
“Kalau begitu, kakak punya memek juga doong…” balas Rendy dengan nada mengejek.
“Rendy penasaran nih… Memek kakak mirip nggak ya, dengan memek cewek-cewek yang sering kulihat di film-film porno?” sambungnya dengan santai.
Oh, astaga! Bagai tersambar petir, aku benar-benar marah mendengar ucapan Rendy itu. Moral anak ini benar-benar sudah hancur sama sekali!! Bagaimana bisa dia menanyakan hal seperti itu didepan seorang gadis dengan santainya? Anak ini benar-benar sudah kelewat batas!
PLAAK… Tanpa sadar kutampar pipi kiri Rendy hingga anak itu terjatuh ke lantai. Rendy pun merintih kesakitan.
“Aduh, sakiit…” rintihnya pelan.
Ya ampun! Apa yang telah kulakukan? Sesaat aku sontak tersadar, namun sudah terlambat. Tamparanku sudah keburu mendarat di pipi Rendy. Melihat Rendy yang terjatuh, aku pun merasa semakin panik. Segera kuhampiri Rendy yang masih merintih di lantai.
“Rendy, Rendy! Kamu nggak apa-apa kan?! Maaf ya, kakak tak sengaja. Maaf…” tanyaku cemas.
Aku berusaha menggenggam tangan Rendy, namun ia segera menepis tanganku.
“Pergi sana! Rendy akan laporkan kakak ke Mami!! Biar nanti kakak dituntut ke polisi!!” teriaknya.
“Rendy… Kakak minta maaf ya? Kakak benar-benar tak sengaja…” aku benar-benar panik mendengar ancaman Rendy, yang sangat mungkin menjadi kenyataan mengingat keluarganya yang cukup terpandang.
“Nggak mau! Pergi sana!! Tunggu saja sampai Mami pulang, Kakak pasti kulaporkan!” ancam Rendy sekali lagi. Rendy segera beranjak, hendak keluar dari kamarnya.
Aku benar-benar putus asa dan kebingungan. Masalah yang datang menghampiriku silih berganti. Bagaimana ini? Sebelumnya, ancaman pemecatanku sudah diambang mata dan sekarang malah aku terancam dituntut oleh keluarga kaya ini. Pikiranku pun mulai buntu dan tanpa pikir panjang lagi, kutarik tangan Rendy untuk mencegahnya keluar kamar.
“Tunggu Rendy!! Kakak akan menuruti permintaan Rendy! Apapun! Tapi tolong jangan laporkan kakak ke bu Diana!” bujukku pada Rendy.
Langkah kaki Rendy terhenti sebentar. Rendy lalu melirik melihatku.
“Benar nih? Kakak nggak bohong kan?” tanyanya tidak percaya.
“Iya, iya! Kakak janji! Tapi cuma sekali ini saja ya!” jawabku putus asa.
“Oke deh kalau begitu. Rendy mau lihat memek kakak sekarang.” Perintahnya padaku.
“Tapi cuma lihat saja ya! Jangan macam-macam!”
“Iya, deeh…” jawab Rendy puas.
Aku lalu berdiri didepan Rendy, perlahan-lahan kunaikkan rok putihku yang selutut dihadapan anak itu. hingga akhirnya rokku mencapai pinggul, menampakkan pahaku dan celana dalam pink berendaku dengan jelas. Rendy tampak takjub saat melihat celana dalamku yang masih menutupi selangkanganku.
“Tunggu Kak! Jangan bergerak dulu!” perintah Rendy mendadak. Aku pun tak punya pilihan lain selain memamerkan celana dalamku dihadapan Rendy.
Perasaanku campur aduk saat melihat mata Rendy yang tampak berbinar-binar takjub melihat celana dalamku. Aku pun bisa mendengarnya menelan ludah. Pasti ini pengalaman pertamanya melihat celana dalam seorang gadis yang asli. Kurasa selama ini dia hanya melihat celana dalam wanita lewat film pornonya saja.
Ia tampak gugup sekaligus senang melihat celana dalamku. Sementara jantungku berdegup kencang sekali saat mengingat seorang anak kecil sedang mengamati celana dalamku dengan seksama. Wajahku sekarang pasti sudah lebih merah dari buah tomat yang matang karena malu.
Rendy menoleh sejenak ke belakang sambil menghela nafas. Kurasa ia juga amat gugup karena dari tadi mengamati celana dalamku tepat didepan wajahnya. Tapi, ia segera kembali menoleh melihat celana dalamku dan kali ini kulihat sorot matanya yang secara khusus mengamati bayangan vaginaku dibalik celana dalamku. Sorot matanya yang mengamati dengan seksama memberiku sensasi yang aneh. Belum pernah kulihat sorot matanya seserius itu.
Semakin lama, kepalanya semakin maju hingga memasuki rokku dan tampaknya ia benar-benar menikmati saat mengamati celana dalamku. Aku dapat merasakan dengan sangat jelas detak jantungku yang berdegup semakin kencang. Aku merasa bingung mengapa jantungku bisa berdetak sekencang itu hanya karena Rendy sedang mengamati celana dalamku? Aduuh… andai saja aku tidak menamparnya tadi, sesalku dalam hati.
“Rendy, sudah ya… Kakak sudah capek nih…” bujukku pada Rendy.
“Belum kak. Kakak masih belum menepati janji kakak!” protesnya padaku.
“Apa lagi, sih, Rendy?!”
“Aku mau melihat memek kakak! Bukannya tadi kakak berjanji untuk menuruti keinginanku? Ayo, buka celana dalamnya dong kak!” pintanya padaku.
“Tapi… tapi…” aku berusaha mencari alasan untuk menolak permintaan Rendy, namun pikiranku buntu sama sekali. Memang benar tadi Rendy sempat berkata bahwa ia ingin melihat kewanitaanku. Tapi bagaimanapun, aku merasa amat keberatan kalau seorang anak kecil melihat vaginaku yang selalu kujaga baik-baik untuk suamiku di masa depan.
“Ayo, kak! Kalau tidak aku akan melaporkan kakak ke Mami lho!!” ancamnya sekali lagi. Aku sadar, aku tidak mungkin meloloskan diri dari permintaan Rendy.
“Iya deh! Tapi cuma sebentar saja ya!” gerutuku. Saat mendengar kata ‘melapor ke Mami’, aku sudah kalah telak tanpa bisa membantah atau menolak permintaan anak ini.
“Oke deh!!” serunya dengan riang setelah mendapat izin dariku. Tanpa menunggu lama, ia segera melorotkan kedua sisi celana dalamku dan menurunkan celana dalamku hingga celana dalamku tergulung di pahaku. Sekarang, tanpa pelindung apapun, kewanitaanku terpampang jelas dihadapan Rendy yang kini mengalihkan perhatiannya ke vaginaku.
Pikiran dalam hatiku berkecamuk. Apa yang sebenarnya kulakukan? Bukankah bu Diana membayarku untuk mengajar les privat anaknya? Namun kenyataannya sekarang, celana dalamku sudah ditarik turun oleh muridku sendiri yang kini sedang sibuk mengamati kewanitaanku. Kalau bu Diana mengetahui hal ini, aku tidak tahu apa yang akan dilakukannya padaku. Paling tidak aku agak beruntung karena bu Diana tidak berada di rumah saat ini, jadi aku tidak perlu khawatir akan kepergok olehnya.
“Waah, beda sekali dengan memek cewek-cewek di film porno. Memek kakak bersih ya! Nggak ada rambut-rambutnya!” puji Rendy padaku.
Tentu saja! Aku paling menjaga dan merawat daerah kewanitaanku sebaik mungkin. Aku selalu teratur membersihkan vaginaku dan mencukur rambut kemaluanku. Mana mungkin vaginaku disamakan dengan vagina para perempuan di video porno yang pasti tidak dirawat dengan teratur! Pikirku kesal.
“Hei, Rendy. Sudah cukup ya?” pintaku pada Rendy.
“Sebentar lagi, ya. Kak!”
Ampuun! Aku benar-benar terjebak! Memamerkan kewanitaanku didepan anak SMP sudah lebih dari cukup untuk membuatku malu seumur hidup! Aku tak berani membayangkan kalau ada orang yang melihat hal ini. Badanku terasa panas dan keringatku mulai mengucur deras hanya karena kewanitaanku diamati oleh Rendy. Apalagi mengingat kalau aku seharusnya mengajarinya dalam pelajaran, bukan malah memberinya tontonan yang tidak pantas seperti ini.
“Waah… kok memek kakak makin lama makin basah sih?!” tanya Rendy tiba-tiba.
“Ah… Eh?!” mendadak aku tersadar dari lamunanku, saat itulah aku baru menyadari kalau jari telunjuk Rendy sudah menyentuh bibir vaginaku. Ujung jari Rendy sudah mulai masuk sedikit kedalam liang vaginaku dan mulai menggosok-gosok bibir vaginaku yang sudah basah karena luapan cairan cintaku tanpa sadar.
“AAH!!! Hei!! Hentikan, Rendy!!!” aku benar-benar panik melihat jari Rendy di vaginaku itu. Aku takut kalau keperawananku malah terenggut oleh jari-jari Rendy. Namun Rendy tidak berhenti.
“Rendy! Sudah cukup, hei!! Bukannya kamu berjanji hanya melihat saja?!” protesku pada Rendy.
“Aargh! Berisik! Diam saja! Kalau tidak, kutusukkan jariku kedalam memek kakak dalam-dalam, mengerti?!” bentak Rendy padaku.
Aku benar-benar takut. Rendy memang memegang kendali saat ini, apalagi dengan jarinya yang masih sibuk memainkan bibir vaginaku, mudah saja baginya untuk memperawaniku dengan jarinya. Aku berpikir daripada aku diperawani jari-jari Rendy, mungkin lebih baik kalau aku menuruti kemauannya. Aku kembali menangis terisak, namun Rendy tidak menghiraukan tangisanku, ia malah menggosok-gosokkan jarinya di sela vaginaku dengan pelan. Saat itulah aku tersentak sesaat merasakan kenikmatan gosokan jari Rendy di vaginaku. Jujur saja, ini merupakan pengalaman pertama bagiku merasakan kenikmatan seperti itu karena aku tidak pernah beronani sebelumnya. Aku pun merasa tenagaku untuk berontak lenyap seketika.
“Ah… ohh… aakh…” tanpa sadar, aku mendesah nikmat karena gosokan jari Rendy.
“Ada apa, Kak?!” tanya Rendy padaku.
“Aahh… hentikan… Rendy… jangan… auuch…” Suaraku sudah mulai bercampur dengan lenguhanku.
“Lho, kok kakak mau berhenti? Bukannya rasanya enak Kak?” balasnya setengah mengejek.
“Eegh… itu… itu…” tanpa sadar, aku pun melepaskan rokku yang dari tadi kupegang, tapi Rendy segera menyibakkan rokku kembali. Rendy terus mengamati wajahku untuk melihat reaksiku, aku berusaha tidak menatap wajahnya, walaupun sesekali dapat kulihat ia tersenyum dengan reaksiku.
Badanku terasa limbung ke belakang, tempat meja belajar Rendy berada. Aku pun menyandarkan diri di meja belajar itu dan kedua tanganku memegang bibir meja itu agar aku tidak jatuh. Rendy sekarang memegangi rokku dan menekannya di perutku, sehingga rokku tersibak dan vaginaku terpampang semakin jelas.
“Nah, kita mulai sekarang ya, Kak?” ujarnya padaku dan ia mulai mempercepat gosokannya di bibir dan celah-celah vaginaku. Aku pun tidak lagi menolak. Lagipula, aku tidak ingin Rendy menghentikan aktivitasnya saat ini, aku sudah terlanjur dikuasai kenikmatan yang melanda tubuhku
“Ouchhh… aahh… aahhh…” desahku menahan kenikmatan di vaginaku, akal sehatku sudah lenyap dan aku sepenuhnya dikuasai oleh kenikmatan di kewanitaanku. Entah mengapa, fakta bahwa yang mengocok vaginaku adalah muridku sendiri yang masih SMP malah membuatku semakin bernafsu.
“Aduuh… aw… aw… aww…” rintihan-rintihan kenikmatan keluar dari mulutku setelah 3 menit berlalu sejak bibir kewanitaanku dilayani oleh jari-jari Rendy. Aku pun sudah tidak tahan lagi, aku merasa akan segera mencapai orgasmeku untuk pertama kalinya. Namun, tiba-tiba terdengar suara decitan mobil di halaman rumah. Bu Diana telah pulang! Aku dan Rendy segera menghentikan aktifitas kami, dan aku segera merapikan celana dalam dan rokku kembali. Kami lalu bergegas kembali ke meja belajar untuk melanjutkan les. Walaupun aku merasa agak kecewa karena nyaris saja mencapai orgasme, namun aku tetap melanjutkan mengajari Rendy walaupun suasana hatiku amat galau saat itu.
Akhirnya aku pun selesai mengajar Rendy hari itu. tapi harus kuakui, Rendy tampak lebih bersemangat menyimak penjelasanku sehabis kejadian itu. Hanya saja aku tampak kacau karena banyak hal yang terjadi hari itu. Tapi bagaimanapun aku juga masih bersyukur karena selaput daraku tidak sampai robek akibat ulah Rendy tadi. Sebelum pulang, Rendy sempat meminjam Handphoneku. Alasannya, ia mau mengirimkan lagu-lagu baru untukku, aku pun hanya mengiyakan saja permintaan Rendy itu. Setelah Rendy mengembalikan Handphoneku, aku pun segera pamit kepada bu Diana dan kemudian pulang ke tempat kosku. Aku berharap semua kejadian hari ini hanyalah mimpi buruk semata.
Esok harinya, aku pun terbangun dalam keadaan galau. Semalaman aku mencoba tidur, namun di kepalaku selalu terbayang kejadian kemarin sore di rumah bu Diana. Akibatnya, bisa ditebak, aku benar-benar merasa amat letih dan lesu.
Aku pun mencoba menyetel lagu yang kemarin diberikan Rendy padaku untuk mempercerah suasana. Aku lalu membuka handphoneku untuk mendengarkan lagu. Tapi aku tidak menemukan satupun file musik baru di handphoneku, malahan, lagu-lagu koleksiku banyak yang terhapus. Penasaran, aku pun memeriksa isi handphoneku. Sekarang, di bagian video, malah ada sebuah video yang berukuran ekstra besar. Penasaran dengan video di handphoneku, aku pun mulai memutar video itu.
Astaga! Aku benar-benar terkejut setengah mati saat melihat diriku yang sedang memamerkan celana dalam di hadapan Rendy terekam di video itu dan bagaimana Rendy memainkan jari-jarinya di vaginaku juga terlihat dengan amat jelas dari arah samping. Saat itulah aku baru ingat bahwa saat aku memamerkan selangkanganku, sebuah handycam milik Rendy tergeletak di ranjangnya yang ada disamping meja belajarnya. Berarti, Rendy secara diam-diam berhasil merekam adegan mesumku!
Tidak terbayang bagaimana perasaanku saat itu. Rasa letih dan lesu yang menyerangku dari pagi kini ditambah dengan perasaan cemas dan takut kalau video itu disebarluaskan, apalagi wajahku tampak jelas di video itu. Aku bingung, apa yang harus kulakukan? Bagaimana apabila video itu sudah disebarluaskan? Aku pasti diberhentikan dari universitas. Parahnya lagi, aku pasti akan dianggap sebagai perempuan rendahan oleh masyarakat. Bagaimana caraku menjelaskan pada keluargaku tentang video itu?
Bayangan-bayangan itu terus berkecamuk didalam pikiranku selama seharian penuh. Walaupun begitu, sore harinya aku kembali berangkat menuju rumah bu Diana untuk mengajari Rendy.
Saat aku datang, bu Diana masih belum pulang karena harus menyelesaikan proyek di studionya. Aku pun segera menemui Rendy untuk menyelesaikan masalah ini. Kebetulan, Rendy yang membukakan pintu untukku. Seolah ia sudah lama menunggu kedatanganku.
“Halo, Kak Erina. Bagaimana, video klip lagunya bagus tidak?” tanyanya dengan nada mengejek.
“Rendy, kenapa kamu sejahat itu dengan kakak?! Buat apa kamu merekam video beginian sih?! Belum cukup kamu mempermainkan kakak kemarin?!!” jawabku dengan perasaan kesal bercampur cemas.
“Waah, kenapa Rendy dibilang mempermainkan kakak? Bukannya kemarin kakak terlihat nyaman saat aku layani?” Mata Rendy tampak semakin merendahkanku.
“Sudahlah! Mana videonya? Cepat berikan ke kakak!!” perintahku.
“Tenang saja kak, videonya Rendy simpan dengan baik kok. Jadi kakak tenang saja!”
Aku mengepalkan tanganku, menahan berbagai macam emosi yang bergejolak didalam hatiku. Nyaris aku kembali menangis karena rasa cemas yang semakin kuat mencengkeram diriku, namun aku berusaha mengendalikan diri. Aku sadar aku tidak bisa mengambil jalan kekerasan untuk menghadapi Rendy, karena malah akan membuat masalahku tambah runyam.
“Oh iya, Rendy juga belum memperlihatkan videonya ke orang lain. Waah, sayang sekali ya kak? Padahal videonya bagus kan?” lanjutnya.
Mendengar pernyataan Rendy itu, aku merasa melihat secercah cahaya dan harapanku sedikit pulih. Namun masih saja aku merasa tegang dan cemas. Aku pun berusaha membujuk Rendy untuk menyerahkan video itu padaku.
“Rendy, kakak mohon… berikan video itu ke kakak, ya? Tolong jangan sakiti kakak lagi…” aku memohon meminta belas kasihan pada Rendy.
“Hmm… kalau begitu, kakak harus mau menuruti perintahku lagi, aku berjanji akan memberikan videonya ke kakak.”
“Kakak mohon, Rendy… Jangan lagi…” air mataku kembali mengucur saat mendengar syarat yang diajukan Rendy. Berarti aku harus kembali merendahkan diriku dihadapannya.
“Kakak mau atau tidak?! Kalau tidak, ya sudah! Kakak bisa melihat videonya di internet besok pagi.” Ketusnya tanpa menghiraukan perasaanku.
Aku pun tidak punya pilihan lain, selain menuruti kemauan Rendy. Tampaknya percuma saja aku berusaha meminta belas kasihan anak ini. Yang ada di pikirannya saat ini pasti hanyalah keinginan untuk mempermainkan diriku sekali lagi. Terpaksa aku harus melayani permintaannya lagi agar video itu kudapatkan.
“Baiklah, kakak mengerti… Kakak akan menuruti perintahmu, tapi kamu harus berjanji akan memberikan video itu ke kakak!” jawabku memberi persetujuan.
“Beres, Kak!” Kali ini Rendy tampak girang sekali saat mendengar kalimat persetujuanku itu.
“Nah, sekarang apa yang kamu mau?!” Tanyaku tidak sabaran
“Tunggu sebentar dong Kak… Jangan buru-buru! Kalau sekarang pasti cuma sebentar karena Mami sebentar lagi pulang.”
“Lalu, kamu maunya kapan?”
“Nah, kebetulan 2 hari lagi Mami akan berangkat ke luar negeri, soalnya Mami akan memperagakan busana pengantin buatannya di pameran.”
“Lalu kenapa?”
“Kebetulan minggu depan ada ulangan yang penting, jadi aku boleh tinggal di rumah ini sampai mami pulang. Selama itu, aku mau kakak untuk tinggal bersamaku di rumah, sambil mengajariku! Bagaimana? Kita bisa bersenang-senang sampai puas kan, Kak?”
“Memangnya sampai kapan bu Diana ada di luar negeri?” tanyaku kembali.
“Yaah, karena Mami juga mau ketemu Papi di Jerman, makanya Mami tinggal di sana selama 2 minggu.”
“Tapi apa bu Diana akan mengizinkan kakak untuk tinggal disini?”
“Tenang saja, kak! Biar nanti Rendy yang bicara dengan Mami.” Ujarnya meyakinkanku.
Aku menghela nafas sejenak sambil berpikir menimbang-nimbang permintaan Rendy. Sebenarnya aku tidak begitu rugi apabila aku menginap di rumah bu Diana. Aku bisa menghemat uang kosku selama setengah bulan kalau aku menginap di rumah bu Diana. Lagipula aku akan lebih bisa mengawasi Rendy untuk belajar menghadapi ujian semesternya yang kian mendekat, dengan begitu, aku bisa mendapat kesempatan untuk mengamankan pekerjaanku. Sebenarnya yang perlu kulakukan hanyalah memastikan kalau Rendy tidak “mengerjaiku” lebih parah dari kemarin.
“Baiklah, kakak setuju. Tapi kamu juga harus berjanji, kamu harus belajar yang rajin selama kakak tinggal di rumahmu.” Anggukku sambil memberinya penawaran.
“Berees, kak! Asal kakak mau menurutiku selama itu, aku pasti belajar!” jawabnya dengan bersemangat.
“Iya, iya…” balasku dengan perasaan agak lega.
Kami lalu segera beranjak ke kamar Rendy dan aku pun mulai mengajarinya. Tapi hari ini ada yang berbeda dari Rendy. Ia tampak lebih serius dan bersemangat dalam menyimak penjelasanku. Kurasa dia sudah cukup senang saat mendengar aku akan menginap di rumahnya 2 hari lagi. Tak lama kemudian, kudengar suara bu Diana di lantai bawah.
“Nah, Mami sudah pulang! Kakak tunggu sebentar ya! Aku mau bicara dulu dengan Mami!” Rendy segera beranjak dari kursinya dan keluar dari kamarnya tanpa menghiraukanku. Sayup-sayup kudengar suara percakapan Rendy dengan bu Diana, namun aku tidak dapat mendengar dengan jelas apa yang mereka katakan. Sambil menunggu Rendy, aku mempersiapkan soal-soal latihan yang akan kuberikan untuknya nanti.
Sekitar 5 menit kemudian, Rendy kembali ke kamarnya bersama bu Diana.
“Halo, Erina. Rendy meminta saya untuk mengizinkanmu tinggal di rumah ini selama saya tidak dirumah.”
“Eh? I… iya, bu Diana! Rendy memberitahu saya kalau ia ingin mendapat les tambahan dari saya selama bu Diana tidak dirumah… Katanya… untuk persiapan ujian semester…” ujarku dengan agak gugup.
“Wah, kebetulan sekali kalau begitu! Soalnya tante Rendy juga akan ikut ke Jerman. Makanya tadi saya sempat mengajak Rendy untuk ikut. Tapi karena ada ulangannya yang penting, Saya jadi ragu-ragu.”
“Jadi?” tanyaku
“Kalau kamu mau, Saya memperbolehkan kamu tinggal disini selama saya tidak dirumah. Tapi saya juga meminta kamu untuk mengurus Rendy selama itu. Sebagai gantinya, saya akan berikan tambahan bonus untukmu di akhir bulan ini. Bagaimana?” Jawab bu Diana memberikan tawaran.
“Baik, bu Diana. Saya setuju!” anggukku sambil tersenyum. Sekarang aku mendapat tambahan keuntungan dengan menerima tawaran Rendy. Dengan bonus yang disediakan bu Diana dan penghematan uang kosku selama setengah bulan, aku bisa menambah uang tabunganku sekaligus membiayai sebagian keperluanku bulan depan.
“Baguslah! Kalau begitu, Erina, tolong kamu siapkan barang-barangmu yang akan kamu bawa untuk tinggal disini. Lusa nanti saya akan menjemputmu sebelum kamu mengajar Rendy.” Ujar bu Diana.
“Iya, bu Diana!” aku mengiyakan permintaan bu Diana.
Setelah menyelesaikan tugasku hari itu, aku segera bergegas pulang untuk mulai mengemas barang-barangku. Untunglah aku tidak memiliki banyak barang selain pakaian dan perlengkapan-perlengkapan kecil milikku. Aku juga memberitahu pemilik rumah kosku bahwa aku akan pindah selama setengah bulan. Syukurlah mereka mau mengerti dan bersedia menyimpankan kamar bagiku apabila aku kembali.
2 hari kemudian, bu Diana dan Rendy pun datang menjemputku sebelum aku mengajar Rendy. Aku lalu diantar ke rumah mereka. Aku diizinkan untuk tidur di kamar tamu di lantai bawah. Malam harinya, aku diberitahu bu Diana tugas-tugasku di rumah itu selama bu Diana di luar negeri. Aku diminta untuk mengerjakan beberapa pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci dan membersihkan rumah. Aku sudah terbiasa memasak dan mencuci sendiri sejak kecil, maka tugas ini tidak lagi sesulit yang kubayangkan. Lagipula untuk keperluan sehari-hari, bu Diana sudah menyuruh anak buahnya untuk mengantar bahan makanan dan supir studio untuk mengantar-jemput kami. Apabila ada hal lainnya yang diperlukan, aku hanya perlu menelepon studio untuk meminta bantuan mereka.
Esok harinya, bu Diana sudah berangkat saat aku pulang dari kuliah. Sehingga hanya ada aku dan Rendy sendiri di rumah. Aku segera menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhku. Seusai mandi, aku benar-benar terkejut saat melihat semua pakaian milikku menghilang. Hanya ada satu pelaku yang dapat melakukan hal ini! Aku lalu menutupi tubuhku dengan selembar handuk yang untungnya, tidak sempat diambil oleh “pencuri” itu. Aku segera naik ke lantai atas untuk mengambil kembali pakaian milikku.
“Rendy! Reendyy!! Buka pintunya!” Seruku sambil menggedor kamar Rendy. Pintu kamar itu sedikit dibuka dan wajah Rendy muncul dari sela-sela pintu kamar itu.
“Ya, ada apa kak?!” tanyanya padaku. Namun matanya segera melirik tubuhku yang hanya berbalutkan sebuah handuk dan ia tersenyum cengengesan melihat keadaanku.
“Wah, waah… Kakak sudah tidak sabaran ya?” tanyanya sambil tertawa kecil.
“Huuh! Dasar usiil!! Ayo, kembalikan baju kakak!!” gerutuku.
“Lhooo… memangnya baju kakak kuambil? Apa ada buktinya?”
“Kalau bukan kamu siapa lagii? Sudah, ayo cepat kembalikan baju kakak!”
“Kak, kalau menuduh orang tanpa bukti itu tidak baik lho! Hukumannya, aku tidak mau memberitahu dimana kusembunyikan baju kakak, Hehehe…” Rendy tersenyum mengejekku dan menutup dan mengunci pintu kamarnya dihadapanku.
“Aah! Hei, Rendy! Tunggu duluu…” protesku, tapi Rendy sudah keburu menutup pintu kamarnya sambil mengejekku dibalik pintu.
Aku pun terpaksa menggigil kedinginan, suhu di rumah itu dingin sekali karena dipasangi AC, ditambah lagi aku baru saja mandi dan sekarang tubuhku hanya ditutupi oleh selembar handuk saja. Selama beberapa menit aku terus menggedor pintu kamar Rendy dan berusaha membujuknya, namun ia sama sekali tidak menggubrisku.
“HATSYII…!!!” Karena tidak biasa, aku pun bersin akibat pilek karena suhu dingin itu.
“Kak! Kakak pilek, ya?” tiba-tiba terdengar suara Rendy dari balik pintu.
“I… iya… Rendy, tolong…. kembalikan pakaian kakak… disini dingin sekali… kakak tidak tahan…”
“Oke deh, tapi kakak harus mau memakai pakaian yang kuberikan ya!”
“Iya… iya… cepat doong…. Kakak kedinginan disini…” pintaku pada Rendy
Rendy kembali keluar dari kamarnya. Ia melihat sekujur tubuhku yang menggigil kedinginan. Anehnya, raut wajahnya tampak berubah, ia tidak lagi tampak senang ataupun puas mengerjaiku. Kini ia tampak agak gelisah.
“Haa… HATSYII!!!” kembali aku bersin dihadapannya. Kulihat raut wajahnya semakin cemas saja melihat keadaanku.
“Ayo Kak, ikut denganku!” pinta Rendy padaku yang segera kuturuti saja.
Rendy menuntunku ke ruang disebelah kamarnya. Pintu ruang itu dikunci, namun Rendy segera membuka pintu itu dengan sebuah kunci di tangannya. Begitu aku masuk, aku takjub melihat puluhan helai gaun pengantin putih dalam berbagai ukuran dan model yang tergantung rapi di kamar itu. Berbagai aksesoris pengantin wanita juga tertata rapi bersama gaun-gaun itu. Rupanya kamar itu adalah kamar desain bu Diana sekaligus tempatnya menyimpan hasil rancangannya yang belum dikirim ke studio.
“Kak, aku minta kakak memakai baju itu.” ujar Rendy seraya menunjuk ke arah sehelai gaun pengantin putih yang dipasang di sebuah mannequin.
“Apaa?! Kenapa kakak harus memakai baju seperti itu? Memangnya kakak mau menikah, apa?!” jawabku setengah tak percaya, setengah kebingungan.
“Ya, sudah! Kalau kakak tidak mau, kakak boleh memakai handuk itu saja kok!” balas Rendy.
“Iyaa! Dasar!! Kamu mintanya yang aneh-aneh saja!!” ujarku agak kesal. Terpaksa kuturuti permintaan Rendy, daripada pilekku semakin parah.
“Oh iya Kak!”
“Apa lagii?”
“Pakaiannya yang lengkap ya, Kak! Soalnya baju itu sudah 1 set dengan aksesorisnya!” pinta Rendy.
“Jangan lupa juga untuk merias diri dengan kosmetik Mami ya Kak! Sudah kusiapkan lhoo…” imbuhnya.
Aku menghela nafas dan menutup pintu kamar itu. Memang kulihat gaun itu dilengkapi dengan mahkota, sarung tangan, bahkan stocking dan sepatu yang semuanya berwarna putih susu. Luar biasa! Sejenak aku kagum dengan kepandaian bu Diana dalam merancang gaun itu, komposisi yang disusunnya benar-benar serasi. Aku lalu menuruti perintah Rendy untuk memakai semua pakaian itu dengan lengkap. Berat bagiku memang, karena aku belum pernah memakai gaun pengantin sebelumnya. Setelahnya, aku pun merias diriku dengan kosmetik milik bu Diana. Kulihat semua kosmetik itu buatan luar negeri. Aku sendiri agak canggung untuk memakai kosmetik-kosmetik itu, mengingat harganya yang selangit bagi mahasiswi sepertiku. Tapi setidaknya, aku mendapat sebuah kesempatan untuk mencoba kosmetik-kosmetik itu, maka aku berusaha untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.
Setelah beberapa lama, aku akhirnya selesai mempengantinkan diriku. Kubuka pintu kamar itu dan seperti yang sudah kuduga, Rendy sedari tadi sudah menungguku didepan pintu. Ia tampak amat terpana melihatku yang berbusana pengantin itu.
Busana pengantinku berupa sebuah gaun pengantin putih yang indah sekali. Atasan gaun memiliki sepasang puff bahu yang terikat dengan sepasang sarung tangan satin dengan panjang selengan di kedua tanganku yang kini menutupi jari-jariku yang lentik. Di bagian perut dan dada gaunku bertaburan kristal-kristal imitasi yang samar-samar membentuk sebuah pola hati. Bagian pinggang gaun itu memiliki hiasan kembang-kembang sutra yang melingkari bagian pinggang gaun itu seperti sebuah ikat pinggang yang seolah menghubungkan atasan gaunku dengan rok gaun polos yang dihiasi manik-manik membentuk hiasan bunga-bunga yang bertebaran disekeliling rok gaunku. Pinggulku dipasangi pita putih besar. Aku juga memakaikan rok petticoat di pinggangku agar rok gaunku tampak mengembang. Rendy sendiri tampak kagum melihat cantiknya wajahku yang sudah kurias sendiri; kelopak mataku kurias dengan eye-shadow berwarna pink dan alsiku yang kurapikan dengan eye-pencil. Sementara lipstick yang berwarna pink lembut kupilih untuk melapisi bibirku yang tampak serasi dengan riasan bedak make-upku.
Riasan mahkota bunga putih tampak serasi dengan rambut hitam-sebahuku yang kubiarkan tergerai bebas. Aku telah memasang stocking sutra berwarna putih yang lembut di kakiku yang dilengkapi dengan sepasang sepatu hak tinggi berwarna putih yang tampak serasi seperti gaun pengantinku. Tubuhku juga kuberi parfum melati milik bu Diana sehingga sekujur tubuhku memancarkan aroma melati yang amat wangi.
“Nah, bagaimana?” ujarku pada Rendy yang masih melongo melihat penampilanku.
“Hei! Kok malah bengong sih?!” seruku, yang segera menyadarkan Rendy dari lamunannya.
“E… eh… ccantik sekali Kak!” jawab Rendy tergagap-gagap, aku tertawa kecil melihat tingkahnya yang kebingungan.
“Kak, ini… buat kakak…” Rendy mengulurkan setangkai mawar merah kepadaku. Mawar merah yang indah itu tampak segar berkilauan.
“Waah, terima kasih ya!!” otomatis aku mencium bunga itu untuk menghirup aromanya. Sejenak aroma yang menyengat memasuki hidungku aku pun langsung merasa pandanganku tiba-tiba kabur dan tubuhku terasa lemas. Aku pun ambruk tidak sadarkan diri. Sayup-sayup kulihat senyuman Rendy, aku berusaha untuk tetap sadarkan diri, namun mataku terasa berat sekali dan akhirnya aku menutup kelopak mataku.
Entah apa yang terjadi pada tubuhku, namun saat aku sadar, aku melihat diriku sudah terbaring mengangkang di sebuah ranjang canopy dalam keadaan berbusana pengantin lengkap. Kedua tanganku terikat di belakang punggungku sementara kakiku terikat erat di sisi kanan-kiri tiang ranjang itu sehingga posisi tubuhku mengangkang lebar. Aku merasa amat geli di daerah kewanitaanku, seperti ada sebuah daging lunak hangat yang menyapu-nyapu daerah kewanitaanku, terkadang daging itu menusuk-nusuk seolah hendak membuka bibir kewanitaanku melewati celah vaginaku. Aku juga merasa daerah disekitar vaginaku amat becek akibat gerakan daging itu.
“Aahh… oohhh…” Aku pun mendesah pelan menikmati sensasi di kewanitaanku itu. Rasanya vaginaku seolah diceboki, namun gerakan daging itu yang seolah berputar-putar mempermainkan vaginaku menimbulkan sensasi nikmat disekujur tubuhku. Aku merasa tubuhku diairi listrik tegangan rendah saat daging itu membelah bibir kewanitaanku dan menyentuh lubang pipisku.
“Eh! Kakak sudah bangun rupanya!!” tiba-tiba kudengar suara Rendy dibalik gaunku. Aku berusaha mendongak dan kulihat wajah Rendy sedang berada tepat didepan selangkanganku yang terbuka lebar. Sadarlah aku kalau “daging” tadi tak lain adalah lidah Rendy yang sedang menjilati vaginaku. Aku berusaha berontak, namun untuk menutup kedua pahaku yang sedang terbuka lebar saja amat sulit. Tubuhku terasa amat lemas tanpa tenaga. Saat aku melihat sekitarku, aku baru sadar kalau aku kini berada didalam kamar bu Diana.
“Badan kakak masih belum bisa digerakkan, soalnya pengaruh obat tidur Mami masih tersisa.” Jelas Rendy sambil berjalan ke sampingku. Sekejap aku merasa amat panik dan berusaha mengerahkan seluruh tenagaku untuk kabur, tapi sia-sia saja. Tubuhku tidak mau bergerak sedikitpun. Astaga! Bagaimana aku bisa sebodoh itu mencium aroma bunga yang ditaburi obat bius?! Niatku untuk menjaga jarak dari Rendy kini sia-sia saja. Sekarang malah kesucianku terpampang jelas dihadapannya, aku dalam keadaan terjepit dan tidak bisa kabur lagi.
“Kakak tenang saja, dijamin enak kok! Hehehe…” tawa Rendy terkekeh-kekeh.
“Jangan, Rendy… Jangan… kakak mohon!!” pintaku berderai air mata saat melihat Rendy berbalik berjalan menuju arah selangkanganku. Namun sia-sia saja, Rendy sama sekali tidak mau mendengar permohonanku. Aku pun semakin panik dan cemas. Air mataku kembali meleleh membasahi mataku, namun apa dayaku? Tubuhku kini amat sulit digerakkan karena ikatan itu ditambah rasa lemas disekujur tubuhku karena pengaruh obat bius yang tersisa. Kini aku hanya bisa pasrah membiarkan Rendy menyantap kewanitaanku. Jantungku berdegup semakin kencang dan wajahku merah merona saat Rendy semakin mendekati selangkanganku. Rendy lalu memegang kedua pahaku yang mulus. Ia mulai mengendusi paha kananku sementara paha kiriku dibelai-belai dengan tangannya.
“Essh…” aku mendesis sesaat setelah bibir Rendy mencium bibir kemaluanku. Hembusan nafas Rendy di pahaku membuat tubuhku sedikit mengigil kegelian. Saat bibir kemaluanku bertemu dengan bibir Rendy, Rendy mulai menjulurkan lidahnya. Seperti lidah ular yang menari-nari, bibir kemaluanku dijilati olehnya. Kembali bibir kewanitaanku dibelah oleh lidah Rendy, yang kembali menarikan lidahnya menceboki liang vaginaku perlahan-lahan. Aku berusaha sekuat mungkin untuk menahan gejolak birahi yang kini mulai melanda diriku, namun tetap saja suara desahan-desahanku yang tertahan sesekali terdengar keluar dari bibirku karena rasa nikmat yang menjuluri tubuhku apalagi belaian lembut Rendy di pahaku semakin terasa geli akibat stocking sutra yang kupakai.
“Haaa?! Aakh…!!” Sontak aku menjerit terkejut saat merasakan sensasi rasa geli dan nikmat yang tiba-tiba melanda tubuhku. Rupanya Rendy menjilati klitorisku. Sesekali ia menyentil klitorisku dengan lembut sehingga sekujur tubuhku seperti dialiri listrik dan bulu kudukku berdiri. Rendy menyadari bahwa aku mulai dikuasai oleh gejolak birahiku. Ia terus melancarkan serangannya ke klitorisku. Berulang kali permohonanku yang disertai dengan desahan kusampaikan ke Rendy, namun ia malah tampak kian bersemangat mengerjaiku. Kesadaranku pun semakin menghilang tergantikan dengan rasa nikmat dan hasrat seksual yang semakin merasuki tubuhku.
“Bagaimana kak? Enak tidak?” tanya Rendy padaku.
“Rendyy… stoop… auhhh… jangaan…”
“Ah masaa? Bukannya kakak mendesah keenakan tuh? Yakin nih, nggak mau lagi?” ejeknya sambil menjauhkan wajahnya dari kemaluanku. Namun secara refleks, aku malah mengangkat pinggangku kehadapan wajah Rendy, seolah menawarkannya untuk kembali mencicipi liang vaginaku.
“Tuh, kan?! Malu-malu mau, nih cewek!” kembali Rendy menghinaku. Dipeganginya kedua bongkahan pantatku dengan telapak tangannya dan dtegadahkannya tangannya, sehingga kini pinggangku ikut terangkat tepat dihadapan wajah Rendy.
“Aww… aww… aaahh…” kembali aku merintih saat Rendy mengecup dan mengisap-isap daging klitorisku. Sesekali aku merasa sentuhan giginya pada klitorisku dan hisapannya membuatku kini hanya berusaha untuk mengejar kenikmatan seksualku semata.
SLURP… SLURP… Sesekali terdengar suara Rendy yang menyeruput cairan cintaku yang sudah banyak keluar dari vaginaku, seolah hendak melepas dahaganya dengan cairan cintaku.
“AAHH… AAHHH… AAA…” Desahanku semakin keras. Aku merasa ada sebuah tekanan luar biasa di vaginaku yang sebentar lagi hendak meledak dari dalam tubuhku. Otot-otot tubuhku secara otomatis mulai menegang sendirinya.
“HYAA… AAAKH!!!” jeritku bersamaan dengan meledaknya tekanan dalam tubuhku. Tanpa bisa kutahan, pinggangku menggelepar liar, bahkan Rendy terlontar mundur akibat dorongan tubuhku. Aku bisa merasakan vaginaku memuncratkan cairan cintaku dalam jumlah yang banyak. Seluruh simpul sarafku terasa tegang dan kaku saat sensasi geli dan nikmat yang luar biasa itu menjalari tubuhku, dan akhirnya muncul perasaan lega yang nyaman setelahnya. Aku pun terkapar kelelahan, nafasku tersengal-sengal. Tenaga di tubuhku seolah lenyap seketika. Aku sadar, baru saja aku mengalami orgasme yang luar biasa!
“Wah, waah… Rupanya galak juga nih, kalau orgasme!” ejek Rendy yang kini terduduk dihadapan selagkanganku. Ia mendekati vaginaku dan kembali ia menyeruput cairan cintaku yang masih tersaji di vaginaku setelah ledakan orgasmeku barusan. Aku pun hanya mendesah kecil tanpa memberontak. Kepalaku serasa kosong dan aku membiarkan Rendy menikmati cairan cintaku sesuka hatinya.
Setelah puas meminum cairan cintaku, Rendy berdiri di hadapanku dan melepas pakaiannya sehingga ia telanjang bulat dihadapanku. Bisa kulihat penisnya yang panjangnya sekitar 14 cm sudah menegang keras melihat keadaanku yang mengangkang lebar, memamerkan kewanitaanku didepannya.
Rendy berjalan melewati tubuhku hingga akhirnya ia tiba didepan kepalaku. Rendy lalu berlutut dihadapan wajahku sambil mengocok penisnya.
“Kak, tadi rasa memek kakak enak sekali loh! Nah sekarang giliran kakak ya, ngerasain punya Rendy?” seloroh Rendy. Aku yang menyadari kalau Rendy akan mengoral penisnya dengan mulutku, mulai menjerit meminta pertolongan.
“TOL… uumph!!” jeritanku terhenti karena Rendy langsung menyumpalkan penisnya didalam mulutku. Walaupun ukuran penisnya tidak begitu besar, namun batang penisnya sudah cukup memenuhi rongga mulutku yang mungil.
“Hhmmphh… hmph…” suaraku teredam oleh penis Rendy. Aku berusaha memuntahkan penis itu, namun Rendy memajukan pantatnya sehingga penisnya tetap masuk didalam mulutku hingga menyentuh kerongkonganku.
Rendy menjambak poni rambutku dan mulai menggerakkan kepalaku maju mundur. Rasa sakit di ubun-ubunku karena poni rambutku dijambak sudah cukup untuk membuatku tidak berontak lebih jauh, aku mengikuti gerakan tangan Rendy yang sedang memaksaku mengulum dan mempermainkan penisnya dalam mulutku.
“Aahh… Enaak…” desah Rendy saat penisnya keluar masuk dari mulutku.
“Hmmp… mpp… phh…” aku berusaha mengambil nafas untuk menyesuaikan gerakan penis Rendy dalam mulutku. Kocokan mulutku masih belum berhenti, namun aku merasa agak mual karena rasa dalam mulutku saat ini. Sementara leherku juga pegal karena dipaksa naik-turun oleh Rendy.
Beberapa saat kemudian, Rendy berhenti manjambak poniku, aku pun segera merebahkan kepalaku yang pegal-pegal keatas bantal yang lembut untuk melepas penat. Namun rupanya penderitaanku belum juga berakhir. Rendy belum mau melepaskan kenikmatannya dioral olehku. Belum sempat penisnya keluar dari mulutku, sekarang ia malah menekan selangkangannya ke wajahku dan menggoyang-goyangkan pantatnya sehingga penisnya kembali masuk kedalam rongga mulutku. Aku bisa merasakan buah zakarnya yang tergantung menampar-nampar daguku berulang kali bersamaan dengan gerakan pantatnya yang maju mundur dihadapan wajahku yang kini tertekan oleh bantal, aku pun berulang kali tersedak karena penis Rendy dalam mulutku bergerak dengan amat cepat.
“Oke, kak! Sekarang giliran kakak yang main! Ayo kulum dan mainin pakai lidah kakak!” perintah Rendy sambil menghentikan gerakannya. Aku sendiri sudah mati kutu, kepalaku terjepit diantara selangkangan Rendy dan bantalku, sehingga aku tidak bisa bergerak bebas.
“Ayo, Kak! Atau mau kugerakkan sendiri dimulut kakak seperti barusan?” ancamnya padaku. Aku pun tidak punya pilihan lain selain menuruti perintah Rendy, setidaknya aku akan lebih leluasa bernafas apabila aku yang bergerak sendiri. Aku pun menggerakkan lidahku membelai-belai batang penisnya yang masuk hingga rongga mulutku. Sesekali lidahku juga bersentuhan dengan kepala penisnya. Sebenarnya aku agak jijik juga karena tercium bau agak pesing dari ujung penis Rendy, namun apa dayaku? Lebih baik kuturuti perintah anak ini supaya siksaanku cepat selesai. Aku pun berusaha untuk tidak begitu mempedulikan bau itu. Penis Rendy kuanggap saja seperti permen yang luar biasa tidak enak. Aku pun terus mengemut penis Rendy itu.
“Ayo, kak! Terus! Jago juga nih, nyepongnya! Enak bangeet!”
“Mmphh…” erangku.
“Isapin juga kak! Seperti ngisap permen!” kembali Rendy memberi perintah padaku, yang langsung saja kuturuti. Kuhisap penisnya dengan pelan dan lembut dengan harapan anak ini bisa segera menghentikan aksinya dan aku bisa terbebas dari siksaan ini. Herannya, selama beberapa menit kuoral, Rendy masih saja tidak puas. Aku pun mulai kelelahan mempermainkan penisnya dalam mulutku, walaupun aku mulai terbiasa dengan situasiku sekarang.
Entah setan apa yang merasukiku, namun saat aku mengingat bahwa aku sedang mengoral penis anak kecil yang tak lain adalah muridku, aku merasa hasrat seksualku kembali meninggi dalam tubuhku. Aku ingin sekali mencapai orgasme sekali lagi dan aku ingin mencoba sesuatu yang lebih hebat lagi bersama Rendy. Pikiran itupun membuatku memainkan penis Rendy sebaik mungkin dalam mulutku agar Rendy mencapai kepuasannya.
“Ookh…” Aku mendengar suara erangan panjang keluar dari mulut Rendy dan saat itulah, aku merasa mulutku disembur oleh cairan kental berbau amis. Aku menyadari bahwa Rendy baru saja berejakulasi dalam mulutku, dan kini mulutku dipenuhi spermanya. Rendy kembali menekankan selangkangannya ke wajahku.
“Telan kak! Jangan sampai bersisa!”
Aku pun menuruti perintah Rendy, kutelan semua sperma dalam mulutku, sekaligus kuhisap-hisap penis Rendy agar spermanya tidak bersisa. Rendy hanya mengerang keenakan saat penisnya kubersihkan dengan mulutku.
“Woow… enaak… lebih enak dari onanii….” seloroh Rendy. Namun aku tidak peduli, aku terus menghisap-hisap penisnya itu hingga aku yakin tidak ada lagi sperma yang tersisa. Setelah selesai, Rendy mengeluarkan penisnya dari dalam mulutku.
“Waah… Kakak jago banget lho! Enak sekali kak!”
“Rendy, kamu jahaat…” protesku.
“Lho kenapa? Bukannya kakak sekarang sudah jadi pengantinku?” balasnya.
“You may kiss your briide!!” sorak Rendy tiba-tiba. Tanpa basa-basi, Rendy segera mencium bibirku. Bibirku diemut-emut dengan lembut dan sesekali bibirku juga dijilati oleh lidahnya. Aku hanya membiarkannya mempermainkan bibirku sesuka hatinya. Pelan-pelan lidah Rendy membelah bibirku dan lidahnya menyusup kedalam rongga mulutku. Aku pun merespon dengan menghisap lidah Rendy dengan lembut. Sesekali juga kujulurkan lidahku, sehingga giliran Rendy yang menghisap air ludahku yang menyelimuti lidahku. Gairah seksualku sekarang benar-benar menguasai tubuhku, semakin kuingat bahwa Rendy yang saat ini sedang bercinta denganku, semakin aku tenggelam dalam hasratku. Selama beberapa menit kami terlibat dalam French kiss itu, sebelum akhirnya Rendy menghentikan ciumannya di bibirku. Aku pun tampak kecewa saat Rendy menjauhkan wajahnya.
“Kenapa kak? Enak kan rasanya? Masih mau lagi?” tanyanya.
Pertanyaan Rendy itu seketika memancing gairah seksualku yang meningkat. Aku merasa ini adalah sebuah kesempatan bagiku, namun sebelum aku sempat menjawab, tiba-tiba Rendy mengambil sehelai celana dalam putih berenda yang tadi kupakai dan menjejalkannya ke mulutku hingga celana dalamku memenuhi seluruh rongga mulutku. Belum puas, Rendy juga melakban mulutku sehingga celana dalamku itu tersumpal sempurna didalam mulutku.
“Mmfff….” Protesku pada Rendy. Namun suaraku terhalang oleh celana dalam yang menyumbat mulutku.
“Jangan dijawab dulu, Kak. Nanti ya, Rendy mau istirahat dulu!”
“Oh, Kakak juga boleh istirahat kok! Nah, daripada bosan, bagaimana kalau kakak nonton saja dulu?” lanjut Rendy. Aku bisa mendengar suara televisi yang dinyalakan dan suara pemutar DVD yang dibuka oleh Rendy. Setelah selesai, Rendy lalu mendatangiku yang masih terbaring mengangkang di ranjang.
“Jangan berontak ya, Kak! Kalau macam-macam, video kakak kusebarkan!” ancamnya. Rendy lalu melepaskan ikatan kakiku di kedua tiang ranjang itu. Aku disandarkan ke kepala ranjang dan Rendy menyandarkan sebuah bantal di punggungku dan juga sebuah bantal kecil di pantatku untuk kududuki agar aku merasa nyaman. Tali yang tadi dipakai untuk mengikat kakiku kini digunakan untuk mengikat sikut tanganku yang masih terikat di punggungku pada kedua tiang bagian atas ranjang canopy itu agar aku tidak kabur.
“Oke deh! Rasanya sudah cukup!! Nah, kakak santai saja ya? Nikmati saja filmnya!” Rendy lalu memutar DVD itu.
“Mmff!!” Aku berteriak terkejut saat melihat adegan percintaan seorang wanita berambut pirang di layar televisi itu, rupanya Rendy menyetelkan DVD porno untuk kutonton..
“Kakak pelajari gayanya dulu, ya! Supaya nanti siap main dengan Rendy! OK?!” Rendy tersenyum dan beranjak pergi, meninggalkanku sendiri terikat di ranjang sambil berusaha menahan gejolak birahiku yang semakin mendera karena suguhan adegan panas dihadapanku.
Aku pun terpaksa menonton film porno itu sekitar 2 jam. Yah, aku memang pernah melihat sekilas film porno di handphone teman-teman SMUku, namun mungkin karena ini pengalaman pertamaku melihat film porno selama itu, muncul keinginanku agar vaginaku dimasuki oleh penis seperti wanita bule yang ada di film porno itu.
Pikiranku bergejolak, aku sadar bahwa aku akan kehilangan keperawananku apabila vaginaku dimasuki penis Rendy, namun di sisi lain, aku penasaran akan rasa nikmat yang tampaknya melanda wanita di film itu saat vaginanya dimasuki oleh penis. Aku juga ingin merasakan kenikmatan itu. Apakah aku juga akan merasa senikmat itu apabila vaginaku dimasuki oleh penis? Aku masih bisa mengingat dengan jelas rasa nikmat saat vaginaku dijilati dan dipermainkan oleh Rendy sebelumnya. Tentunya aku akan merasa lebih nikmat lagi apabila vaginaku dipermainkan oleh penis Rendy. Lagipula, setidaknya aku tidak perlu khawatir akan hamil sebab masa suburku baru saja terlewati minggu lalu.
Akhirnya rasa penasaran dan gairah seksualku mengalahkan perasaanku. Sudah kuputuskan, aku akan melayani Rendy sepenuh hatiku. Aku sudah tidak peduli lagi akan statusku sebagai gurunya ataupun perbedaan usia kami, yang kini kuinginkan hanyalah mengejar kenikmatan seksualku semata. Bahkan status dan perbedaan usia kami malah menjadi sumber gejolak gairah seksualku.
Detik dan menit berlalu, namun bagiku yang kini dikuasai gairah seksualku, serasa menunggu selama berhari-hari. Cairan cintaku sudah semakin banyak keluar dari vaginaku sehingga aku bisa merasakan bantal yang kududuki semakin basah. Akhirnya, pintu kamar itu terbuka juga dan masuklah Rendy kedalam kamar itu.
“Bagaimana kak? Sudah puas nontonnya?”
“Sudah tahu kan bagaimana gaya-gayanya?” lanjutnya. Aku hanya mengangguk pelan dengan wajah memelas.
“Bagus, bagus!! Kakak emang pintar!” ujarnya sambil membelai kepalaku dengan pelan, seolah memuji anak kecil.
“Hff…” jawabku.
“Nah, kalau begitu kakak mau tidak kalau aku setubuhi seperti di film?” muncullah pertanyaan yang sedari tadi kutunggu. Tanpa pikir panjang, aku langsung mengangguk sambil melihat wajah Rendy. Namun Rendy malah pura-pura tidak melihat sambil mematikan DVD playernya.
“Apaa? Rendy nggak bisa dengar nih!”
“Mmff!!” Aku berusaha untuk meminta Rendy melepaskan sumbatan mulutku agar aku bisa berbicara, namun Rendy malah melepas ikatan di kedua sikutku sehingga aku terbebas dari ranjang canopy itu. namun tanganku masih terikat kencang di punggungku. Aku lalu dituntun turun dari ranjang. Rendy tidak lagi mengawasiku dengan ketat. Ia tahu bahwa aku sekarang sudah tidak ingin kabur lagi.
“Waah, udah gede masih ngompol yah, Kak?” ejek Rendy saat melihat bekas cairan cintaku di bantal yang tadi kududuki. Aku hanya menggeleng pelan, namun kurasa Rendy juga tahu bahwa itu adalah cairan cintaku yang meluber karena aku terangsang sedari tadi. Rendy lalu menarikku kehadapan sebuah papan tulis putih di kamar itu yang ditempeli berbagai rancangan bu Diana. Rendy melepas semua rancangan itu agar papan tulis itu bersih. Rendy juga memposisikan tubuhku agar terjepit diantara sebuah meja dihadapanku dan papan tulis itu dibelakangku. Aku terkejut saat Rendy dengan sigap menundukkan tubuhku di meja itu sehingga posisiku kini menungging kearah papan tulis itu. Rendy juga menaikkan rok gaun dan petticoatku bagian belakang dan mengaitkannya di pita putih gaunku yang ada di pinggangku, sehingga kini pantatku terpampang jelas menungging didepan papan tulis itu.
“Nah, gimana kalau kakak tulis saja apa yang kakak mau? Soalnya kakak nggak bisa ngomong sekarang” ujarnya dari belakang. Aku pun semakin heran, bagaimana caraku menulis dengan tangan terikat dan posisi tubuh menungging seperti ini? Aku hendak berdiri, namun punggungku ditekan ke meja itu oleh Rendy.
“Tahan sebentar ya, Kak” ujar Rendy sambil membuka celah pantatku. Rendy lalu menuangkan lotion ke jari telunjuknya dan mengusapkan lotion itu ke lubang pantatku. Sesaat aku merasakan jari Rendy yang menempel dilubang pantatku bergerak pelan mengoleskan lotion itu dan aku bisa merasakan rasa dingin dan licin akibat lotion itu di pantatku.
Setelah lubang pantatku selesai dilumuri lotion, aku merasa ada sesuatu di lubang pantatku, aku tahu benda itu bukanlah jari Rendy karena benda itu terasa lebih besar dan keras dari jari Rendy.
“HMMFF!!” jeritku saat tiba-tiba aku merasakan rasa sakit yang luar biasa di lubang pantatku. Suatu benda yang panjang dan keras menekan memasuki lubang pantatku. Aku menoleh kebelakang dan melihat Rendy memaksakan untuk memasukkan benda itu kedalam anusku. Benda itu diputarnya perlahan masuk kedalam pantatku seperti sekrup. Air mataku meleleh saat merasakan rasa perih yang amat sangat saat
Subscribe to:
Posts (Atom)